CINA adalah suatu realitas di dunia dan pelaksanaan suatu
politik luar negeri hendaknya berdasar realitas." Ini ucapan
Menlu Mochtar Kusumaatmadja pekan lalu di depan para wartawan
asing Jakarta tatkala ditanya tentang kemungkinan normalisasi
hubungan diplomatik RI-RRC.
Satu langkah lebih dekat lagi ke arah pemulihan hubungan
diplomatik dengan Cina? Berkali-kali Menlu Mochtar mengemukakan
ada kemajuan dalam usaha pemulihan itu. Itu memang benar.
Pertemuan diplomat Indonesia dan diplomat Cina sejak beberapa
tahun terakhir ini bukan aneh lagi. Beberapa pejabat kedua
negara juga saling berkunjung dalam acara konperensi
internasional. Tapi pertanyaan dasarnya masih tetap ini. Kapan
pemulihan itu dilakukan?
Pihak Indonesia belakangan sering menyatakan ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi sebelum pemulihan bisa dilakukan. Antara
lain Cina harus menghentikan propaganda anti-lndonesia. Syarat
lain menunggu hasil pendaftaran ulang warga keturunan Cina di
sini. Setelah status mereka jelas, baru usaha pemulihan hubungan
bisa dimulai.
Sejauh mana pendaftaran itu sudah dilakukan? Dengan alasan
pendaftaran penduduk di Indonesia belum terlaksana dengan baik,
dan dalam rangka pembinaan ketenteraman dan ketertiban nasional,
diturunkanlah Keppres no. 52/1977 tentang pendaftaran penduduk.
Akhir 1977, keluar petunjuk pelaksanaannya berupa Instruksi
Mendagri no. X01 memuat tahapan pendaftaran.
Selambat-lambatnya 31 Maret 1978 orang asing dan penduduk
sementara sudah terdaftar. Dan selambat-lambatnya pada 31
Desember 1978 semua WNI keturunan asing sudah terdaftar. Batas
waktu ini rupanya tidak bisa dipenuhi. Di samping kurangnya
penerangan tentang tujuan pendaftaran, terjadinya ekses juga
menimbulkan keresahan mereka yang didaftar (TEMPO, 3 Februari
1979).
Tidak Ingin Kembali
Ditaksir ada sekitar 3 juta warga keturunan Cina di Indonesia.
Menurut data dari Biro Pusat Statistik, pada 1977/1978 jumlah WN
RRC di Indonesia tercatat 914.112 orang, stateless (tak
berkewarganegaraan) 122.013 sedang WN Taiwan ada 1.907 orang.
Belum semua daerah menyampaikan hasil penelitian kembali itu ke
Departemen Dalam Negeri, antara lain Yogyakarta, Jawa Timur,
Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Berapa yang belum
selesai didaftar? "Mungkin sekitar 20% lagi," ujar Kepala Biro
Humas Depdagri Feisal Tamin.
Menurut Feisal, banyak didapati kelainan dalam penelitian
kembali itu. "Ada yang dulu pernah menolak masuk WNI ternyata
sekarang mempunyai bukti kewarganegaraan," katanya. Diakuinya,
banyak dijumpai kesulitan dalam penelitian ini karena
terbatasnya biaya, tempat yang terpencar dan kurangnya bukti
atau dokumen yang dimiliki warga keturunan asing itu. Diharapkan
pendaftaran ini bisa selesai menjelang akhir 1980.
Kenyataan memang menunjukkan banyak yang dulu telah memilih
kewarganegaraan RRC sekarang ingin menjadi WNI. Terutama mereka
yang karena PP 10/1959 kemudian menyatakan ingin kembali ke RRC.
Sampai Desember 1960 jumlah mereka tercatat 210.000.
"Kami semua mau masuk menjadi WNI. Kami tidak ingin kembali ke
RRC," ujar Cin Ci Pin (50 tahun) yang lebih dikenal dengan
panggilan Si Pekak. Ia mengatasnamai 5.414 WN RRC yang ditampung
di 7 tempat di sekitar Medan. Si Pekak dkk berasal dari Aceh.
Akibat PP 10/1959 ada 10.912 orang Cina yang menyatakan ingin
pulang ke RRC. Sampai 1966 yang sudah dipulangkan 4.251 orang.
Karena pembekuan hubungan diplomatik RI-RRC pemulangan macet.
Sisanya yang sudah dikumpulkan di Medan kemudian hidup di tempat
penampungan, berkembang dan malah ada yang mengembangkan
industri rumahtangga.
Berlarutnya penampungan mereka membuat pengawasan kendur. Saat
ini tidak diketahui 1.256 orang eks penampungan ada di mana.
Diduga mereka diam-diam kembali ke Aceh atau menyusup tinggal di
daerah yang penduduknya padat Cina di sekitar Medan.
Sumber di Komdak II Sumatera Utara menyebutkan di provinsi ini
ada 12.085 orang asing, terutama keturunan Cina, yang tidak
memiliki dokumen imigrasi. Sedang yang belum mendaftar ulang
tercatat 37.260 orang dan diperkirakan yang harus memiliki Surat
Tanda Melapor Diri (STMD) di Sumatera Utara ada 156.425 orang.
Ada juga warga Cina di Medan yang tidak memusingkan soal status
mereka. Malah beberapa orang yang berstatus stateless justru
mendapat posisi penting. Misalnya seorang yang menjabat redaksi
pelaksana di salah satu koran Medan.
Suprapto, Kepala Kantor Imigrasi Banda Aceh, mengakui adanya
pertambahan penduduk Cina terutama di Banda Aceh. "Sulit
dikontrol karena kalau mereka tidak berdomisili tetap, saya
tidak bisa turun tangan," ujarnya. Menurut catatan kantornya,
sampai akhir Desember 1979 terdapat 3.413 Cina warganegara asing
yang tinggal di Banda Aceh.
Sulitnya mengurus surat WNI bagi keturunan asing bukan rahasia
lagi. "Amat melelahkan dan berbelit-belit," ujar Ku Yan Siong
(44 tahun), pemilik toko Matahari di Banda Aceh. Sejak 1958 ia
telah mengurusnya, namun yang ditunggunya belum juga keluar. Ia
jadi pasrah. "Terserahlah, mau keluar boleh, kalau tidak juga
tak apa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini