Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Langkah Darurat untuk Lembaga Pendidikan

Kementerian Agama segera mengeluarkan aturan untuk mencegah kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama.

7 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana pondok pesantren yang diduga menjadi lokasi kekerasan seksual sebelas santri di Beji, Depok, Jawa Barat. TEMPO/Ade Ridwan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA — Kementerian Agama pada bulan ini akan menerbitkan Peraturan Menteri Agama tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PMA PPKS) di lembaga pendidikan keagamaan. Pembahasan rancangan aturan tersebut dikebut dalam empat bulan terakhir. Upaya ini dilakukan mengingat angka kasus kejahatan seksual semakin meningkat, termasuk di lembaga pendidikan keagamaan. “Ini sudah darurat, jadi harus segera selesai,” kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono Abdul Ghodur, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebelumnya sudah menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Namun aturan itu belum mencakup lembaga pendidikan berbasis agama. Karena itu, Kementerian Agama merasa perlu menerbitkan aturan sejenis. “Kemenag punya satuan pendidikan yang bukan hanya Islam. Ada juga agama lain,” kata Waryono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini, kata Waryono, PMA PPKS telah memasuki tahap finalisasi dan harmonisasi dengan lembaga ataupun kementerian terkait. Di antaranya Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama, Kantor Staf Presiden, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), akademikus, lembaga swadaya masyarakat, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Rancangan Peraturan Menteri Agama tentang PPKS memiliki delapan bab dan 50 pasal. Dalam rancangan ini, definisi kekerasan seksual berbeda dengan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Dalam Permendikbud terdapat klausul “tanpa persetujuan korban” untuk mendefinisikan tindakan kekerasan seksual. Sementara itu, definisi dalam PMA PPKS akan dibuat dengan pendekatan agama. “Untuk lebih menghormati harkat dan martabat,” kata Waryono.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono Abdul Ghofur. Dok. Kemenag

Untuk mencegah kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama, kata Waryono, dalam PMA PPKS akan tercantum aturan tentang satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (satgas PPKS). "Misalnya, nanti dibuatkan crisis center bagi korban," kata dia.

Sedangkan dalam langkah penanganan, PMA PPKS akan mengatur alur pelaporan bagi korban. Di sini, Kementerian Agama akan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat untuk mendampingi korban. Bab tentang penanganan ini juga mengatur panduan teknis untuk menangani korban ataupun pelaku. “Korban harus dilindungi dan diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan,” kata Waryono.

Dalam rancangan PMA PPKS, kata Waryono, terdapat juga aturan tentang sanksi terhadap pelaku, baik dalam bentuk administratif maupun pidana. “Kalau administratif, bisa berupa pemecatan,” kata dia. Sedangkan untuk sanksi pidana, sepenuhnya diserahkan kepada penegak hukum. “Ada aturan juga yang mewajibkan pelaku membayar ganti rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban.”

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan, terutama pesantren, nyaris ditemukan setiap tahun. Korban sebagian besar merupakan santri putri. Misalnya, pada tahun lalu di Kota Bandung. Sejumlah santriwati melapor telah dicabuli oleh pimpinan pondok pesantren. Beberapa korban bahkan hamil dan melahirkan. Dari pemeriksaan polisi diketahui bahwa pelaku melancarkan kejahatan dari 2016.

Pada tahun yang sama, kejahatan serupa terjadi di Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pelaku merupakan seorang guru agama. Korbannya berjumlah 15 orang. Adapun kasus terbaru terjadi di Beji, Kota Depok, dengan korban sebelas santri putri. Kasus ini dilaporkan pada Juni lalu. Polisi telah menangkap tiga tersangka. Mereka adalah pengajar dan senior di pesantren tersebut.

Kuasa hukum Megawati usai melapor kekerasan seksual sebelas santri pondok pesantren di Beji, di Polda Metro Jaya, Jakarta, 29 Juni 2022. Dok. PMJ

Kasus-kasus tersebut mempertegas data yang sebelumnya dipublikasikan oleh Komnas Perempuan. Sepanjang 2015-2020, Komnas Perempuan mencatat, pesantren menjadi lembaga pendidikan dengan kasus kekerasan seksual terbanyak kedua. Sedangkan terbanyak pertama terjadi di perguruan tinggi.

Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara, Arifin Junaidi, menyambut baik upaya Kementerian Agama menerbitkan aturan tentang pencegahan kejahatan seksual. Aturan ini dibutuhkan untuk memperkuat payung hukum guna melindungi siswa-siswi di lembaga pendidikan agama.

Arifin mengatakan umumnya pelaku kekerasan seksual di lembaga pendidikan adalah orang-orang yang memang memiliki kekuasaan terhadap korban. Dengan adanya PMA PPKS, diharapkan korban benar-benar bisa dilindungi dan pelaku tidak akan lolos dari jeratan hukum.

Ketua Majelis Pendidikan Kristen, David Tjandra, sependapat dengan Arifin. Ia berharap PMA PPKS dapat memperkuat implementasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. “Karena kebanyakan korban tidak berani berbicara,” kata David.

IMA DINI SHAFIRA | ARRIJAL RACHMAN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus