Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menangkal Pejabat Berbisnis

Yang menarik ialah ketika SBY mengaitkan masalah pejabat yang ”berdwifungsi” sebagai pengusaha dengan oligarki ekonomi—konsentrasi kekayaan di tangan beberapa orang tertentu—yang dianggapnya mengkhawatirkan.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji lagi, atau punya satu keinginan lagi: mengeluarkan instruksi presiden yang mengatur pejabat negara yang berbisnis. Pejabat yang juga menjalankan fungsi bisnis hampir identik dengan penyalahgunaan wewenang. Istilah pejabat berbisnis saja sudah mengandung kontradiksi. Tapi mencegahnya lebih memerlukan tindakan nyata daripada cuma merumuskan larangan atau mengeluarkan instruksi. Itu masalahnya, yang lebih dari acap kali melekat pada kebijakan Presiden Yudhoyono.

Dari dulu orang sudah mengecam kolusi penguasa dan pengusaha. Apalagi kalau sekarang pengusaha menjadi penguasa, yang terus berusaha sambil berkuasa. Bahwa Yudhoyono merasa perlu mengeluarkan instruksi khusus, tentu ada sebabnya yang mendesak. Mungkin mulai banyak sinyalemen yang dia dengar, ataupun gejala yang dia rasakan sendiri. Yang menarik ialah ketika SBY mengaitkan masalah pejabat yang ”berdwifungsi” sebagai pengusaha dengan oligarki ekonomi—konsentrasi kekayaan di tangan beberapa orang tertentu—yang dianggapnya mengkhawatirkan.

Jadi, orang-orang tertentu yang amat kaya itu antara lain adalah pejabat, yang tak lain adalah bawahan Presiden Yudhoyono. Mereka diajak dan diangkat oleh SBY sendiri. Tentu sejak semula SBY sudah mengetahui sisi baik dan potensi negatif dari setiap pengusaha besar yang—seharusnya tanpa ragu-ragu—diberinya kepercayaan. SBY terkenal sebagai presiden yang gemar membuat ”kontrak politik”, yang sesungguhnya kurang lazim itu. Apakah etika pemisahan jabatan dan kepentingan bisnis sudah terperinci dalam kontrak tertulis itu? Barangkali lupa mencantumkan, kita tak pernah tahu, karena kontrak itu tak transparan apa isinya.

Seandainya ada beberapa hal yang tak ada dalam kontrak, SBY sebagai presiden selalu bisa melakukan koreksi langsung jika terjadi penyimpangan. Dia punya wewenang penuh berdasarkan jabatannya, tanpa harus repot membuat kontrak atau aturan tambahan terlebih dulu. Sebagai pemimpin, dia berhak menegur bawahannya dan meluruskan yang bengkok. Kalau perlu dia bisa mencopot menteri dan mengganti dengan yang tak punya risiko ”berdwifungsi” membangun oligarki ekonomi. Tak ada yang bisa menghalangi presiden, kecuali kekurangyakinannya sendiri.

Aturan dan pedoman etika adalah penting, tapi yang lebih penting ialah pelaksanaannya. Mengawasi, mencegah, dan memberikan hukuman, semua harus dilakukan. Dalam soal pelaksanaan, yang menentukan adalah kepemimpinan yang kuat. Peraturan pemerintah yang melarang pejabat merangkap jadi pengusaha swasta sudah ada sejak 30 tahun lalu, PP 6 Tahun 1974. Sekian lama keharusan itu tak pernah ditunaikan sepenuhnya. Undang-undang hukum pidana dan antikorupsi juga tak kurang banyaknya yang melarang penyalahgunaan jabatan.

Aturan yang tak dijalankan tidak akan bertambah efektif dengan menambah lagi aturan atau instruksi, yang juga belum pasti akan dilaksanakan semestinya. Kelemahan kepemimpinan seyogianya tidak diproyeksikan pada kurang memadainya peraturan yang ada. Instruksi presiden adalah perintah pelaksanaan kepada bawahan, bukan peraturan perundang-undangan. Dibuat tertulis atau disampaikan lisan pun sama saja kekuatannya. Kepatuhan bawahan amat bergantung pada intensitas dan konsistensi yang memberikan instruksi.

Ada empat pokok yang akan diatur dalam instruksi presiden itu: tentang pejabat dan keluarganya atau kelompoknya yang berbisnis dalam proyek yang didanai anggaran negara; keharusan mengumumkan—public disclosure—siapa keluarga pejabat atau rekan yang ikut tender; larangan membocorkan informasi sehingga perusahaan favorit pejabat bisa unggul dalam persaingan tender; aturan kewajaran dalam mendapat order proyek usaha-usaha penting, agar tak terjadi pemusatan kekayaan pada beberapa orang tertentu saja.

Praktek curang sering lebih cerdik mencari jalan berbelit mengelakkan larangan. Kebijakan umum yang dibuat pejabat tak selalu bisa dibuktikan bertujuan mengutamakan kepentingan usaha kelompoknya. Yang skeptis bisa memandang bahwa secara paradoksikal instruksi presiden justru jadi sertifikat yang membersihkan penguasa-pengusaha. Jangan-jangan semenjak ada instruksi presiden maka semua pejabat dianggap tak melakukan pelanggaran lagi, padahal pelaksanaan pengawasan dan sanksi tidak dijalankan.

Memang ada masalah kelemahan pelaksanaan dalam tiap kebijakan dan niat baik pemerintah. Namun kita harus menguatkan perasaan untuk agak optimistis, karena kurang elok jika selalu bersikap sebagai defeatist, yang cenderung muram dan menyerah. Kita berharap yang baiklah yang terjadi, walaupun apa boleh buat—mengikuti yang sering ditunjukkan SBY—keraguan masih tetap menyelimuti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus