Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta Convention Center tiba-tiba beralih warna. Kuning ada di mana-mana.
Bilik utamanya, Plenary Hall, tak luput dikuningkan. Ruangan bulat yang tadinya berwarna krem disaput—lagi-lagi—kuning oleh cat yang aromanya masih menyengat ketika Tempo memasuki ruangan itu, Kamis pekan lalu. Sekitar 1.000 orang hadir dalam resepsi ulang tahun ke-42 Partai Golkar pada malam itu. Di antara undangan, hadirlah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia duduk berdampingan dengan wakil presiden sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla.
Ini bukan sekadar hajatan hari jadi. Golkar akan memberikan pernyataan politik hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai selama tiga hari. Ketua DPP Golkar, Theo L. Sambuaga, didaulat membacakan 17 butir pernyataan politik. Ada dua poin yang merengkuh perhatian hadirin. Pada butir ketujuh, Partai Golkar menegaskan posisinya sebagai mitra pemerintah. Butir selanjutnya, Golkar meminta pemerintah mengganti menteri dan pejabat pemerintah yang tidak becus menjalankan misi pemerintah. Kader Golkar menyambut tuntutan itu dengan aplaus panjang.
Melalui pernyataan itu, Partai Golkar sejatinya makin tersedot ke pusaran kekuasaan. Kita ingat, dua tahun lalu mereka sempat mengambil posisi sebagai partai oposisi. Jusuf Kalla, sang wakil presiden, kemudian menggulingkan kepemimpinan Akbar Tandjung di Partai Beringin. Golkar pun beralih haluan menjadi pendukung pemerintah. Posisi mitra saat ini, menurut Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono, membuka akses untuk bisa berkomunikasi secara intens dengan pemerintah. Misalnya, jika pemerintah memutuskan suatu kebijakan (pemerintah), Golkar menuntut untuk diajak berdialog terlebih dahulu.
Pernyataan politik itu lebih jinak ketimbang tuntutan yang beredar menjelang Rapimnas. Sebelumnya, 22 dari 33 daerah mengusulkan agar Golkar mencabut dukungan terhadap pemerintah dan kembali menjadi partai oposisi. Desakan ini muncul gara-gara presiden membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) pada akhir September lalu. Unit Kerja Presiden dianggap menabrak kewenangan Wakil Presiden Jusuf Kalla—ketua umum partai mereka.
Muncul pula tuntutan agar pemerintah menambah jatah kursi bagi Golkar di kabinet. Alasan mereka? Selama ini pemerintah telah memanfaatkan posisi Golkar sebagai pemegang kursi terbanyak, 128 kursi di DPR, untuk menjadi tameng program pemerintah yang tidak populer. Sebut contoh, kenaikan harga minyak dan beberapa kali upaya interpelasi dari partai-partai lain di DPR.
Sumber Tempo di DPP Golkar menye-but kedua isu itu ditiupkan sejumlah anggota partai tersebut untuk membenturkan Yudhoyono dan Kalla. ”Mana mungkin Golkar mencabut dukungan terhadap pemerintah?” kata salah seorang Ketua DPP. Itu sama artinya meminta Kalla mundur dari jabatan wakil presiden.
Toh, keinginan merombak kabinet menguat setelah pertemuan Yudhoyono dengan Wakil Ketua Umum Golkar yang sekaligus Ketua DPR, Agung Laksono, di rumah Presiden di Puri Cikeas Indah, Bogor. Mereka tidak sekadar membicarakan mekanisme reshuffle. Agung menyodorkan 15 kader partainya untuk mengisi sepuluh pos di kabinet. Pertemuan itu dilangsungkan dua pekan menjelang Rapimnas.
Nama-nama yang ditawarkan antara lain Andi Mattalata, Burhanuddin Napitupulu, Firman Soebagyo, Muladi, Priyo Budi Santoso, Rully Chaerul Azwar, Syamsul Mu’arif, Theo Sambuaga, Yuddy Chrisnandi, dan Yuniwati Maschun Sofwan. Posisi yang diincar adalah Menteri Pertahanan, Menteri Kesehatan, Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Dalam Negeri, Menteri Daerah Tertinggal, Menteri Perumahan, Menteri Pertanian, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pendidikan Nasional, plus Jaksa Agung.
Sumber Tempo di lingkaran elite partai itu menilai wajar jumlah menteri dari Golkar ditambah. Pada awal pemerintahan SBY-JK, hanya ada dua kader Golkar duduk dalam kabinet: Fahmi Idris sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Aburizal Bakrie yang menjadi Menko Perekonomian. Tetapi mereka dianggap tidak mewakili partai. Hal ini tidak lepas dari perjalanan Partai Beringin. Ketika rekrutmen kabinet, Golkar bersama PDI Perjuangan bergabung dalam Koalisi Kebangsaan, yang berseberangan dengan SBY-JK. Saat itu Fahmi, Aburizal, dan Kalla dianggap sebagai pembelot.
Arus berbalik setelah Jusuf Kalla menekuk Akbar Tandjung pada Munas Golkar di Bali, akhir 2004. Golkar menguasai posisi eksekutif sekaligus legislatif. Fungsionaris Golkar berharap ada revisi jumlah kader mereka di kabinet. Ternyata jatah menteri bagi Golkar nyaris tak bertambah. Kalla dianggap gagal mempengaruhi presiden. Satu sumber majalah ini membisikkan, masuknya Paskah Suzetta dalam perombakan kabinet tahun lalu karena hasil lobi Agung Laksono. Keberhasilan itu membuat sebagian politisi Golkar berpaling ke Agung Laksono. ”Sekarang mereka ramai-ramai mendaftar (menjadi kandidat menteri) ke Agung,” kata sumber yang sama.
Agung tidak hanya menguasai kartu para pengurus pusat. Dia juga makin mesra dengan pengurus daerah. Secara rutin dia bersafari untuk mendengar keluhan dan menggalang kekuatan yang mestinya menjadi tugas ketua umum. Apa daya, sebagai wakil presiden, Kalla tidak cukup punya waktu. ”Dia (Kalla) hanya jadi part timer di Golkar,” sumber tadi menambahkan.
Alhasil, Kalla berada pada posisi sulit. Selain kehilangan kendali atas Golkar, hubungannya dengan presiden juga mengalami pasang-surut. Menjelang Rapimnas, dia bergegas membenahi posisinya. Dalam sebuah rapat di DPP Golkar, Kalla mengatakan, jika presiden akan melakukan reshuffle kabinet apalagi memasukkan kader Golkar, maka dia adalah orang pertama yang akan dimintai pendapat oleh presiden. Meskipun kata akhir tetap di tangan RI-1. Sehingga, kader Golkar tidak perlu melakukan ”tempel kanan tempel kiri” untuk bisa masuk ke kabinet.
Dengan Presiden Yudhoyono, Kalla mencapai kata sepakat tentang batasan tugas dan posisi UKP3R. Dia memastikan, pemerintah akan memperhatikan pengorbanan Golkar sebagai tameng pemerintah. Dalam pidato politiknya saat resepsi Kamis pekan lalu, Kalla mengakui kemenangan duet SBY-JK dalam pemilu presiden 2004 banyak disumbang dari daerah-daerah basis kemenangan Golkar. Kalla mengatakan bahwa membangun memang lebih sulit dan berkeringat, ”Tetapi bekerja mendukung dan menjaga juga membutuhkan keringat yang mungkin lebih banyak,” katanya.
Dalam wawancara via telepon dengan Arif Kuswardono dari Tempo, pekan lalu, Kalla mengakui pertemuan Agung Laksono dengan Presiden memang tanpa sepengetahuan dia. Juga, nama-nama kader Golkar yang disodorkan Agung ke hadapan SBY untuk revisi kabinet. Tapi Kalla berkilah, ”Ini kan Ketua DPR bertemu presiden membicarakan urusan negara. Biasa saja itu,” ujarnya.
Dari laporan Agung kepada Kalla kemudian, Agung bertanya kepada Presiden, apakah benar akan ada reshuffle. ”Lalu Pak Agung bilang: Kalau benar, Golkar punya kader-kader yang bagus,” kata Kalla mengulangi cerita Agung kepada Tempo.
Kalla mengaku, dia tidak terlalu risau dengan kegiatan safari Agung ke daerah. Menurut dia, kepemimpinan Golkar itu kolektif dan setiap ketua mendapat tugas masing-masing. ”Saya yakin enggak ada itu (upaya Agung menyaingi posisinya sebagai ketua),” kata Kalla.
Kepada wartawan majalah ini yang mewawancarainya pekan lalu, Agung mengatakan kunjungan dia ke berbagai daerah adalah demi menjaga dinamisasi partai. ”Saya tidak bisa ke semua kabupaten, meski sebaiknya semua dikunjungi dan diajak berdialog,” katanya. Dia menolak mengakui adanya faksi-faksi dalam partai yang membawa kepentingan pribadi atau kelompok. ”Yang ada sekarang hanya soal komunikasi,” katanya. Soal pertemuannya dengan Presiden Yudhoyono, Agung Laksono mengakui sempat menyinggung soal reshuffle kabinet. Apakah sampai mengusulkan nama? ”Ya..., begitulah.”
Bagi Ketua DPP Golkar Tadjudin Noer Said, keputusan Golkar menjadi mitra pemerintah lebih berarti ketimbang duduk di kabinet. Banyaknya jumlah menteri dari Golkar tidak akan menunjukkan besarnya kekuatan partai. Mengutip Tadjudin, ”Lebih penting bagi Golkar, agenda partai untuk rakyat didengar dan dipakai pemerintah.”
Agung Rulianto, Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo