Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kecurangan-kecurangan PPDB Akibat Kekurangan Sekolah Negeri

Jumlah kuota sekolah negeri yang tidak sepadan dengan calon siswa menyebabkan banyak kecurangan dalam seleksi PPDB.

19 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas membantu orang tua calon siswa mendaftar penerimaan peserta didik baru (PPDB) secara daring di SMP Negeri 2 Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 1 Juli 2024. ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRAKTIK manipulasi nilai atau cuci rapor di Sekolah Menengah Pertama Negeri 19 Depok, Jawa Barat, menambah panjang daftar kasus dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Alih-alih meloloskan siswanya dengan mengatrol nilai agar lolos jalur prestasi PPDB, sebanyak 51 anak justru batal bersekolah di sekolah menengah atas negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain di Depok, kecurangan PPDB terjadi di daerah lain. Di Jawa Tengah, misalnya, sebanyak 69 siswa SMPN 1 Semarang menggunakan piagam prestasi yang diduga palsu untuk mendaftar ke sejumlah sekolah menengah atas/kejuruan dalam PPDB 2024. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memutuskan menganulir nilai piagam kejuaraan Malaysia International Virtual Band Championships 2022 dalam PPDB SMA/SMK negeri karena keabsahannya meragukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hasilnya disimpulkan bahwa piagam penghargaan dari kejuaraan Malaysia International Virtual Band Championships 2022 diragukan keabsahannya," kata penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, di Semarang, Rabu, 10 Juli 2024.

Nana mengatakan piagam tersebut tidak bisa digunakan sebagai penambah nilai komponen akhir PPDB jalur prestasi. Menurut dia, keputusan itu diambil setelah penelusuran dan penelitian oleh Tim Aparat Pengawas Internal Pemerintah Inspektorat Provinsi Jawa Tengah terhadap dokumen yang diperlukan.

Selain itu, pemerintah telah meminta keterangan kepada orang tua calon peserta didik, unsur sekolah, komite sekolah, pembina dan pelatih marching band, serta Pengurus Drum Band Indonesia Jawa Tengah.

Hasil rapat tim PPDB, Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah, Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah, Biro Hukum Sekretariat Daerah Jawa Tengah, dan beberapa kepala organisasi perangkat daerah memutuskan 69 peserta tetap dapat mengikuti PPDB jalur prestasi. Namun nilai mereka hanya dihitung berdasarkan nilai rapor semester I-V.

"Penghargaan itu dianggap tidak ada nilainya karena keabsahannya diragukan," kata Nana.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah Uswatun Hasanah mengatakan ada 69 calon peserta didik yang menggunakan piagam tersebut. Dari jumlah itu, 65 siswa menggunakannya untuk mendaftar ke SMA negeri dan empat siswa ke SMK negeri, yang tersebar di SMAN 1 Semarang, SMAN 3 Semarang, SMAN 5 Semarang, SMAN 6 Semarang, SMAN 14 Semarang, SMKN 7, dan SMKN 6 Semarang.

Sejumlah aktivis dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia melakukan aksi salah satunya mendesak perubahan sistem dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Jakarta, 7 Juli 2024. ANTARA/Asprilla Dwi Adha

Pemalsuan piagam ini bahkan sudah masuk ranah hukum. Kepolisian Resor Kota Besar Semarang sudah menaikkan status penyelidikan pemalsuan piagam prestasi ke tahap penyidikan.

"Sudah naik ke tahap penyidikan sehingga kami bisa melakukan upaya paksa dalam mengumpulkan barang bukti," kata Ketua Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Semarang Komisaris Andika Dharma Sena di Semarang, Jumat, 12 Juli 2024, seperti dikutip dari Antara.

Kecurangan dalam PPDB lewat jalur prestasi juga terjadi di Sumatera Selatan. Ombudsman Provinsi Sumatera Selatan mendapati puluhan calon peserta didik yang seharusnya lolos tapi dinyatakan tidak lolos oleh pihak sekolah.

"Dari klarifikasi, hampir 80 persen terbukti anak yang seharusnya lolos dinyatakan tak lolos," kata Kepala Ombudsman Provinsi Sumatera Selatan M. Adrian lewat pesan video di Instagram lembaganya, Senin, 17 Juni 2024.

Adrian mencontohkan salah satu aduan dari orang tua peserta didik. Seorang anak peringkat I di jenjang SMP dinyatakan tidak lolos oleh pihak sekolah. Padahal, saat proses verifikasi, anak tersebut mendapat nilai 750. Sedangkan anak lain yang mendapat nilai 350 dinyatakan lolos PPDB. "Ini menjadi pertanyaan wali murid dan siswa," ujarnya.

Orang tua peserta didik itu juga tak bisa melihat nilai yang didapat anaknya. Sebab, kata Adrian, pada aplikasi hanya bisa terlihat hasil verifikasi tanpa menunjukkan nilai peserta didik. Kejanggalan lain adalah pengumuman tidak mencantumkan nilai peserta didik lain.

Ombudsman Sumatera Selatan lantas memverifikasi laporan itu. Hasilnya, 80 persen aduan itu terbukti. Anak yang seharusnya lolos dinyatakan tak lolos. "Karena itu, kami akan melihat potensi maladministrasi proses PPDB dan jalur prestasi di Sumatera Selatan," ucap Adrian.

Selain dalam jalur prestasi, kecurangan PPDB terjadi pada jalur zonasi. Kecurangan PPDB jalur zonasi terjadi di Jawa Barat. Pelaksana harian Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Ade Afriandi, mengungkapkan sejumlah sekolah terpaksa menggelar rapat pleno ulang penetapan calon siswa yang lolos karena harus memverifikasi ulang domisili siswa. Dalam tahap tersebut, 168 calon siswa tercoret karena terbukti menggunakan alamat palsu. Akibatnya, pengumuman PPDB SMA 2024 tahap pertama jalur zonasi pada 19 Juni molor hingga malam hari.

"Yang kemarin membuat pengumuman terlambat akibat ada sekolah-sekolah yang masih menggelar rapat pleno ulang karena ada bukti baru. Makanya pukul 19.30 WIB baru diumumkan. Itu saja sudah kurang-lebih 168 CPD (calon peserta didik) dianulir. Tidak hanya di Kota Bandung, ada juga beberapa dari luar daerah," ucap Ade saat dihubungi Tempo, Senin, 24 Juni 2024.

Ade mengatakan, setelah pengumuman PPDB tersebut, Dinas Pendidikan Jawa Barat menerima laporan dan aduan warga mengenai adanya keganjilan dalam alamat domisili siswa. Laporan tersebut ditindaklanjuti sehingga ditemukan 31 calon siswa lain yang dianulir. Dengan demikian, total ada 199 siswa yang dicoret.

Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Chatarina Muliana Girsang mengatakan pihaknya telah memitigasi pemalsuan domisili dalam PPDB 2024 lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017. Chatarina mengakui pada awal pemberlakuan sistem zonasi memang banyak terjadi kecurangan. Sebab, kata dia, saat itu domisili siswa cukup dibuktikan dengan surat keterangan dari kelurahan.

"Tapi akhirnya, karena banyak pemalsuan, kami pakai strategi wajib pakai kartu keluarga, tidak boleh lagi pakai surat keterangan," ujarnya saat konferensi pers Forum Bersama Pengawasan Pelaksanaan PPDB Tahun Ajaran 2024/2025 di Hotel Sutasoma, Jakarta Selatan, 21 Juni 2024.

Petugas melayani orang tua murid yang berkonsultasi soal pendaftaran daring Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Posko Pelayanan PPDB Jakarta. Dok.TEMPO/ Hilman Fathurrahman W

Selain rawan dimanipulasi, surat keterangan dari kelurahan berpotensi hilang, terutama di wilayah rawan banjir. Ia mengatakan data kartu keluarga dinilai lebih akurat karena tercatat dan bisa dicek di dinas kependudukan dan pencatatan sipil.

Selain memperketat syarat sistem zonasi, Kementerian Pendidikan membentuk kanal-kanal pengaduan secara berjenjang guna memudahkan masyarakat menyampaikan aduan.

"Jadi, apabila masyarakat memiliki aduan, misalnya mengenai proses administrasi PPDB ataupun dugaan pelanggaran yang dilakukan oknum tertentu, aduan atau laporannya bisa disampaikan secara berjenjang," kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Muhammad Hasbi di Jakarta, 1 Juli 2024, seperti dikutip dari Antara.

Hasbi mengatakan, apabila tidak ada tindak lanjut dari sekolah, masyarakat bisa segera menyampaikan laporan yang sama kepada satuan tugas dinas pendidikan daerah hingga tingkat nasional. Apabila aduan tersebut terkait dengan pelanggaran pidana, Hasbi memastikan aparat penegak hukum segera menindaknya.

Maraknya kecurangan selama PPDB tidak lain disebabkan oleh persebaran sekolah yang tidak merata. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo mengatakan jumlah kuota sekolah yang dituju tidak sepadan dengan banyaknya calon siswa yang akan masuk. Ia menuturkan jumlah SMP negeri tidak sepadan dengan jumlah SMA negeri. 

"Sehingga jumlah yang ingin alih jenjang itu akhirnya berebut. Mengapa? Sebab, kuota dari SMAN atau SMKN yang dituju terbatas. Jadi siswa yang hendak masuk jumlahnya terlalu besar sehingga kuota tidak terpenuhi, lalu akhirnya terjadi seleksi. Seleksi itulah yang menyebabkan penyelenggara seleksi melakukan kecurangan," kata Heru saat dihubungi Tempo, Kamis, 18 Juli 2024.

Heru mengatakan pemerintah daerah sebetulnya bisa mencontoh terobosan yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Jakarta memfasilitasi siswa yang tidak diterima di sekolah negeri untuk dialihkan ke sekolah swasta. Dinas Pendidikan DKI juga menanggung biaya pendidikan mereka selama tiga tahun. Dengan demikian, tidak ada anak yang kehilangan hak mendapat pendidikan terjangkau. Pemerintah Jakarta menerapkan terobosan ini karena pertimbangan lahan yang sempit dan anggaran besar membangun sekolah baru. Sedangkan masyarakat sudah membangun sekolah swasta.

"Akhirnya terobosannya seperti itu karena masyarakat sudah mendirikan sekolah, yaitu sekolah swasta, sehingga perlu diajak kerja sama memfasilitasi mereka agar bisa sekolah," ujarnya. 

Selain keterbatasan kuota, masalah dalam PPDB adalah masih ada wilayah blank spot atau yang tidak terjangkau zonasi PPDB. Heru menyatakan pemerintah perlu memfasilitasi siswa yang tempat tinggalnya jauh dengan metode pembelajaran daring, seperti metode yang diterapkan universitas terbuka. Di samping itu, pemerintah mesti memfasilitasi siswa dengan gawai untuk pembelajaran daring. Siswa tersebut, ia melanjutkan, juga perlu datang ke sekolah setidaknya sebulan dua kali untuk perkenalan dengan siswa lain dan sekolah.

"Hal seperti ini jauh lebih efisien dibanding mendirikan bangunan sekolah serta mendatangkan guru, merekrut guru, dan pegawainya," ucapnya. "Jadi, untuk di daerah blank spot yang sampai hari ini belum tersentuh PPDB, perlu dipikirkan sekolah dengan pendekatan berbasis online. Itu jauh efisien biayanya."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Iqbal Muhtarom, Hendrik Yaputra, Ahmad Fikri, dan Desty Luthfiani berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus