Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUMUMAN debitor bandel PT Bank Mandiri Tbk. di media massa minggu lalu membawa kita ke masa lalu. Tujuh tahun silam, hal yang sama dilakukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Barangkali tujuannya baik. Tak hanya agar debitor bandel mau membayar utang, tapi juga kapok. Namun, niat bagus semestinya tak berakhir sama dengan yang terjadi di BPPN dulu. Para debitor bandel itu tidak kunjung dibawa ke pengadilan. Dalam kasus maju ke pengadilan, BPPN malah sering kalah. Lebih mengenaskan, yang dilakukan kemudian adalah memberi diskon besar-besaran kepada pengutang yang nakal tadi.
Sejarah mungkin akan berulang. Pengumuman daftar debitor bandel Bank Mandiri itu hanya persiapan awal menunggu beleid pemerintah yang akan keluar akhir bulan ini. Peraturan Pemerintah Nomor 14/2005 akan direvisi sehingga bank pelat merah diizinkan memberikan hair cut, pemotongan utang, seperti yang lazim berlaku pada bank-bank swasta.
Bank, seperti halnya entitas bisnis lain, memang tidak bebas risiko, sehingga mereka harus memiliki keluwesan dalam menangani kerugian, umpamanya dengan memberi potongan utang. Pertanyaannya: apakah dengan pemberian keleluasaan itu bank-bank negara bisa bebas dari belitan kredit macet?
Belum tentu. Yang sering dilupakan, kredit macet tak tercipta semata-mata karena pengaruh makroekonomi yang berubah ataupun debitor, tapi juga akibat ketidakberesan pengelolaan bank. Sejarah menunjukkan, kredit macet ratusan triliun di bank negara—yang terkonsentrasi hanya pada 20 konglomerat—ketika dilempar ke BPPN sebagian besar sudah cacat sejak awal. Pengucurannya sebagian besar tanpa studi kelayakan maupun jaminan yang memadai. Diketahui, bank-bank negara menyumbang Rp 300 triliun, hampir separuh dari total kerugian negara akibat krisis yang sekitar Rp 700 triliun. Hampir tak masuk akal bahwa sebagian dari para mantan bankir berbagai bank tersebut hingga kini tidak pernah diusut.
Bank Mandiri, yang ketika itu menyumbang kerugian sekitar Rp 150 triliun, kini dihinggapi persoalan yang hampir sama. Kredit seretnya mencapai Rp 27 triliun—jumlah ini mencapai hampir separuh total kredit seret perbankan sekarang. Dengan jumlah itu, rasio kredit seret Bank Mandiri mencapai 26,2 persen—sudah jauh di atas persyaratan maksimal Bank Indonesia yang lima persen.
Memang ada faktor penyebab eksternal, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak dan perubahan aturan klasifikasi kredit macet. Tapi separuh kredit macet itu ada di tangan enam debitor besar. Artinya, bank itu kurang hati-hati menyalurkan kredit. Apalagi yang enam tadi sudah dikenal sebagai pengutang kakap yang lama menjadi pasien BPPN.
Fenomena ini menunjukkan persoalan kredit macet selalu akan muncul lagi kalau pemerintah hanya mencegat persoalan besar ini di bagian hilir. Menghapus piutang seret atau macet memang gampang. Tapi memperkuat bagian hulu, yaitu memperketat syarat kredit termasuk agunan, akan memberikan hasil yang jauh lebih baik.
Ini pun tak mudah. Dua fungsi pemerintah, sebagai pemilik sekaligus regulator, merupakan penyebabnya. Benturan kepentingan selalu terjadi. Cara cepat dan efektif adalah menjual bank negara. Tapi, kalau ini pun sulit, umpamanya karena pemerintah masih ingin punya bank untuk membiayai proyek infrastruktur, maka harus dicari cara lain. Misalnya membuat lembaga ombudsman khusus untuk mengawasi bank pemerintah.
Belum tentu kredit macet bisa langsung nol persen. Tapi lembaga itu bisa diharapkan mengurangi kredit yang sejak awal sudah cacat. Dengan kebijakan di bagian hulu dan hilir, bisa diharapkan pengumuman debitor bandel akan efektif mengurangi kredit macet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo