Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -- Koalisi Masyadakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan akan mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi. Direktur Eksekutif Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan, pengajuan uji materi itu sebagai korektif terhadap pengesahan revisi Undang-Undang TNI yang dinilai bermasalah secara formil dan materiil. “Ini kritik atas upaya legalisasi dwifungsi TNI melalui pengesahan revisi Undang-Undang TNI, koalisi akan mengajukan judicial review Undang-Undang TNI,” kata Ardi dalam keterangannya pada Kamis, 27 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imparsial, lembaga nirlaba yang berfokus pada isu hak asasi manusia (HAM) dan juga sektor keamanan, menjadi bagian dalam koalisi masyarakat sipil. Ardi mengatakan, pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Maret 2025 menambah panjang daftar preseden buruknya proses legislasi di DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab, menurut dia, proses legislasi regulasi tersebut mulai dari pembahasan hingga pengesahan memicu penolakan meluas dari berbagai rakyat sipil. Bahkan, penolakan terus terjadi setelah pengesahan.
Al Araf, peneliti Centra Inititiave, mengatakan pembahasan revisi UU TNI menunjukkan proses legislasi yang mengesampingkan prinsip-prinsip yang benar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Selain itu, kata dia, koalisi masyarakat sipil juga menilai ada berbagai persoalan yang secara substantif ada dalam revisi Undang-Undang TNI.
Centra Inititiave, lembaga yang berfokus pada isu keamanan, juga termasuk dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Al Araf menjelaskan, revisi Undang-Undang TNI dinilai bermasalah secara formil. Pertama, pembahasan revisi regulasi tersebut terlampau cepat dan terburu-buru tanpa memberikan kesempatan masyarakat untuk turut terlibat lebih luas dalam pembahasan atau meaningful participation. “Berbagai dialog dengan elemen akademisi maupun civil society dalam rapat dengar pendapat umum semestinya memperlihatkan urgensi dan ruang dialog yang terbuka dan lebih luas,” kata Al Araf dalam kesempatan yang sama, Kamis, 27 Maret 2025.
Namun, pembahasan malah dilakukan secara tertutup di hotel dan pada hari libur. Menurut Al Araf, hal itu semakin menunjukkan tertutupnya partisipasi publik. Dia menilai, tindakan itu mencerminkan rendahnya komitmen DPR untuk bersikap transparan dan membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan regulasi.
Kedua, koalisi berpendapat, alih-alih membahas problem krusial untuk mendorong tranformasi TNI ke arah yang profesional, revisi Undang-Undang TNI justru terkesan politis dan tidak menjawab kebutuhan reformasi TNI.
Menurut Al Araf, revisi Undang-Undang TNI yang disahkan dalam Paripurna DPR justru tidak menyentuh agenda krusial transformasi TNI, misalnya reformasi peradilan militer. Padahal, dalam rapat dengar pendapat umum, civil society mendesak pencabutan terhadap Pasal 74 Undang-Undang TNI. Pencabutam tersebut secara otomatis akan menghukum prajurit TNI yang terjerat pidana sipil diadili di peradilan umum.
Kemudian, dia melanjutkan, revisi tersebut tidak memuat pembentukan Rancangan Undang-Undnag RUU Tugas Perbantuan Militer, moderninsasi autsista, kesejahteraan prajurit, problematika transparansi dan akuntabilittas, hingga kekerasan terhadap warga sipil. “Alih-alih membahas substantif, DPR justru mengesahkan pasal yang memperluas penempatan TNI di jabatan sipil, pengaturan operasi militer selain perang, serta penambahan kewenangan dan lain lain,” katanya.
Hal lain, koalisi menduga adanya upaya perluasan peran dan fungsi TNI di ranah sipil (dwifungsi) melalui judicial review Undang-Undang TNI yang diajukan Kolonel Sus Halkis. Halkis merupakan anggota TNI aktif sekaligus guru besar di Universitas Pertahanan.
Halkis mengajukan uji materi perihal penghapusan pasal larangan berbisnis bagi prajurit aktif. Dia menilai, pasal itu dianggap bertentangan dengan konstitusi dan mengekang hak prajurit sebagai warga negara.
Pengesahan revisi Undang-Undang TNI dilakukan di tengah gelombang penolakan dari berbagai kalangan, dari masyarakat sipil hingga mahasiswa. Hingga Kamis, 27 Maret 2025, atau sepekan setelah disahkan, masyarakat terus menggelar aksi demonstrasi menolak Undang-Undang TNI di sejumlah kota.
Uji materi terhadap Undang-Undang TNI ke Mahkamah Konstitusi juga diajukan tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) sebagai pemohon. Abu Rizal Biladina, kuasa hukum pemohon, mengatakan uji materiil terhadap Undang-Undang TNI diajukan karena proses pembentukannya dinilai inkonstitusional. “Pembentukannya janggal dan tergesa-gesa,” kata Abu Rizal di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025.
Adapun Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan, pembahasan dalam revisi Undang-Undang TNI sudah melibatkan elemen masyarakat. Dia membantah revisi Undang-Undang TNI dikerjakan secara kilat.
Jenderal TNI bintang dua ini mengatakan revisi tersebut sudah dibahas sejak 2010. “Kemudian masuk program legislasi nasional atau prolegnas tahun 2015 sampai 2019,” kata Kristomei dalam diskusi daring membahas revisi Undang-Undang TNI pada Selasa, 25 Maret 2025.
Karena tidak disahkan menjadi undang-undang, dia melanjutkan, regulasi itu kembali dimasukkan ke Prolegnas periode 2020-2024. Saat itu, revisi UU TNI berada di urutan ke-127, tetapi tidak sempat dibahas hingga masa jabatan DPR berakhir. “Artinya, pembahasan perihal rencana revisi Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 ini sudah memenuhi tahapan-tahapan,” ujar dia.
Kristomei menjelaskan, pembahasan dalam revisi tersebut tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil. Penyusunannya telah mencakup Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan disusun sesuai dengan prinsip demokrasi serta hukum yang berlaku.
M. Rizki Yusrial dan Andi Adam Faturahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: