Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Situs web media online Project Multatuli mendapat serangan digital pada Rabu pekan lalu.
Laman media itu diserang dengan cara membuat situs mereka tidak bisa diakses.
Multatuli menulis serial tulisan terkait dengan dugaan pelanggaran prosedur penyelidikan kepolisian terhadap kasus pemerkosaan di Luwu Timur.
JAKARTA – Dua jam setelah mengunggah tulisan dugaan pemerkosaan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, situs web Project Multatuli langsung drop pada Rabu pekan lalu pukul 18.00. Laman media online itu sulit diakses karena diduga mendapat serangan digital setelah menurunkan laporan berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya kontak tim IT (informatika dan teknologi) kenalan saya dari Yogyakarta untuk menganalisis gangguan itu. Kamis pagi, IT bilang website ngadat karena serangan DDoS," kata Pemimpin Redaksi Project Multatuli, Fahri Salam, kemarin. Distributed denial of service (DDoS) merupakan serangan digital di mana pelaku berupaya membuat mesin atau jaringan tidak tersedia bagi pengguna dengan mengganggu layanan host yang terhubung ke Internet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak menurunkan laporan kasus pemerkosaan yang dilakukan ayah terhadap tiga anaknya itu, kata Fahri, banyak pembaca melaporkan bahwa laman Multatuli sulit diakses. Karena portal mendadak lumpuh, tim media sosial Multatuli berinisiatif mengunggah artikel itu di akun Instagram mereka pada pukul 19.00. Tujuannya agar informasi dalam tulisan tersebut tetap bisa diketahui publik. "Satu jam setelah medsos kami mem-posting artikel di Instagram, Biro Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Luwu Timur mengecap laporan kami hoaks," ujar Fahri.
Multatuli menelusuri dugaan kasus pelecehan seksual itu sejak awal bulan lalu. Mereka menerjunkan jurnalis lepasnya, Eko Rusdianto. Informasi dugaan pemerkosaan yang menimpa tiga anak itu didapat dari laporan Lembaga Bantuan Hukum Makassar, yang mendampingi ibu korban dalam kasus ini.
Mengutip keterangan LBH Makassar, Fahri mengatakan polisi terlalu prematur menghentikan kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti. Setelah menelusuri informasi dari korban, LBH Makassar justru melihat adanya maladministrasi dalam penyelidikan kasus tersebut. Sebab, pelapor tidak mendapat pendampingan hukum dan diperiksa kejiwaannya oleh orang yang tidak mempunyai keahlian psikologi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Muhammad Haedir (kiri), dalam keterangan pers terkait penghentian penyelidikan kasus pemerkosaan anak, di kantor LBH Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Oktober 2021. TEMPO/Didit Hariyadi
Informasi soal penyelidikan itu, Fahri melanjutkan, harus diketahui publik. Apalagi kabar tersebut sejalan dengan program Multatuli yang merancang tulisan serial tentang kinerja kepolisian. Sebelum menurunkan serial #PercumaLaporPolisi dalam kasus pelecehan seksual ini, Multatuli telah menulis soal laporan tindak kekerasan polisi dalam menghadapi peserta unjuk rasa omnibus law dan Reformasi Dikorupsi pada 2019.
Mereka memberi tanda pagar #PolisiBukanPreman dalam laporan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap peserta demonstrasi itu. "Dari beberapa bulan sebelumnya, kami merencanakan liputan itu. Bagaimana polisi menangani pengaduan atau indikasi penyelewengan dalam proses penyelidikan," ujar Fahri.
Project Multatuli membutuhkan waktu sepekan untuk menelusuri informasi pelecehan seksual di Luwu Timur. Mereka menugaskan Eko karena jurnalis lepas ini dianggap berpengalaman di Sulawesi Selatan. Eko pun menempuh perjalanan selama 12 jam dari Makassar menuju Luwu Timur untuk mengumpulkan informasi dan menemui ibu korban. "Saat ditemui, ibu korban menanyakan apakah keterangan dia bisa mengubah penanganan kasus," kata Fahri.
Sepekan setelah menelusuri informasi itu, Eko menyerahkan tulisannya untuk disunting Fahri. Setelah itu, Fahri juga menyerahkan tulisan yang telah disuntingnya ke pengacara Multatuli untuk ditelaah dari sisi hukum. Redaksi memutuskan untuk menurunkan tulisan itu pada Jumat dua pekan lalu.
Namun Fahri menunda dan kembali membaca serta meriset data laporan pendukung tulisan tersebut hingga akhirnya diterbitkan pada Rabu sore pekan kemarin. "Setelah Jumat batal, kami mau turunkan Senin kemarin, tapi tidak jadi. Lalu, direncanakan Selasa, tapi ditunda lagi," kata dia. "Akhirnya kami putuskan untuk menurunkannya Rabu sore kemarin."
Fahri tidak menyangka tulisan yang mereka turunkan banyak dibaca. Bahkan hingga membuat akses laman Multatuli tidak bisa dibuka karena banyaknya pembaca yang masuk. Setelah dianalisis oleh tim teknologi informasi Multatuli, kata dia, lalu lintas pembaca tersebut tidak wajar karena menjurus pada serangan digital agar situs web mereka sulit diakses. "Ke depan, kami akan memitigasi atau update situs kami," ujarnya.
Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya melihat ada pihak yang berupaya melumpuhkan situs Multatuli setelah mereka menerbitkan laporan soal pelecehan seksual di Luwu Timur itu. Menurut dia, banyak kemungkinan orang atau kelompok berupaya menyerang situs web tersebut. "Bisa dari tertuduh, bisa dari kompetitor, bisa dari pihak yang merasa dirugikan, bisa juga memang dari peretas tanpa motif tertentu," ujar pendiri Vaksincom ini.
Alfons mengatakan Internet merupakan ruang umum di mana semua pengguna perlu membentengi diri. Dalam kasus Multatuli, dia melanjutkan, perlu dilihat Internet protocol (IP) mana yang melakukan DDoS. Menurut dia, Multatuli bisa melacak dengan mudah siapa yang melakukan penyerangan terhadap situs web mereka. "Karena kelihatannya tidak banyak dan pemilik IP tersebut diperiksa log komputernya yang melakukan DDoS untuk mengetahui motifnya."
Untuk mengatasi serangan tersebut pun relatif mudah. Alfons menyarankan orang atau media yang mendapat serangan digital tersebut menggunakan captcha untuk menyaring penyusupan bot. Juga bisa menggunakan layanan gratis Cloudflare mug. "Layanan itu akan mengamankan situs dari usaha DDoS."
Safenet—lembaga yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara—menyebutkan serangan digital saat ini dapat menyasar semua kalangan. Tidak hanya media, tapi juga aktivis dan lembaga. "Bahkan sekarang masyarakat umum juga berpotensi mendapat serangan digital berupa doxing karena setiap ada isu akan ada dua kubu berlawanan," kata Imal, anggota Safenet.
Serangan yang dialami Multatuli, Imal melanjutkan, diperkirakan dilakukan oleh pihak yang berseberangan dengan mereka dalam kasus dugaan pemerkosaan tersebut, dalam hal ini kepolisian. Multatuli bisa melacak dengan pendekatan pemetaan terhadap orang yang mencoba masuk ke laman mereka. "Itu memang pekerjaan yang melelahkan. Tapi sekarang banyak tools untuk itu," ujarnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo