Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Lulusan SD: Akan Jadi Tukang ?

Angka lulusan SD semakin meningkat. ALP tak mampu menampung seluruhnya. Ada alternatif, murid SD akan diberikan kursus ketrampilan.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURIKULUM SD terlalu berat. Setidaknya begitulah pendapat Saadoe'ddin Djambek, bekas Rektor IKIP Muhammadiyah dalam acara diskusi IKIP Jakarta, 10 Mei pekan lalu. Rektor IKIP itu kemudian menunjuk angka putus-sekolah di SD yang sangat besar. Katanya, sejak 1963 anak putus-sekolah SD berkisar 63%. Berarti setiap tahunnya usaha pendidikan bagi 63% murid kelas satu SD akan sia-sia saja. Jadi kalau pada tahun 1972 murid yang diterima di SD berjumlah 13 juta lebih, delapan juta lebih di antaranya diperkirakan tidak akan menerima ijazah. Jumlah ini setiap tahun akan meningkat. Sehingga, menurut Saadoe'ddin Djambek, usaha penanganan yang dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dengan paket bukunya hanya semacam "ein Lied Ohne Ende" Semacam nyanyian tanpa akhir - suatu usaha yang tak akan pernah selesai. Nah, dari keadaan yang serupa itupun, ledakan lulusan SD akan masih banyak. Bahkan Presiden April kemarin telah memberikan instruksi agar P&K menyiapkan program untuk mengatasi ledakan lulusan SD yang pada akhir 1980 diperkirakan berjumlah 1« juta pelajar. Kurikulum Bakal Tetap Maka Prof. Santoso Hamidjojo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, selesai menghadap Presiden menegaskan bahwa sistim baru pendidikan tingkat SD untuk mengltadapi ledakan tersebut tidak akan merubah kurikulum yang berlaku sekarang. "Tujuan institusionil SD untuk mendapatkan ijazah guna meneruskan pelajaran tidak akan ditinggalkan", ujar Santoso. Dan alternatif untuk mengatasi ledakan tadi antara lain berupa penambahan kursus ketrampilan bagi murid SD, baik dalam kurikulum maupun secara ekstra kurikuler. Apakah setelah itu kurikulum SD tidak semangkin berat? Agaknya yang penting di sini adalah mengatasi ledakan lulusan SD. Tentu tidak misalnya dengan mendirikan SMP Inpres."Mendirikan SLTP sebanyak-banyaknya relevan tidak?" tanya Santoso. Maksudnya, menambah bangku di atas SD belum merupakan cara pemecahan yang benar. Memang, menurut Dirjen, semua tentu ingin melanjutkan pendidikan. Tapi suatu kenyataan pula bahwa tidak semuanya mampu, baik karena tak tertampung, putus-sekolah dan sebab lain. Sebaliknya, penambahan ketrampilan di tingkat SD bukan pula merupakan vonis, seolah-olah sudah ditentukan bahwa sebagian lulusan SD tidak diperkenankan masuk SLTP. Jadi yang penting kini, menurut Santoso lagi, P&K berusaha untuk menajamkan persoalan dulu. "Sebab ibarat kamera, fokusnya belum tajam", katanya. Karena itu beberapa model dari alternatif yang akan diambil kini tengah dipersiapkan. Misalnya masih diperdebatkan apakah ke trampilan itu diberikan penuh di SD atau setelah lulus. Kalau ketrampilan itu diberikan secara penuh di tingkat SD, maka lulusannya yang akan terjun ke dunia kerja, umurnya masih di bawah 16 tahun, batas usia kelayakan kerja yang ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja. "Tidak akan baik akibatnya bagi anak-anak usia muda itu. Sebab paling banter mereka hanya akan jadi tukang. Dan kalau tukang ini sudah terlalu banyak, siapa yang akan jadi pemimpin?", ucap sebuah sumber di P & K. Sang Pemimpin Memberi ketrampilan penuh kepada murid SD, akan menutup tampilnya seorang pemimpin. Tidak semua anak bakatnya jadi tukang. Karena itu alternatif yang baik adalah tetap berpegang pada Kurikulum 1975. "Di sana sudah cukup ketrampilan yang membuka kemungkinan siswa yang tak berbakat jadi tukang bisa melanjutkan sekolahnya", tambah sumber tadi. Santoso Hamidjojo juga setuju kalau ketrampilan penuh diberikan setelah SD. "Yang paling baik ketrampilan penuh diberikan di tingkat SLTP", ucap Santoso. Di SD, ketrampilan juga penting. Namun tak usah murid-murid itu terlalu awal diberikan ketrampilan penuh. Karena niat membangun SD Inpres adalah untuk perataan pendidikan. "Kita harus punya persediaan banyak lulusan SD untuk menjadi karyawan ataupun pegawai swasta", tambah Santoso. Maksudnya agar tenaga-tenaga itu minimal tamat SD. Namun bila sudah banyak lulusan SD, apa mereka akan mudah jadi karyawan atau pegawai?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus