NASIB Hasanuddin Yusuf, 47 tahun, guru SD di Muara Basung, Bengkalis, Riau, diangkat ke permukaan oleh penjabat Gubernur Riau, Atar Sibero, dua pekan lalu. Di hadapan pers, Atar berjanji akan melacak kasus Yusuf. Sudah 13 tahun ia tak menerima gaji, sampai terpaksa meninggalkan sekolah, masuk ke hutan mencari nafkah. Kasus ini terungkap setelah sebuah surat dari Sekretariat Wakil Presiden meluncur ke provinsi Riau. Drs. Soesilo, atas nama Sekretaris Wapres, dalam suratnya kepada Hasanuddin Yusuf, 20 Juli lalu, menegaskan bahwa tidak lazim Bapak Wakil Presiden memberikan rekomendasi. Ini gara-gara dua pekan sebelumnya, Hasan mengirim surat ke Tromol Pos 5000, meminta Wapres turun tangan. Yusuf, bekas pekerja tambang tamatan SGB, semula seorang pekerja sosial. Tahun 1966 ia jadi guru honorer di SD swasta milik Yayasan Kesejahteraan Suku Terasing (YKST) di Kuala Penase. Kemudian dia diterima sebagai pegawai honorer bulanan oleh Dinas P dan K Riau, setelah 2 tahun berjuang. Sempat dipindahkan ke SD Pemukiman Masyarakat Terasing di Simpang Muara Basung, kabupaten Bengkalis. Akhirnya, ia diangkat jadi pegawai negeri/daerah golongan IC oleh Drs. Moenir, Kepala Dinas P dan K Riau, sejak Februari 1973. Ia juga dinyatakan berhak mendapatkan gaji berkala sesuai dengan masa kerjanya selama 7 tahun berselang. Tapi 20 bulan kemudian, setelah dipindahkan ke SD Balai Pungut, nasibnya berubah. Gaji tak ada. Alasannya, Yusuf belum punya Nomor Induk Pegawai (NIP). Surat yang ditembakkan ke Dinas P dan K Provinsi Riau luput semua. Setiap kali ditanyakan ke P dan K Kabupaten Bengkalis, jawabnya gombal: Gaji dihentikan oleh Pemda Riau karena Anda tak punya Nomor Induk Pegawai. "Apa ada, orang tak punya NIP itu diberi gaji? Dan itu karena salah Hasanuddin Yusuf sendiri," kata Hasan, bekas Kepala Dinas P dan K Bengkalis, yang membawahkan Hasanuddin Yusuf. "Berkali-kali dia saya surati, tapi tak pernah datang," kata Hasan Rachman, eks Kepala kantor P dan K kecamatan Mandau. "Akibatnya, ya, tidak mendapat Nomor Induk Pegawai. Eh, setelah masa pendataan ulang ditutup (1973), ia nongol minta gaji. Mana bisa?" Menurut informasi yang diterima Hasan Rachman, Yusuf meninggalkan tugas dan bekerja pada perusahaan kayu balok di Muara Siantan. Hasanuddin Yusuf kontan membantah. "Bohong itu! Siapa bilang saya kabur meninggalkan tugas," katanya. "Saya tidak pernah mendapatkan sepucuk surat pun tentang adanya pendataan ulang itu." Ketika rekannya sesama guru sibuk mengisi pendataan ulang, Easan hanya bisa gigit jari. "Untuk saya, itu tidak pernah ada. Kalau memang gaji dihentikan, kenapa saya masih ditunjuk untuk ikut penataran guru bahasa Indonesia dan menjadi panitia Ebtanas sampai tahun 1979, dan bahkan ikut penataran lain pada tahun 1981?" ujar Yusuf dengan berang. Yusma H., Kepala SD Balai Pungut, dalam salah satu suratnya menegaskan bahwa Hasanuddin Yusuf tetap aktif mengajar sampai tahun 1980. Kemudian guru malang itu minta dipindahkan ke SD Persiapan di Pemukiman Masyarakat Terasing di Muara Basung. Di sinilah Yusuf dengan susah payah berhasil mengajak 115 anak-anak suku Sakai untuk belajar di tingkat SD di balai desa. Pada tahun 1980, masalah ini sebenarnya pernah dilontarkan ke Departemen P dan K Pusat. Pihak Inspektorat Jenderal kemudian meneruskannya ke Dinas P dan K Riau. "Saya nggak tahu apakah persoalan itu sudah diselesaikan pihak Dinas atau belum," kata Djauzak Ahmad, Kakanwil P dan K Riau. Seperti guru SD lain, Yusuf merasa sebagai korban birokrasi. Pengelolaan guru SD ternyata di bawah dua bos. Kaki kiri milik Departemen P dan K, yang kanan milik Departemen Dalam Negeri. AB, Affan Bey
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini