BANYAK gagasan menarik dalam usia Golongan Karya yang ke-23. Seperti terdengar dalam Rapat Pimpinan Golkar ke-3 di Jakarta minggu ini, menjelang HUT 20 Oktober ini. Terutama menyangkut tekad mandiri sebagai organisasi politik. Misalnya diikutsertakannya -- buat pertama kali -- para ketua DPD tingkat II (kota madya dan kabupaten). "Agar arti penting keputusan rapim dapat dihayati seluas mungkin," kata Ketua Umum, Sudharmono, S.H. "Mengurus organisasi yang makin besar semakin rumit. Karena itu, bobot kader harus lebih profesional, terutama di DPD tingkat II," tambahnya. Pemantapan konsolidasi itu selaras dengan harapan para pimpinan Golkar untuk mempertegas "akar", dan mandiri. Karena itu, Sudharmono menyatakan perlunya memelihara anggota yang setia di desa-desa, agar tidak luntur jadi floating mass kembali. Kian jelas, dalam beberapa tahun mendatang ini "massa mengambang" agaknya bakal jadi "massa menetap." Upaya itu dicanangkan Sudharmono dengan melontarkan gagasan adanya komunikator dan koordinator kader tingkat RT/RW dan dukuh, untuk membantu komisaris desa meningkatkan mutu kader dan anggota. Ia juga melihat perlunya menilai kembali para fungsionaris di kecamatan dan desa kalau perlu menyelenggarakan penyegaran dan penggantian. "Tugas komisaris desa penting, untuk mengendalikan kader dan anggota yang jutaan," katanya. Jumlah anggota Golkar saat ini lebih dan 28 juta orang, 25 juta di antaranya mengantungi kartu. Hampir 9 juta telah dibina jadi kader teritorial. Namun buat mandiri itu rupanya memang tuntutan sejarah Golkar sendiri, seperti diuraikan Maraden Panggabean, Ketua Presidium Harian Dewan Pembina Golkar. Ketika Sekber Golkar jadi Golkar lalu menghadapi pemilu 1971 dan 1977, organisasi politik ini lebih menampilkan ABRI (disebut "jalur A"). Pada pemilu 1982, Golkar lebih menonjolkan "jalur B" (Beringin) terutama Korpri. Baru pada pemilu 1987, yang tampil benar-benar Golkar ("jalur G"). "Tapi Golkar masih belum mampu berdiri sendiri, masih memerlukan bantuan birokrasi," ujar Panggabean. Ia menyarankan perlunya koordinasi ketiga jalur itu. "Dan mengingat jalur A tak dapat ditampilkan, peranan Dharma Pertiwi, Pepabri, Legiun Veteran, dan FKPPI sangat penting," tambahnya. Itu sebabnya Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam wanti-wanti berpesan, "Pemahaman mendalam mengenai kemandirian perlu secara serius diperjelas, sebelum dilaksanakan." Tapi Sudharmono sudah siap. Mengakui Golkar lahir ditopang ABRI, ia berpendapat mandiri tak berarti melepaskan diri dari segala ikatan dengan ABRI. Mandiri, menurut dia, representatif sebagai kekuatan politik yang kuat -- bukan karena dukungan luar tapi terutama karena kekuatan sendiri. Bahwa Golkar seiring dengan ABRI, itu untuk memelihara stabilitas dan persatuan nasional. Artinya, Golkar memikirkan prospek sebagai "partai" (yang belum resmi dipakai), yang memerintah dengan kerja sama kekuatan sosial-politik lain. Terutama ABRI. Dengan mandiri, Golkar sepenuhnya bisa jadi ukuran lebih akurat mengenai dukungan rakyat terhadap pemerintah. Golkar juga membuka diri terhadap perbedaan, justru dengan diterimanya Pancasila sebagai "satu-satunya asas" oleh semua kekuatan. Sudharmono, dalam sebuah wawancara, secara implisit mengemukakan perlunya keterbukaan itu. "Pancasila itu berwatak akomodatif, jadi kita tidak boleh eksklusif," katanya. "Yang pernah tidak sepaham, dtapat kita ajak. Mengikutsertakan semua pihak yang sudah sepaham tak ada salahnya. Artinya, Golkar bertekad jadi dewasa. Terbuka, tidak mandek, modern. Budiman S. Hartoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini