MEREKA mengaku takut. Tapi, merasa demi mempertahankan haknya, mereka menggelar tikar di pelataran parkir Gedung DPRD, di Jalan Imam Bonjol, Medan. Di atas tikar itulah 36 petani asal Kabupaten Asahan ini -- bersama 14 anak dan bayi -- tidur berselimut embun malam. Banyak juga anggota DPRD yang risi, membujuk para petani ini agar beranjak dari sana. Tapi mereka bertahan, kecuali ada jaminan keamanan bila mereka pulang kampung. "Kami takut pulang, Pak," kata Kasianus Manurung, juru bicara petani itu. Kisah ini dimulai pada awal 1990. Ke desa itu -- Desa Silogomoan, Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan -- muncul para petugas PT Sintong Sari Union (SSU), perusahaan pengelola pabrik korek api di Pematangsiantar. Mereka mengaku telah mengantongi izin dari Departemen Kehutanan untuk mengolah desa itu menjadi areal hutan tanaman industri (HTI). Daerah itu akan ditanami sengon dan jabon, kayu untuk bahan baku chopsticks. Penduduk keberatan, sebab merasa lahan seluas 274 ha di desa itu milik mereka. Menurut versi penduduk, nenek moyang mereka mulai mendiami desa itu pada awal abad ke-20. Lalu perusahaan itu menawarkan ganti rugi Rp 100.000 per hektare. Penduduk menolak karena pasaran tanah di situ mencapai Rp 2 juta per hektare. Tiba-tiba, Agustus 1992, menurut cerita penduduk, sejumlah petugas PT Sintong Sari Union menyemprotkan racun lalang dan menebasi tanaman di kebun mereka. Bermacam tanaman, seperti durian, karet, atau kelapa sawit yang ada di sana, pada layu atau roboh. Sorenya, enam oknum berseragam mendatangi rumah Karmen, salah seorang petani yang rupanya ngotot menghalangi petugas tadi. "Jangan kalian garap lagi kebun sana. Itu sudah milik Sintong Sari Union," kata oknum itu. Karmen bertahan. Akibatnya, oknum tadi menodongkan senjata panjang ke tubuhnya. Itu saja belum cukup. Seperti dikatakan para petani itu kepada TEMPO, saat meninggalkan rumah Karmen, orang berseragam tadi melepaskan 10 kali tembakan ke udara. Di hari berikut, letusan seperti itu bahkan beberapa kali mewarnai suasana desa yang dihuni etnis Batak ini. Penduduk mengadu ke bupati. Tapi tak ada gunanya. Sebab, bupati berpendapat tanah itu milik negara. "Klaim penduduk, bahwa tanah itu milik mereka turun-temurun, tak benar," kata Kepala Humas Pemda Asahan Amiruddin. Kepala Kanwil Kehutanan Sumatera Utara Abdul Manan Siregar memperkuat pendapat itu. Menurut Siregar, HTI itu direncanakan seluas hampir 1.000 ha di Kabupaten Asahan dan Simalungun, termasuk yang sekarang menjadi sengketa di Desa Silogomoan. "Itu kawasan hutan yang digarap rakyat," kata Siregar. Akhirnya, penduduk berangkat ke DPRD. Setelah tiga hari, baru mereka bubar. Sebab, Ketua DPRD Sumatera Utara Mudyono menjamin penduduk tetap aman di kampungnya. Sang ketua juga berjanji mengirimkan tim DPRD ke Asahan. Bagaimana dengan dar-der-dor itu? Kepala Penerangan Kodam Bukit Barisan, Letnan Kolonel Mardjono, mengatakan bahwa memang ada pasukan yang melepas tembakan di daerah tersebut. Tapi itu bukan untuk meneror penduduk, melainkan untuk latihan praoperasi. "Wong, namanya latihan, tembakan pasti terdengar," kata Mardjono. Bersihar Lubis, Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini