Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bagi Indonesia, Mei menjadi bulan lahirnya era reformasi. Pada 1998, rakyat bergejolak menuntut adanya perubahan sistem kekuasaan. Presiden Soeharto dianggap terlalu memonopoli perpolitikan dan membuat demokrasi di titik terendah. Krisis moneter sejak 1997 pun turut menjadi pemicu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, upaya berbagai pihak mewujudkan demokrasi yang benar-benar di tangan rakyat berujung sejumlah tragedi. Di antaranya empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak aparat. Peristiwa itu membuat gerakan meluas dan berujung mundurnya Soeharto. Kemunduran “Sang Jenderal Tersenyum” itu menandai era Reformasi bagi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu dekade berselang, tepatnya 2019, aksi massa terjadi lagi. Ribuan mahasiswa turun ke jalan pada September tahun tersebut. Bukan menuntut sistem reformasi diubah, mereka berunjuk rasa lantaran ada upaya pelemahan terhadap lembaga pemberantas rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Aksi unjuk rasa ini terkenal dengan tagar #ReformasiDikorupsi.
Kilas balik aksi #ReformasiDikorupsi
Dilansir dari publikasi 2 Tahun #ReformasiDikorupsi dan Keruhnya Ekosistem Hukum Indonesia, aksi #ReformasiDikorupsi merupakan puncak tertinggi penolakan publik terhadap agenda legislasi DPR dan pemerintah sesudah Reformasi 1998. Puluhan ribu mahasiswa di hampir semua kota membanjiri jalanan dengan tujuh tuntutan.
Salah satunya pembatalan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2109 tentang Perubahan atas Undang-Undang KPK alias revisi UU KPK dan penghentian pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Massa juga mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga.
Kegentingan yang memaksa kian terasa akibat gelombang demonstrasi yang semakin tak terbendung dan akhirnya memakan korban. Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS melaporkan ada lima korban tewas akibat tindakan represif aparat. Ribuan orang lainnya ditangkap tanpa alasan yang sah. Bahkan banyak jurnalis ikut menjadi korban.
Menurut laporan publikasi Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi Menelisik Pengesahan Revisi Undang-Undang-Undang KPK, terdapat 340 dosen Universitas Gajah Mada, 163 dosen Universitas Padjajaran, dan 2.338 dosen dari 33 perguruan tinggi se-Indonesia menyuarakan penolakan atas revisi UU KPK. Mereka berpandangan isi dari revisi UU KPK tersebut melemahkan institusi KPK.
KontraS melaporkan aksi nasional #ReformasiDikorupsi temasuk aksi #RakyatBergerak #TuntaskanReformasi dimulai sejak 23 September 2019 di berbagai kota besar di Indonesia antara lain, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, Palu dan Jakarta. Aksi berakhir dengan aksi brutal dan represif dari aparat dengan menembakkan gas air mata, meriam air bahkan peluru karet.
“Di Jakarta sendiri ditemukan selongsong-selongsong gas air mata kadaluarsa. Tak hanya itu, para demonstran diburu hingga ke dalam rumah makan, stasiun, dan rumah ibadah,” tulis KontraS di laman resmi mereka, Kontras.org.
Aksi nasional dengan 7 desakan yang mempersatukan berbagai macam elemen dari mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan pelajar dilawan dengan aksi brutal dan kekerasan oleh aparat keamanan dengan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan (unnecessary or excessive use of force). Dampak dari kebrutalan itu, lima orang masa aksi meinggal dunia, diantaranya Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo; pemuda asal Tanah Abang, Maulana Suryadi; serta dua pelajar, Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | FEBRIYAN