Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Cuma Ngliwet Dan Petan

Seminar Wanita Indonesia di Hotel Wisata Jakarta, membahas tentang partisipasi wanita dalam ketenagakerjaan dan pandangan pria terhadap pekerjaan rumah tangga oleh wanita. (nas)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WANITA Indonesia bekerja lebih keras dibanding pria? Kesimpulan menarik ini muncul dalam Seminar Nasional Wanita Indonesia 23-25 Agustus lalu yang mengambil tema "Wanita Indonesia: Fakta dan Citra". Seminar yang diadakan di Hotel Wisata, Jakarta Pusat, itu dihadiri sekitar 190 orang, 25 di antaranya pria. Salah satu penceramah di hari pertama seminar adalah sekjen Departemen Tenaga Kcrja Sutopo Yuwono, yang membahas kebijaksanaan ketenagakerjaan, khususnya wanita, dalam Repelita IV. Menurut Sutopo, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita masih tetap rendah, 30%-31%. Artinya, kurang dari sepertiga angkatan kerja wanita yang terjun ke lapangan pekerjaan ekonomis. "Selebihnya hanya mengurus pekerjaan rumah tangga," ujar Sutopo. Mengutip hasil penelitian Litbang Depnaker, Sutopo mengungkapkan, penggunaan waktu efektif tenaga kerja ekonomis wanita secara rata-rata kurang dari 3,5 jam sehari, dengan 90 hari kerja setahun. Angka ini di bawah jam kerja pria, yang secara rata-rata bekerja 4-5 jam sehari dengan sekitar 150 hari kerja setahun. Disimpulkannya "Keterlibatan wanita dalam ketenagakerjaan masih rendah. Hal tersebut menyebabkan wanita sering dipandang sebagai beban komunitas. Lain pula pendapat Prof. Dr. Pudjiwati Sajogyo. Dalam makalahnya, guru besar IPB itu menyajikan sejumlah fakta yang diangkat dari serangkaian penelitian, yang dikoordinasikan Pusat Studi Pembangunan IPB. Secara tidak langsung fakta ini membantah pandangan Sutopo. Menurut Pudjiwati, curahan kerja wanita pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa, lebih besar dibanding pria. Hitungan ini mencakup curahan kerja total: pekerjaan nafkah dan rumah tangga, termasuk mengasuh anak, mencuci, dan memasak Kesimpulan ini dipetik dari hasil penelitian di dua desa Jawa Barat dan dua lagi di Sumatera Barat pada 1981. Hasilnya: secara rata-rata curahan kerja wanita di dua desa Ja-Bar tersebut 8 - 10 jam sehari, sedangkan laki-laki cuma 7-9 jam. Angka itu merupakan perhitungan rata-rata untuk masyarakat petam tak mampu, gurem, dan mampu. Kenyataan yang sama terjadi juga di Sum-Bar. Pudjiwati sempat pula berandai-andai dalam makalahnya. Andai kata konsepsi angkatan kerja meliputi pula pengertian kegiatan mengurus rumah tangga, angkatan bekerja akan bertambah 40%, 97% di antaranya wanita. Dengan kata lain, 3% pria Indonesia melakukan juga pekerjaan rumah tangga. Andal kata pekerjaan "mengurus rumah tangga" dinilai dengan rupiah, nilainya akan mencapai 87% dari pendapatan. Artinya, kalau dinilai uang, pekerjaan rumah tangga akan menambah tingkat pendapatan sebanyak 87%. Maka, beralasan jika Pudjiwati mengatakan, "Citra wanita Indonesia adalah bekerja keras." Menurut dia, para pembuat kebijaksanaan hendaknya menyadari kenyataan curahan kerja wanita yang tinggi ini. "Misalnya dalam penentuan waktu dalam memberikan pelayanan kepada wanita pedesaan, seperu pelayanan medis dan penyuluhan," katanya kepada TEMPO. Menurut beberapa peserta, selama ini penyuluhan dan pembinaan kepada wanita pedesaan kurang memperhatikan jam kerja mereka. "Jangan dikira setelah ngliqet (memasak nasi), mereka terus petan (mencari kutu). Jam kerja mereka lebih panjang daripada ibu-ibu di kota. Bagaimana wanita mau datang ke kelurahan untuk penyuluhan KB atau bayi sehat, sementara mereka mesti memburuh ke sawah untuk menambah penghasilan," kata seorang peserta. Kurangnya penghargaan pria terhadap pekerjaan rumah tangga oleh wanita memang ramai dipersoalkan dalam seminar. "Laki-laki sering terlalu merasa berjasa dengan melakukan pekerjaan ekonomisnya, sehingga beranggapan bahwa pekerjaan rumah tangga oleh isri tidak mempunyai sumbangan terhadap tegaknya kelangsungan hedup rumah tangga," kata Dr. Astrid Soesanto, kepala Biro Penerangan Bappenas. "Pandangan semacam itu bertolak dari nilai yang berlaku. Sumbernya, ya, seperti mitos atau semcam sterotip," kata Dr. Toety Herati Noerhadi, salah seorang peserta seminar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus