Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wahyu Dwi Nugroho dihukum 5 lima bulan penjara gara-gara memprotes pemasangan spanduk.
Selama proses hukum berjalan, tidak pernah ada tawaran restorative justice.
Wahyu tidak mengajukan banding karena masa hukumannya segera berakhir.
JAKARTA – Meski kecewa karena divonis bersalah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Wahyu Dwi Nugroho hanya bisa pasrah. Ia sama sekali tidak berniat mengajukan banding. Ia menerima hukuman 5 bulan penjara dan denda Rp 1 juta yang diberikan hakim. Dengan vonis itu, Wahyu akan bebas pada hari ini, 11 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wahyu adalah pedagang kelontong di Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dia dilaporkan oleh pengelola Majelis Taklim Zaadul Muslim Al-Busyro atas tuduhan menyebarkan ujaran kebencian. Adapun laporan ini didasarkan pada unggahan Wahyu di platform TikTok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam unggahan itu, Wahyu memprotes pemasangan spanduk di dekat rumahnya. Spanduk itu berisi larangan kepada anggota majelis taklim berbelanja di warung yang tidak terafiliasi dengan Al-Busyro. Gara-gara spanduk itu, warung Wahyu menjadi sepi pembeli.
Wahyu Dwi Nugroho di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 4 Juli 2023. Dok. SAFFEnet
Pengelola majelis taklim tersinggung atas unggahan Wahyu. Ia meminta pedagang itu menghapus unggahan di TikTok. Wahyu menuruti permintaan itu. Namun, pada 15 Agustus 2022, pengelola majelis taklim melaporkan Wahyu ke Polda Metro Jaya. Laporan itu tercatat dengan Nomor LP/B/4186/VIII/2022/SPKT/Polda Metro Jaya. Wahyu dituduh menyebarkan ujaran kebencian dan dijerat menggunakan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Laporan inilah yang menjadi dasar bagi polisi untuk menahan Wahyu pada Maret 2023.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin, majelis hakim menyatakan Wahyu terbukti bersalah melanggar pasal-pasal yang didakwakan. Hakim menjatuhkan vonis 5 bulan penjara dan denda Rp 1 juta kepada Wahyu.
M. Arsyad, kuasa hukum Wahyu, menyatakan sebenarnya tuduhan terhadap kliennya tidak bisa dibuktikan. Namun hakim tidak mempertimbangkan keterangan para saksi dan ahli secara utuh. “Hakim hanya menimbang unsur ‘dengan sengaja’ tanpa mengurai tidak ada bukti terkait dampak (atas unggahan Wahyu),” ujar Arsyad seusai persidangan, kemarin. “Ini kan enggak ada dampak apa-apa. Ahli yang dihadirkan hanya membaca ada kesengajaan.”
Arsyad—yang juga menjabat Ketua Paguyuban Korban UU ITE—menyebutkan Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE selama ini memang menjadi pasal karet. Paling tidak, sepanjang 2008-2022, sedikitnya ia telah mendampingi 500 orang yang menjadi korban atas penerapan pasal-pasal tersebut.
Menurut Arsyad, DPR saat ini masih membahas revisi UU ITE untuk memperbaiki pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir. Sembari menunggu perbaikan undang-undang tersebut, pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani oleh kepolisian, kejaksaan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dalam SKB tersebut dijelaskan bahwa fokus Pasal 28 ayat 2 UU ITE adalah perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu/kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, dan ras. SKB itu juga mengatur soal penyelesaian perkara lewat restorative justice, yakni proses hukum yang mengutamakan mediasi antarpihak yang beperkara. “Tapi untuk Wahyu, dalam persidangan, sama sekali tidak ada pertimbangan untuk restorative justice,” kata Arsyad.
Wahyu Dwi Nugroho dalam sidang putusan kasus UU ITE, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 10 Agustus 2023. Dok. Pribadi
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menjelaskan, restorative justice memang bisa dipakai dalam perkara tindak pidana ringan. Namun, untuk delik aduan seperti kasus Wahyu, perlu ada kesepakatan dari kedua pihak untuk berdamai. “Restorative justice dikedepankan kalau kedua pihak mau,” katanya. “Kalau yang satu tidak, ya, tetap disidang.”
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani, mengatakan SKB tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, penegak hukum tidak wajib melaksanakan mekanisme yang diatur dalam SKB. “Akar masalah kriminalisasi kebebasan berekspresi masih ada. Itu yang tidak tersentuh,” katanya. “Jadi, mau dibikin SKB juga percuma.”
Kepala Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brilian Sodik, sependapat dengan Julius. Meski bisa dijadikan pedoman, SKB tidak memiliki unsur pengikat. “Sehingga SKB UU ITE seperti tak berfungsi karena selama ini perkara ITE tetap lolos,” ujarnya. Menurut Rozy, institusi yang menyepakati SKB justru tetap menggunakan UU ITE sebagai alat pembungkam kritik.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo