Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Pertama RI Sukarno dikenal sebagai seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, namanya juga tercoreng akibat terbitannya Ketetapan atau TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Beleid itu secara tersirat menuding Bung Karno, sapaan Sukarno, terlibat agenda pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terkini, Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR RI resmi mencabut ketetapan tersebut. Surat pencabutan dari pimpinan MPR RI itu telah diserahkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo kepada keluarga Bung Karno, di antaranya Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saudara-saudara yang hadir pada pagi hari ini akan menjadi saksi sejarah secara langsung untuk mengikuti acara penyerahan surat pimpinan MPR RI kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia serta kepada keluarga besar Bung Karno,” kata Bamsoet, sapaan karib Bambang Soesatyo, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 9 September 2024, dikutip Antara.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menkumham Supratman Andi Agtas mengatakan tuduhan keterlibatan Sukarno dengan gerakan pemberontakan PKI pada penghujung September 1965 itu tidak terbukti setelah TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tidak berlaku lagi. Selain menghapus tuduhan terhadap Bung Karno, pencabutan TAP MPRS Nomor 33 juga untuk penghargaan dan pemulihan martabat Sang Proklamator.
“Tuduhan-tuduhan dalam TAP MPRS tersebut yang ditunjukkan kepada sang proklamator kita, yakni Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia telah gugur dan dinyatakan tidak terbukti,” kata Supratman yang juga hadir dalam agenda penyerahan itu.
Sejarah dan isi TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967
Disadur dari jurnal Peralihan Kekuasaan Presiden Dalam Lintasan Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, terbitnya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 bermula ketika terjadinya peristiwa G30S/PKI. Peristiwa pemberontakan itu terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965. Enam jenderal dan seorang perwira TNI diculik dan dibunuh. Jenazah mereka disembunyikan di sebuah sumur di Lubang Buaya.
Setelah pemberontakan itu gagal, rakyat Indonesia kemudian saling menaruh curiga. Salah satunya kepada Presiden Sukarno yang diduga dekat dengan PKI. Di waktu yang sama, pada 2 Oktober 1965, Bung Karno menunjuk Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) yang ditugaskan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Semenjak itu, nama Soeharto mulai naik daun dan di lain pihak nama Sukarno kian meredup. Kemudian pada 16 Oktober 1965, Sukarno menunjuk Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Soeharto mulai leluasa untuk menyingkirkan unsur-unsur PKI, mulai dari ormas hingga masyarakat sipil dengan jabatan tersebut.
Perekonomian Indonesia semakin sulit pada akhir 1965, membuat rakyat yang masih marah dengan peristiwa G30S menjadi semakin berapi-api. Buntutnya, pada 10 Januari 1966 muncullah Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura yang dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Tritura antara lain berisi desakan pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI, dan penurunan harga atau perbaikan ekonomi. Akibat tuntutan tersebut, Sukarno lantas mengubah susunan Kabinet Dwikora pada 24 Februari 1966. Namun, rakyat justru kian marah. Mereka menilai masih ada tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dengan pemberontakan tersebut.
Sadar akan kondisi negara yang semakin tidak kondusif, Sukarno pun memberikan surat perintah kepada Soeharto pada 11 Maret 1966, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Supersemar. Surat sakti inilah yang menjadi permulaan peralihan presiden dari Sukarno ke Soeharto. Surat perintah tersebut lalu dikukuhkan oleh MPRS melalui Tap MPRS No. IX/MPRS/1966.
Dengan adanya landasan hukum yang kuat, maka “kekuasaan” Soeharto pun semakin kuat di pemerintahan. Saat itu, ia adalah orang kedua yang paling berkuasa di Kabinet Ampera setelah Sukarno. Kemudian pada 22 Februari 1967 di Istana Merdeka Kekuasaan Pemerintahan diserahkan oleh Sukarno kepada pengemban Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, yaitu Soeharto.
Sebelumnya, Sukarno pada 22 Juni 1966 juga telah memberikan pidato berjudul Nawaksara yang ditujukan kepada MPRS. Pidato itu disampaikan sebagai pertanggungjawabannya dalam menghadapi G302/PKI. Namun, MPRS tidak puas dengan apa yang telah disampaikan Sukarno. Mereka meminta Sukarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban tersebut melalui Tap MPRS No. V/MPRS/1966.
Lalu, meskipun telah dilengkapi oleh Sukarno, dalam musyawarah yang dilakukan MPRS pada 21 Januari 1967, Soekarno dinyatakan telah alpa dalam memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional. Akibat kondisi yang semakin tidak kondusif, ditambah adanya usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR), singkat cerita, diadakan lah Sidang Istimewa oleh MPRS pada 7 hingga 12 Maret yang menghasilkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.
Adapun isi TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, yaitu:
Menetapkan:
Ketetapan Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Sukarno
BAB I
Pasal 1
Menyatakan, bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 2
Menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 4
Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.
Pasal 5
Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara).