ITULAH senda gurau mereka terakhir. Seperti biasa, agar canda para buruh konveksi itu tak berlebihan, A Kiong, mandor, mengunci pintu satu-satunya di lantai atas perusahaan konveksi itu. Begitulah selalu ia kerjakan bila mau makan di tempat lain. Tujuannya, efisiensi, tentu: buruh tak bercanda di teras, tapi tetap di belakang mesin jahitnya. Lalu bencana itu pun muncul, tak terduga, begitu cepat, dan memilih waktu yang "tepat". Sebenarnya, ketika seorang buruh turun ke bawah, ia telah melihat bencana itu. Dari pojok belakang bangunan, ruang pemotongan kain, terlihat asap mengepul. "Api, api, kebakaran," teriaknya. Buruh di lantai bawah segera berhamburan menyelamatkan diri, karena api tiba-tiba bergolak. Tapi mereka yang terkunci di lantai atas seperti tak bereaksi apa pun. Kebiasaan bercanda rupanya menjadikan mereka lengah. Kemungkinan besar mereka yang di atas itu menganggap keributan di bawah hanya guyon. Ketika mereka menyadari bahaya, ruangan telah menjadi api. Maka, Jumat siang pekan lalu, mereka terpanggang hangus. Memilukan. Mereka mestinya berusaha menyelamatkan diri. Tapi jendela kaca nako dilindungi terali kukuh. Turun lewat tangga, di bagian belakang, sama saja seperti bunuh diri, sebab di situlah pusat neraka itu. Dan dari tangga selebar satu meter itulah mestinya asap merayap masuk. Ah, seandainya, si Mandor A Kiong tak mengunci pintu .... Bangunan berlantai dua itu terletak di Gang Sama Rasa, Kelurahan Angke, Jakarta Barat. Mereka yang berada di bawah, buruh-buruh, juga tetangga-tetangga di kawasan padat itu, bukannya tak menyadari maut pelan-pelan tengah mencekik mereka yang di lantai dua. "Kawan-kawan itu menjerit minta tolong, tapi apa daya," kata Asep, buruh konveksi itu juga, yang berada di lantai bawah. Api begitu cepat berkobar, karena isi ruangan barang yang mudah dilalap api, dari gulungan kain, kertas-kertas, karton, dan kayu. Mobil pemadam kebakaran datang sekitar 15 menit kemudian. Tanggap, tapi tak berdaya. Gang menuju bangunan itu sempit, cuma sekitar 2,5 meter. Mobil hanya bisa parkir di mulut gang, yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi bencana. Lalu, kesialan semakin sempurna setelah diketahui bahwa di lokasi itu air ternyata sulit. Hampir satu setengah jam para petugas bertarung menjinakkan api. Lewat sedikit dari pukul 13.00, api pun padam, asap hitam menghilang. Beberapa petugas memasuki bangunan yang terbakar. Mesin jahit telah jadi arang, kursi-kursi tinggal rangka besi. Berserakan. Di antara serakan itu ada sesuatu, mayat-mayat yang terkelupas, hitam legam, seperti berkumpul. Bau daging gosong.... Maut baru saja berpesta pora. Tak bisa segera diketahui identitas jasad itu satu per satu, bahkan untuk membedakan pria dan wanita saja hampir mustahil. Baru keesokan harinya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, diketahui, di antara 21 korban, lima wanita. Ahad lalu, dengan berbagai cara, korban bisa diketahui identitasnya, kecuali tiga mayat laki-laki yang masih samar-samar. Usaha konveksi itu telah berdiri sejak sembilan tahun silam. Dimulai dari usaha rumah tangga, Sofyan Laseni, 33 tahun, yang mewarisi usaha keluarga itu, mengembangkannya menjadi usaha yang tak lagi terbilang kecil. Ia pasang merk Nido, dan sampai saat terbakar memiliki 42 mesin jahit listrik, 51 pekerja -- semuanya buruh lepas. Upah di sini Rp 400,00 untuk sebuah baju. Nido menempati dua bangunan. Satu bangunan utama, berlantai dua, digunakan untuk kegiatan produksi. Satu bangunan lagi, gudang, berimpitan dengan bangunan loteng. Luas kapling kedua bangunan ini hampir sama, masing-masing sekitar 200 m2. Kedua bangunan ludes dimakan api. Tak lagi mengejutkan bila kemudian terungkap hal ini. Nido ternyata belum memiliki izin usaha industri konveksi. Kabarnya izin yang dimiliki sebagai industri rumah tangga, yang menurut ketentuan hanya boleh mempekerjakan maksimum 20 buruh. Untuk menggerakkan 42 mesin jahit, 1 mesin obras, beberapa mesin potong, dan beberapa setrika, Nido berlangganan listrik PLN 6.000 Watt. Menurut perhitungan "Kebutuhan semestinya paling tidak 15.000 Watt," kata seorang penyidik dari kepolisian. Nido diduga mencuri setrum. Maka, bila itu benar, instalasi di situ memikul beban melebihi kekuatan, "jadi panas, lalu kortsluiting," tutur polisi tadi. Ia mengesampingkan asuransi Rp 100 juta sebagai "sumber" kebakaran. Menteri Tenaga Kerja Sudomo tampah sedih. Ia bertekad membawa persoalan itu ke pengadilan. "Pemilik usaha itu keterlaluan dia tak bertanggung jawab," katanya. Kim Sofyan Laseni, A Kiong, dan satu mandor lagi, ditahan di Polsek Tambora, Jakarta Barat. Untuk hal seperti ini seolah-olah pertanyaan mengapa bisa terjadi tak lagi perlu. Bahwa pihak pengusaha mengabaikan keselamatan kerja adalah jawaban yang hampir pasti. Maut memang tak terlihat, baru disadari bila telah muncul di depan mata. Ingat saja lima tahun lalu, restoran Coca di Jalan Gajah Mada, Jakarta, terbakar dan "memanggang" 16 karyawannya. Lima kompor dengan dua tabung minyak tanah serta sebuah kompor gas Elpiji, berderet-deret, hanya menyisakan sedikit ruang menuju pintu, yang juga satu-satunya. Lalu ke mana mereka menyelamatkan diri, bila sumber api justru di pintu itu ? Padahal, ketika restoran itu diberi rekomendasi, kompor jauh dari pintu. Juga seperti tak lagi dicari jalan pemecahannya, bila aparat Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K) ternyata tak sepenuhnya menguasai Jakarta, yang luasnya lebih dari 670 km2. Dengarlah pengakuan Ir. Soepadmono, Kepala Dinas P2K, yang ditemui TEMPO: "Wewenang kontrol ada pada kami. Tapi tenaga belum mencukupi, kami baru mulai pengontrolan bangunan tinggi yang merupakan tempat-tempat umum." Padahal, di "Dusun Besar" Jakarta orang menduga, justru di gang-gang sempit sekian ratus usaha yang rawan api terus berjalan. Mereka bukannya tak menyadari bahaya, tapi modal yang mepet dan desakan mencari nafkah memojokkan wiraswastawan itu melupakan keselamatan para pekerja. Dan para pekerja itu sendiri? Perlukah ini dijawab? Tantangan bagi Wiyogo, gubernur baru. Tri Budianto S., Sri Indrayati, Agus Wahid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini