Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka yang kedinginan

Tempat pamukiman bekas tapol g30s/pki, a.l di sibira (sum-ut), amborawang (balikpapan), jilatan (kal-sel). ada yang berpenghuni ada yang tiba-tiba menghilang.

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK setempat menamainya "Proyek Pak Domo". Nama ini lekat sejak 16 November 1977 setelah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo meresmikannya. Terletak 164 km dari Medan di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, proyek Sibira direncanakan sebagai tempat pemukiman untuk para bekas tahanan G30S/PKI. Sibira yang terletak di Desa Parbulan Enam, dihuni 35 kepala keluarga yang hidup dari hasil kebun kopi dan sedikit tanaman padi. Dengan areal lebih 1000 ha, penduduk desa yang lengang ini menyambut gembira rencana pemerintah untuk menempatkan pemukiman bekas tahanan G30S/PKI di daerah mereka. Lewat upacara adat potong kerbau dan acara penyerahan, pada 13 November 1976 4 pengetua mewakili marga Sagala yang menghuni daerah ini menyerahkan 500 ha tanah mereka pada pemerintah. Menurut rencana di proyek ini akan ditempatkan 250 bekas tahanan yang sudah bebas tapi tak punya sanak keluarga lagi. Menjelang peresmian oleh Pak Domo, 200 ha tanah sudah ditraktor, 5 barak yang berukuran masing-masing 7 m x 24 m selesai dibangun. Dibangun pula kantor, aula, dapur umum, pos kesehatan dan tak ketinggalan pos penjagaan. Semua dengan dinding tepas, atap rumbia dan lantai tanah. Sungai Lae Sibira yang mengalir di lembah itu juga telah dibendung. Dibangun saluran irigasi yang bisa mengairi 200 ha sawah dan beberapa jembatan kayu. Wajar kalau Laksamana Sudomo gembira -- walau kelihatan lelah -- melihat semua itu. Turun dari helikopter yang membawanya, ia bertanya pada penduduk yang berkumpul: "Boleh bekas tahanan G30S tinggal di sini?". "Boleh pak," jawab Alpon Malta Sagala, Kepala Lorong dan pengetua marga di desa itu. "Supaya dibina ya," pesan Sudomo. Banyak wartawan yang meliput acara ini. Penduduk pun bersiap-siap menerima calon penghuni baru. Tapi anehnya yang ditunggu tidak juga muncul, kecuali 2 orang yaitu R.S. Sukidi (40 tahun) dan B. Tambunan (65 tahun). Kedua bekas tahanan Inrehab Tanjung Kasau itu dikawal oleh Jetta Sihombing, petugas Kodim. Sukidi dan Tambunan sempat menanam sayur di situ, namun 2 bulan kemudian mereka menghilang. "Mereka pergi karena kesunyian dan kedinginan," tutur Miar Sagala yang tinggal 1 km dari proyek. Hanya sekali Miar sempat berbicara dengan mereka. Penduduk yang lain malahan tidak pernah karena di situ ada papan bertuliskan "Dilarang masuk bagi yang tidak berkepentingan." Sibira pun kembali lengang seperti dulu. Tidak terurus, barak dan bangunan lain pada roboh. Tanah yang sudah ditraktor kembali ditumbuhi semak belukar. Penduduk pun jadi kesal. Terutama tentang tanah adat yang sudah mereka serahkan. "Kalau proyek tak jadi, tanah akan kami ambil kembali," ujar Alpon Sagala. Buyar juga janji para pejabat tentang bantuan traktor dan rencana pembangunan jalan. Alpon Sagala sendiri pernah menemui Komandan Kodim menanyakan hal ini. Jawaban yang diterimanya: "Kalau orang tak mau di situ masak mau dipaksakan." Masih Alpon tidak puas. Dengan duit pinjaman ia pergi menemui Pangkopkamtib Sudomo ke Jakarta. Dia berhasil bertemu. "Kok proyeknya tidak jadi pak?" tanyanya pada Sudomo. "Sudah ditahan 12 tahun, disediakan tanah untuk bertani. Mereka tak mau ya sudah," begitu jawab Sudomo seperti yang diceritakan Sagala pada Amran Nasution dari TEMPO. Alpon sempat seminggu menginap di Hotel Borobudur Jakarta dengan biaya Sudomo. Pembayaran Macet Menurut sumber Kodim, semula ada 38 orang yang akan menghuni proyek. Tapi nyatanya hanya 2 orang yang dikirim. Padahal di Kodim sudah tersedia 200 pasang cangkul, parang dan kapak untuk dipergunakan di proyek. Apa sebab proyek Sibira gagal? "Tanya saja Jakarta," jawab petugas Laksusda Sumatera Utara. Pemukiman Amborawang yang juga dihuni bekas tapol, 40 km dari Balikpapan, Kalimantan Timur mendingan. Artinya ada penghuninya. Dari 2000 ha tanah yang disediakan, baru sekitar 150 ha yang digarap 127 kepala keluarga. Namun jalan sepanjang 5 km menuju pemukiman ini rusak berat dan tak bisa dilewati kendaraan. Hanya 96 keluarga (42 di antaranya bekas ABRI) yang telah menempati rumah, sisanya masih tinggal di barak. "Padahal waktu ke sini pada akhir 1977 Pak Domo bilang di akhir 1979 tidak akan ada lagi yang tinggal di barak. Semuanya harus tertampung," ujar Damit Adji, Kepala Kampung Amborawang. Semula direncanakan untuk membangun 500 buah rumah sampai akhir 1979, hingga banyak yang mendaftar ingin tinggal di pemukiman. "Pembayaran biaya untuk pembangunan rumah kemudian macet," ujar Kusdi, bekas tapol yang ikut membangun beberapa rumah tapi belum juga menerima upahnya. Dia sendiri masih tinggal di barak, tapi punya rumah di Kabupaten Pasir. Sebenarnya ia ingin pulang ke kampung halamannya berkumpul dengan istri dan 3 anaknya yang sudah memberinya cucu. "Tapi Laksusda minta kami tetap di sini," ujar Kusdi, bekas anggota BTI yang ditahan sejak 1965 itu. "Pulang tak boleh, fasilitas di sini tak ada," lanjutnya sedih. Mereka yang tinggal di barak menerima jatah « kg beras per hari. Syukur permohonan Kusdi untuk bisa menggarap dulu 2 ha tanah yang menjadi bagiannya dikabulkan 2 bulan lalu. Fasilitas di sini memang minim. "Kita memerlukan peralatan pertanian, terutama penyemprot hama," ujar Salmuharjo, bekas Pelda yang pernah menjadi pengawal pribadi keluarga Presiden Soekarno. Tapi bahkan cangkul dan parang yang dulu pernah dijanjikan tidak pernah muncul. Tanah Amborawang kurang cocok untuk padi, tapi baik untuk kopi, kelapa atau cengkih. Namun bibitnya mahal. Salmu sendiri 4 atau 5 kali seminggu harus pergi ke Balikpapan menjadi buruh bangunan untuk bisa menyambung hidup. Segan Mengeluh Keadaan serupa juga ditemui di proyek pemukiman Desa Jilatan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Ada 35 kepala keluarga yang sejak Januari 1979 tinggal di sini. Mungkin karena baru, proyek ini masih di bawah "pembinaan" Kodam X/Lambung Mangkurat yang memberikan bantuan Rp 9.000/bulan pada tiap kepala keluarga. Setelah setahun bisakah para penghuninya berdiri sendiri? Hasil tanaman palawija mereka memang lebih dari cukup, dan padi gogo yang baru ditanam awal November lalu tampak subur. Hingga tampaknya memberi harapan. Yang menjengkelkan para penghuni adalah hama babi hutan dan kera yang merusak tanaman. Yang menonjol kelihatannya para bekas tapol ini rada segan mengeluh. Masa lalu rupanya masih mempengaruhi status mereka. Padahal sebetulnya mereka telah bebas sepenuhnya. "Pada mereka berlaku ketentuan sebagaimana transmigran biasa. Mereka sudah diserahkan pada pemerintah daerah, dus berada dalam pembinaan daerah," ujar Kepala Penerangan Hankam/Kopkamtib Brigjen Goenarso S.F. pekan lalu. Bagaimana kalau yang tinggal di pemukiman merasa tak betah? "Terserah pada mereka. Kalau mau terus di sana ya boleh saja. Kalau tidak mau ya tidak ada masalah. Tidak ada paksaan bagi mereka untuk tinggal di sana," lanjut Goenarso. Jawabannya tentang bekas pemukiman yang telah "dikosongkan": "Itu bisa dipakai untuk keperluan lain, misalnya untuk transmigrasi umum atau untuk penduduk setempat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus