Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATEMATIKA kini jadi pelajaran yang dinanti Dinah Rasari dan Naura, 9 tahun, dua sahabat yang bersekolah di SD Negeri Sukadamai III, Bogor. Padahal setahun lalu Dinah dan Naura—juga banyak pelajar lainnya—begitu sebal jika menghadapi pelajaran berhitung. ”Dulu suka keringetan kalau ada matematika,” begitu cerita Naura.
Tak mau terus berkeringat, Dinah lalu ikut kursus berhitung dari negeri seberang. Sayang, hasilnya ia rasa kurang memuaskan. Sampai suatu hari mereka kursus matematika di Rumah Akal, sebuah tempat kursus yang dikelola Bekti Hermawan Handojo orang tua Agung Adi Handoko, kakak kelas mereka.
Sejak itu, kedua sahabat itu berbalik menyenangi matematika. Nilai pelajaran berhitung di sekolah pun meningkat drastis. Ponten matematika di rapor menjadi 8 dan 9. Keduanya juga berani menawarkan diri kepada Bekti menjadi guru matematika bagi siswa taman kanak-kanak. ”Saya punya dua murid,” kata Dinah dengan bangga.
Metode matematika yang dipelajari Dinah dan Naura di Rumah Akal disebut mathmagic. Prinsipnya adalah berhitung secara sederhana, mudah, dan cepat. Bekti, si penggagas, mengatakan dengan metode ini penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bisa dilakukan dengan berbagai cara. ”Siswa diajari lebih kreatif dan fleksibel meme-cahkan soal,” ujar Bekti, 39 tahun.
Kegemaran Dinah dan Naura pada matematika terbukti ketika Tempo mengunjungi mereka, Rabu pekan lalu. Keduanya lincah menuliskan angka di atas bundelan kertas hijau bergambar kotak dan bergaris diagonal. ”Ini nama-nya kalkulator kertas mathmagic,” kata Dinah. Semenit kemudian mereka kompak berseru: 3.094.248. Ini hasil perkalian 2.748 x 1.126.
Tak semua soal matematika dijawab Dinah dan Naura dengan menggunakan kalkulator kertas. Tergantung jenis soal dan adakah jalan lebih efektif untuk menyelesaikan soal tersebut. ”Ini seperti pencak silat. Tergantung jurus dan gerakannya,” ujar Naura.
Dengan logika aljabar, menurut Bekti, satu soal perhitungan dasar seperti penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian sebenarnya bisa diselesaikan dengan berbagai cara secara mudah. Sebuah soal diibaratkan kepergian seseorang ke satu tempat. Untuk mencapai tempat tersebut bisa dilakukan lewat berbagai cara dan arah. ”Disebut magic karena banyak keajaiban cara penyelesaian,” ujar Bekti.
Kunci belajar metode ini adalah membebaskan cara pandang berhitung dengan sekat atau hanya satu cara. Selain memberikan berbagai cara metode berhitung, mereka juga merangsang anak mengeksplorasi dirinya berimajinasi dengan angka. Bocah-bocah itu diajak mengenal karakter dan sifat tiap angka, termasuk bagaimana memperlakukan mereka.
Dengan begitu, anak-anak itu mengetahui metode dan logika penyelesaian masalah. ”Kami tidak mengajari anak sekadar pintar berhitung, tapi juga kreatif menggunakan akal untuk menyelesaikan masalah,” ujar Bekti.
Metode mathmagic mulai digagas Bekti dan Srihari Ediati, 39 tahun, istrinya, sejak 2003. Semula pasangan ini kebingungan membantu anak sulungnya, Agung Adi Handoko Putro, belajar matematika. Pada suatu malam, saat belajar, Agung mengeluh enggan menyelesaikan soal-soal perkalian yang menurut dia menghabiskan banyak waktu.
Semula Bekti heran, mengapa anak sulungnya masih mengeluh ketika menyelesaikan soal matematika, padahal ia sudah pernah ikut sebuah kursus matematika. Ibunya pun sudah memberikan pelajaran tambahan aritmetika. Ediati memang jago matematika. Semasa kuliah di Institut Pertanian Bogor, ia pernah memberikan les matematika untuk anak-anak SMA. ”Bahkan di ijazah SMA, nilai matematikanya 10,” kata Bekti.
Lelaki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, ini kaget melihat Agung menyelesaikan soal perkalian masih dengan cara konvensional, seperti yang pernah ia alami semasa kecil. Cara itu adalah perkalian dari kanan ke kiri dan menjumlahkan hasilnya ke bawah. Metode ini sudah berusia 30 tahun lebih, dan cuma satu-satunya cara yang diajarkan di sekolah. ”Ini sering membuat mentok berhitung,” ujarnya.
Bersama istrinya, Bekti akhirnya mengutak-atik soal itu. Lulusan IPB tahun 1991 ini membongkar catatan dan buku diktat kuliahnya. Sejumlah buku referensi ikut digelar. Berbagai logika rumus penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dipelajarinya lagi. Bingo! Ia menemukan perhitungan banyak angka ini lebih mudah dipahami jika menggunakan metode aljabar.
Masalahnya, bagaimana mengolah logika aljabar itu dalam soal perhitungan anak-anak dan bahasa sehari-hari. ”Setelah beberapa kali uji coba cara penyelesaian, Agung mulai menangkap logika penyelesaian yang dimaksud,” kata Bekti.
Setahun menjadi obyek eksperimen ayah dan ibunya, Agung banyak mengalami perubahan. Matematika bukan lagi barang yang menakutkan baginya. Bahkan ia jadi keranjingan. Menjelang kelas 5 SD, Agung bahkan ikut Olimpiade Matematika Tahun 2006 kendati gagal jadi juara.
Perubahan Agung juga dirasakan guru dan teman-teman sekolahnya. Kesuksesan pasangan ini mengajari anaknya berhitung mulai menjalar dari mulut ke mulut. Banyak warga Perumahan Budi Agung, Bogor, tempat mereka tinggal akhirnya menitipkan anak-anaknya. Beberapa bulan kemudian, pasangan ini mendirikan Komunitas Bukamata dan membuka kursus mathmagic.
Selama proses tersebut, Bekti dan Ediati membukukan catatan eksperimen mereka. Awalnya sekadar berjaga untuk membantu Adinda, putri bungsunya, belajar kelak. Tapi, belakangan, ada desakan untuk menerbitkan catatan itu dalam bentuk buku.
Pada 2004, buku pertamanya terbit. Menyusul terbitnya buku, desakan membuka lembaga pelatihan pun semakin kuat. Tahun berikutnya, Bekti memilih keluar dari pekerjaannya di perusahaan sekuritas. Bersama istrinya, ia terjun sepenuhnya untuk mengembangkan metode ini.
Melalui situs http://www.rumahakal.com/, pasangan ini mengembangkan metodenya dengan sistem waralaba. Sejumlah unit lembaga pelatihan dengan ikon Rumah Akal didirikannya di Bogor dan beberapa tempat lain seperti Lampung, Jakarta Pusat, dan Bekasi.
Hasil eksperimen pasangan ini meramaikan sejumlah metode belajar matematika. Ada sempoa alias mental arithmethic yang diadaptasi dari metode berhitung kuno menggunakan alat hitung dari Cina. Ada kumon yang intinya sama dengan sempoa, yaitu mencongak dan mengandalkan kecepatan berhitung. Kumon adalah metode belajar yang dikembangkan Toru Kumon, guru matematika SMU di Jepang pada 1954 yang kini populer di 40 negara, termasuk Indonesia.
Belakangan muncul lagi metode I love Mathematics, disingkat I-Maths, yang dikembangkan Universal Mental Arithmetic. Metode ini dikembangkan sejak 15 tahun lalu oleh penemunya, Lin Qui Rong, peraih lima penghargaan matematika dari Taiwan.
Masih ada lagi sakamoto, metode belajar matematika dengan soal cerita yang dikembangkan Hideo Sakamoto dari Jepang. Dari negeri sendiri, ada jarimatika yang dikembangkan Septi Peni Wulandari pada 2000. Metode berhitung dengan jari ini menggabungkan metode aritmetika dari sempoa dan kerajinan latihan soal dari kumon.
Bekti mengatakan, siswa yang ikut kursus mathmagic umumnya pernah menjajal kursus metode matematika yang lain. Tapi mereka keluar karena materi kursus tak cocok dengan pelajaran sekolah, juga karena terlalu padat.
Menjamurnya kursus berhitung, menurut praktisi pendidikan Arief Rachman, sebenarnya berguna untuk membantu membangun logika anak. Repotnya, tak semua metode itu cocok bagi anak karena karakter yang berbeda.
Apalagi kunci belajar matematika bukan sekadar pintar berhitung, tapi juga menguasai konsepnya. ”Mampu membuat anak bernalar, memecahkan masalah, dan menanamkan semangat pantang menyerah,” ujar Arief.
Memang tak mudah membuat anak menyukai matematika. Bila keliru memilih metode, bisa jadi anak selalu berkeringat setiap kali mengikuti pelajaran matematika.
Widiarsi Agustina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo