SEKITAR 40 juta rakyat Indonesia diperkirakan saat ini masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ini berarti seperempat dari sekitar 160 juta orang Indonesia. Pembangunan tidak berhasil? Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Angka itu dikutip dari lampiran pidato kenegaraan Presiden Soeharto 16 Agustus lalu di DPR. Menurut lampiran tersebut, pada 1976 jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan 54,2 juta (40,1%), pada 1978 turun menjadi 47,2 juta (33,3%), dan pada 1981 turun lagi menjadi 40,6 juta orang (26,9%). Dengan kata lain, jumlah penduduk yang miskin terus menurun. Ukuran yang dipakai untuk menentukan tingkat kemiskinan adalah pengeluaran keluarga minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan setara dengan 2.100 kalori per anggota keluarga per hari. Dari mana angka itu diperoleh? "Data itu memang dari Biro Pusat Statistik, dan didasarkan atas hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional)," Hananto Sigit, kepala Biro Analisa dan Pengembangan BPS, membenarkan pekan silam. BPS, katanya, telah menerapkan beberapa metode pengukuran garis kemiskinan tadi. "Yang akhirnya dipakai metode BPS II-B," ujarnya. Ada beberapa metode untuk mengukur garis kemiskinan. Antara lain metode Sajogyo, yang mendasarkan diri atas pcrhitungan batas pengeluaran minimal per kapita guna memenuhi kebutuhan dasar adalah ekuivalen dengan nilai 20 kg beras per bulan di desa, dan 30 kg untuk kota. Bank Dunia memakai patokan penghasilan, US$ 75 (sekitar Rp 75.000) tiap orang per tahun untuk daerah kota, dan US$ 50 untuk pedesaan. Metode yang dipakai BPS adalah angka 2.100 kalori. "Ukuran 2.100 kalori ini kebutuhan minimum. Kalau kebutuhan ini belum terpenuhi, baik protein maupun lemak akan dibakar menjadi kalori. Kami memang mengukurnya secara fisik. Seperti pepatah Jawa mangan wareg, nyandang utuh (makan kenyang, sandang pun utuh), ini ukurannya 2.100 kalori," ujar wakil kepala BPS Soetjipto Wirosardjono. Dalam perhitungan ini dimasukkan juga kebutuhan pokok bukan pangan tertentu, seperti sewa rumah, biaya listrik, dan pengobatan. Hasil pengukuran dengan berbagai metode itu tentu saja berbeda. Berdasarkan metode Sajogyo, pada 1981 jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan hanya 17,9 jUta (11,84%). Sedang bila cara Bank Dunia yang dipakai, pada tahun yang sama, angkanya malahan cuma 1,9% juta (1,27%). Yang menarik, pada 1976, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus, Presiden Soeharto menggunakan dasar perhitungan Bank Dunia. Waktu itu Kepala Negara mengumumkan, tahun itu hanya 3 d antara 10 orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hal itu suatu loncatan prestasi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni 9 di antara 10 orang (1967), lalu 8 dari 10 (1970). Mengapa mendadak kini ukuran yang dipakai diganti? Sebuah sumber TEMPO menjelaskan. "Jika ukuran Bank Dunia yang dipakai, berarti pcnduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan hampir habis. Angka itu terlalu baik. Pemerintah mau berhati-hati dan tidak mau menepuk dada. Kita masih hidup dalam serba ketidakpastian. Kalau nanti situasi ekonomi memburuk, bisa-bisa angka itu membesar dan bisa jadi kemudian muncul tuduhan-tuduhan yang tidak baik," kata scorang pejabat tinggi. Karena itulah kemudian dipilih dasar perhitungan BPS yang lebih konservatif. Dengan pertimbangan yangsama, angka itu sengaja tidak disinggung dalam pidato kenegaraan Presiden, dan hanya disinggung dalam lampirannya. Padahal, sebetulnya angka itu blsa membuktikan bahwa pembangunan ini betul-betul untuk rakyat kecil," ujar sumber yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini