PENDUDUK setempat menamainya "Proyek Pak Domo". Nama ini lekat
sejak 16 November 1977 setelah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo
meresmikannya. Terletak 164 km dari Medan di Kecamatan
Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, proyek Sibira
direncanakan sebagai tempat pemukiman untuk para bekas tahanan
G30S/PKI.
Sibira yang terletak di Desa Parbulan Enam, dihuni 35 kepala
keluarga yang hidup dari hasil kebun kopi dan sedikit tanaman
padi. Dengan areal lebih 1000 ha, penduduk desa yang lengang ini
menyambut gembira rencana pemerintah untuk menempatkan pemukiman
bekas tahanan G30S/PKI di daerah mereka. Lewat upacara adat
potong kerbau dan acara penyerahan, pada 13 November 1976 4
pengetua mewakili marga Sagala yang menghuni daerah ini
menyerahkan 500 ha tanah mereka pada pemerintah.
Menurut rencana di proyek ini akan ditempatkan 250 bekas tahanan
yang sudah bebas tapi tak punya sanak keluarga lagi. Menjelang
peresmian oleh Pak Domo, 200 ha tanah sudah ditraktor, 5 barak
yang berukuran masing-masing 7 m x 24 m selesai dibangun.
Dibangun pula kantor, aula, dapur umum, pos kesehatan dan tak
ketinggalan pos penjagaan. Semua dengan dinding tepas, atap
rumbia dan lantai tanah. Sungai Lae Sibira yang mengalir di
lembah itu juga telah dibendung. Dibangun saluran irigasi yang
bisa mengairi 200 ha sawah dan beberapa jembatan kayu.
Wajar kalau Laksamana Sudomo gembira -- walau kelihatan lelah --
melihat semua itu. Turun dari helikopter yang membawanya, ia
bertanya pada penduduk yang berkumpul: "Boleh bekas tahanan G30S
tinggal di sini?". "Boleh pak," jawab Alpon Malta Sagala, Kepala
Lorong dan pengetua marga di desa itu. "Supaya dibina ya," pesan
Sudomo. Banyak wartawan yang meliput acara ini.
Penduduk pun bersiap-siap menerima calon penghuni baru. Tapi
anehnya yang ditunggu tidak juga muncul, kecuali 2 orang yaitu
R.S. Sukidi (40 tahun) dan B. Tambunan (65 tahun). Kedua bekas
tahanan Inrehab Tanjung Kasau itu dikawal oleh Jetta Sihombing,
petugas Kodim. Sukidi dan Tambunan sempat menanam sayur di situ,
namun 2 bulan kemudian mereka menghilang. "Mereka pergi karena
kesunyian dan kedinginan," tutur Miar Sagala yang tinggal 1 km
dari proyek. Hanya sekali Miar sempat berbicara dengan mereka.
Penduduk yang lain malahan tidak pernah karena di situ ada papan
bertuliskan "Dilarang masuk bagi yang tidak berkepentingan."
Sibira pun kembali lengang seperti dulu. Tidak terurus, barak
dan bangunan lain pada roboh. Tanah yang sudah ditraktor kembali
ditumbuhi semak belukar. Penduduk pun jadi kesal. Terutama
tentang tanah adat yang sudah mereka serahkan. "Kalau proyek tak
jadi, tanah akan kami ambil kembali," ujar Alpon Sagala. Buyar
juga janji para pejabat tentang bantuan traktor dan rencana
pembangunan jalan. Alpon Sagala sendiri pernah menemui Komandan
Kodim menanyakan hal ini. Jawaban yang diterimanya: "Kalau orang
tak mau di situ masak mau dipaksakan."
Masih Alpon tidak puas. Dengan duit pinjaman ia pergi menemui
Pangkopkamtib Sudomo ke Jakarta. Dia berhasil bertemu. "Kok
proyeknya tidak jadi pak?" tanyanya pada Sudomo. "Sudah ditahan
12 tahun, disediakan tanah untuk bertani. Mereka tak mau ya
sudah," begitu jawab Sudomo seperti yang diceritakan Sagala pada
Amran Nasution dari TEMPO. Alpon sempat seminggu menginap di
Hotel Borobudur Jakarta dengan biaya Sudomo.
Pembayaran Macet
Menurut sumber Kodim, semula ada 38 orang yang akan menghuni
proyek. Tapi nyatanya hanya 2 orang yang dikirim. Padahal di
Kodim sudah tersedia 200 pasang cangkul, parang dan kapak untuk
dipergunakan di proyek. Apa sebab proyek Sibira gagal? "Tanya
saja Jakarta," jawab petugas Laksusda Sumatera Utara.
Pemukiman Amborawang yang juga dihuni bekas tapol, 40 km dari
Balikpapan, Kalimantan Timur mendingan. Artinya ada
penghuninya. Dari 2000 ha tanah yang disediakan, baru sekitar
150 ha yang digarap 127 kepala keluarga. Namun jalan sepanjang 5
km menuju pemukiman ini rusak berat dan tak bisa dilewati
kendaraan. Hanya 96 keluarga (42 di antaranya bekas ABRI) yang
telah menempati rumah, sisanya masih tinggal di barak. "Padahal
waktu ke sini pada akhir 1977 Pak Domo bilang di akhir 1979
tidak akan ada lagi yang tinggal di barak. Semuanya harus
tertampung," ujar Damit Adji, Kepala Kampung Amborawang.
Semula direncanakan untuk membangun 500 buah rumah sampai akhir
1979, hingga banyak yang mendaftar ingin tinggal di pemukiman.
"Pembayaran biaya untuk pembangunan rumah kemudian macet," ujar
Kusdi, bekas tapol yang ikut membangun beberapa rumah tapi belum
juga menerima upahnya. Dia sendiri masih tinggal di barak, tapi
punya rumah di Kabupaten Pasir.
Sebenarnya ia ingin pulang ke kampung halamannya berkumpul
dengan istri dan 3 anaknya yang sudah memberinya cucu. "Tapi
Laksusda minta kami tetap di sini," ujar Kusdi, bekas anggota
BTI yang ditahan sejak 1965 itu. "Pulang tak boleh, fasilitas di
sini tak ada," lanjutnya sedih. Mereka yang tinggal di barak
menerima jatah « kg beras per hari. Syukur permohonan Kusdi untuk
bisa menggarap dulu 2 ha tanah yang menjadi bagiannya dikabulkan
2 bulan lalu.
Fasilitas di sini memang minim. "Kita memerlukan peralatan
pertanian, terutama penyemprot hama," ujar Salmuharjo, bekas
Pelda yang pernah menjadi pengawal pribadi keluarga Presiden
Soekarno. Tapi bahkan cangkul dan parang yang dulu pernah
dijanjikan tidak pernah muncul. Tanah Amborawang kurang cocok
untuk padi, tapi baik untuk kopi, kelapa atau cengkih. Namun
bibitnya mahal. Salmu sendiri 4 atau 5 kali seminggu harus pergi
ke Balikpapan menjadi buruh bangunan untuk bisa menyambung
hidup.
Segan Mengeluh
Keadaan serupa juga ditemui di proyek pemukiman Desa Jilatan,
Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Ada 35 kepala keluarga
yang sejak Januari 1979 tinggal di sini. Mungkin karena baru,
proyek ini masih di bawah "pembinaan" Kodam X/Lambung Mangkurat
yang memberikan bantuan Rp 9.000/bulan pada tiap kepala
keluarga.
Setelah setahun bisakah para penghuninya berdiri sendiri? Hasil
tanaman palawija mereka memang lebih dari cukup, dan padi gogo
yang baru ditanam awal November lalu tampak subur. Hingga
tampaknya memberi harapan. Yang menjengkelkan para penghuni
adalah hama babi hutan dan kera yang merusak tanaman. Yang
menonjol kelihatannya para bekas tapol ini rada segan mengeluh.
Masa lalu rupanya masih mempengaruhi status mereka. Padahal
sebetulnya mereka telah bebas sepenuhnya. "Pada mereka berlaku
ketentuan sebagaimana transmigran biasa. Mereka sudah diserahkan
pada pemerintah daerah, dus berada dalam pembinaan daerah," ujar
Kepala Penerangan Hankam/Kopkamtib Brigjen Goenarso S.F. pekan
lalu.
Bagaimana kalau yang tinggal di pemukiman merasa tak betah?
"Terserah pada mereka. Kalau mau terus di sana ya boleh saja.
Kalau tidak mau ya tidak ada masalah. Tidak ada paksaan bagi
mereka untuk tinggal di sana," lanjut Goenarso. Jawabannya
tentang bekas pemukiman yang telah "dikosongkan": "Itu bisa
dipakai untuk keperluan lain, misalnya untuk transmigrasi umum
atau untuk penduduk setempat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini