Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kelompok mahasiswa di dua perguruan tinggi negeri mempermasalahkan penetapan kelompok uang kuliah tunggal (UKT) yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi ekonomi mahasiswa dan orang tua. Akibatnya, banyak mahasiswa yang terpaksa mengajukan cuti karena belum sanggup membayar UKT. “Di kampus kami, sebanyak 160 mahasiswa terpaksa cuti,” kata Mushab, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), kemarin. “Ini tidak boleh diabaikan begitu oleh kampus.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi bersama mahasiswa yang tergabung dalam UNY Bergerak, kata Mushab, menggelar survei pada 21 Desember 2022-2 Januari 2023. Survei ini menjaring responden sebanyak 1.045 dari total 26.263 mahasiswa. Hasilnya, 92 persen responden menyatakan biaya kuliah mereka ditanggung oleh orang tua. Dari jumlah itu, 30 persen mahasiswa mengaku pendapatan orang tua mereka hanya Rp 1-2 juta. “Sedangkan 25 persen hanya memiliki pendapatan Rp 500 ribu,” kata Mushab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNY membagi UKT dalam delapan kelompok. Pengelompokan ini didasarkan pada kemampuan ekonomi mahasiswa dan orang tua. Berdasarkan hasil survei, mahasiswa yang mengeluhkan UKT berada di kelompok V sebanyak 25 persen dan kelompok VI sebanyak 29 persen. Kewajiban UKT untuk kelompok V sebesar Rp 3,5-4,24 juta. Sedangkan kelompok VI sebesar Rp 4,24-4,85 juta. “Ada orang tua mahasiswa yang penghasilannya Rp 1-2 juta, tapi mendapat UKT sampai Rp 3-4 juta,” kata Mushab.
Mushab juga mengatakan mahasiswa mengalami kesulitan menurunkan biaya UKT. Padahal penyesuaian UKT bisa dilakukan bila yang membiayai kuliah meninggal, sakit permanen, terkena pemutusan hubungan kerja, pensiun, bisnisnya bangkrut, atau terkena dampak bencana alam. “Sepuluh mahasiswa ada yang walinya meninggal, tapi tidak direspons kampus,” kata Mushab.
Persoalan serupa juga terjadi di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Anggota Serikat Mahasiswa Hasanuddin, Rezky, mengatakan ada mahasiswi program studi Agroteknologi Fakultas Pertanian 2021 yang mendapat UKT kelompok V dengan nominal Rp 3 juta. Padahal orang tuanya hanya bekerja sebagai petani. “Penghasilan sekitar Rp 1 juta untuk membiayai dua adik dan satu kakek,” kata Rezky.
Berdasarkan survei Serikat Mahasiswa, dari 392 responden, sebanyak 349 mahasiswa berkeberatan dengan kelompok UKT yang diterima. Mereka rata-rata berada di kelompok III-VII. “Pendapatan orang tua rata-rata Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta,” ujar Rezky.
Menurut Rezky, tahun ini sebanyak 11 ribu mahasiswa telat membayar UKT. Keterlambatan itu terjadi karena sejak awal kampus tidak melihat kondisi keuangan mahasiswa dalam penetapan kelompok UKT. Bahkan, kata Rezky, 24 mahasiswa memilih berhenti kuliah karena tidak mampu melunasi UKT dan 46 mahasiswa memutuskan cuti.
Serikat Mahasiswa Universitas Hasanuddin sebetulnya sudah meminta kampus menyesuaikan kelompok UKT mahasiswa pada 2 Februari 2022. Namun Direktorat Keuangan, Akuntansi, dan Pelaporan yang berada langsung di bawah Wakil Rektor II Bidang Keuangan mengatakan tidak bisa melakukan penyesuaian karena Universitas Hasanuddin sudah menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH). Dengan status itu, Universitas Hasanuddin diberi otonomi penuh untuk mengelola keuangan, termasuk kebijakan soal UKT.
Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Keuangan UNY, Lantip Diat Prasojo, tidak membalas pertanyaan Tempo ihwal penetapan UKT tersebut. Adapun Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Keuangan Universitas Hasanuddin, Subehan, mengatakan penetapan kelompok UKT di kampusnya sudah didasari kondisi ekonomi orang tua serta mahasiswa. “Pertimbangan penetapan nilainya bergantung pada biaya kuliah di setiap program studi,” katanya. “Sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang diusulkan oleh program studi masing-masing.”
Menurut Subehan, mahasiswa bisa mengajukan permohonan penurunan UKT. Mekanismenya, mereka mengajukan permohonan ke fakultas, kemudian ditindaklanjuti di tingkat universitas didasari SK Rektor 3329/UN4.1/KEP/2020. “Mahasiswa yang mengajukan cuti akademis tidak dikenai biaya pendidikan,” katanya.
Anggota tim Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Gana Hadisurya, mengatakan sudah mengingatkan supaya perguruan tinggi menetapkan kelompok UKT berdasarkan pada kondisi ekonomi orang tua dan mahasiswa. Perguruan tinggi memiliki mekanisme yang mudah dalam memberikan keringanan UKT. Apalagi ada beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang bisa membantu mahasiswa kurang mampu.
Ancaman Kebebasan Akademis
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan UKT menjadi bentuk nyata komersialisasi pendidikan. Banyak mahasiswa yang kesulitan membayar UKT karena biaya yang mahal. Perguruan tinggi lebih mementingkan profit daripada mencerdaskan anak bangsa. “Perguruan tinggi negeri harus mencari sumber pendanaan sendiri sehingga meninggikan biaya kuliah,” katanya. “Mahasiswa menjadi korban karena semestinya pembiayaan pendidikan dikembalikan kepada negara.”
Dua mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar unjuk rasa menuntut Mendikbudristek Nadiem Makarim menuntaskan polemik sistem uang kuliah tunggal (UKT) di depan gedung Kemendikbudristek, Jakarta, 20 Februari 2023. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana, mengatakan UKT merupakan pelanggaran terhadap kebebasan akademis. UKT yang mahal membuat mahasiswa kesulitan mendapatkan hak memperoleh pendidikan. Padahal basis dasar kebebasan akademis memastikan pendidikan bisa dinikmati oleh siapa pun secara bebas dan bertanggung jawab.
Menurut Satria, isu UKT berperan sentral dalam upaya mendekonstruksi kebebasan akademis yang mampu menciptakan akses pendidikan merata. “Dan akses itu tidak bisa terbentuk kalau ada komersialisasi pendidikan,” kata Satria. Selama 2022, KIKA mencatat terjadi tren kenaikan kekerasan kebebasan akademis. Tahun ini, KIKA sudah melakukan pendampingan terhadap 43 kasus pembungkaman kebebasan akademis. Angka tersebut naik drastis dibanding pada 2021 yang berjumlah 29 kasus.
Dari 43 kasus itu, ada 11 bentuk pelanggaran, antara lain serangan digital terhadap akademikus yang mengkritik, tekanan dan teror terhadap aksi mahasiswa, kesaksian ahli dosen yang dipidana, dugaan korupsi di perguruan tinggi, isu UKT dan ancaman bagi mahasiswa yang mengkritik, praktik plagiarisme dan jual-beli jurnal ilmiah, serta pemaksaan kebenaran sepihak dari pemerintah.
Selanjutnya, pendudukan akademikus untuk melegitimasi proyek strategis nasional, peleburan lembaga riset yang disertai pendisiplinan satu arah di BRIN, pola rekrutmen kampus yang feodal, serta banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang tidak terselesaikan.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo