SIAPA bilang kesadaran hukum masyarakat masih rendah? Lihat saja, penduduk Desa Tulusrejo kini menempuh upaya gugatan ke pengadilan karena tak puas dengan hasil pemilihan kepala desa mereka. Mereka menuntut agar Pengadilan Negeri Purworejo, Jawa Tengah, menyatakan pemilihan kepala desa bulan Agustus lalu tidak sah. Alasannya, panitia pilkades (pemilihan kepala desa) telah berbuat curang dalam pemilihan tersebut. Menurut Pengacara Bambang Catur Iswanto, kuasa hukum warga Desa Tulusrejo itu, pada 15 Agustus 1989 lalu telah berlangsung pemilihan kepala desa di desa tersebut. Tampil dalam pemilihan itu empat calon kades (kepala desa), yakni Sumarmo, Supangat, Suprayogo, dan Hendri. Pemenangnya ternyata Sumarmo, yang menggunakan tanda gambar jagung dalam pemilihan itu, dengan suara terbanyak, yakni 250 suara. Sedangkan saingannya, yakni Supangat, Suprayogo, dan Hendri, masing-masing mendapatkan 153 suara, 131 suara, dan 97 suara. Tapi, menurut warga, kemenangan Sumarmo terjadi berkat "permainan" panitia pilkades. Sebab, panitia pilkades itu, kata mereka, dibentuk secara sepihak oleh bekas kepala desa Tulusrejo, Wongsowijoyo, yang tak lain dari ayah Sumarmo sendiri. Menurut Bambang, Wongsowijoyo melalui panitia pilkades telah melakukan "trik-trik" untuk memenangkan anaknya. "Masa, anak berusia 11 tahun dapat mencobloskan suaranya," tutur Bambang. Di samping itu, panitia juga meloloskan orang memberikan hak suara lebih dari satu, bahkan suara warga desa lain dihitung pula. "Kecurangan ini semakin jelas dengan disebarnya surat suara sebelum hari pemilihan," kata Bambang. Sebab itu, tambah Bambang, warga Tulusrejo menggugat panitia pilkades. "Juga kami menuntut uang ganti rugi Rp 100 juta, " tutur Bambang. Di samping itu, kami minta juga pengadilan memutuskan bahwa "ada kecurangan dalam penyelenggaraan pilkades Tulusrejo". Bupati Purworejo H. Soetarno, selaku tergugat, dengan tegas membantah semua tuduhan yang dilontarkan warga Tulusrejo itu. "Proses pemilihan kepala desa itu sudah melalui prosedur yang benar dan tak melanggar undang-undang," kata H. Soetarno. Soetarno membantah bahwa panitia pilkades menyimpang dari aturan main. Buktinya, katanya, mereka masih memberikan kesempatan pada warga Tulusrejo untuk protes bila ada penyimpangan dalam pemilihan. "Tapi warga desa dan para calon kades tak menyatakan keberatannya," ujar Soetarno. Di lapangan, menurut Soetarno, tidak ditemukan banyak penyimpangan mengenai suara yang masuk. Tentang pemberian suara anak di bawah umur, misalnya, tak ditemukan buktinya. "Hanya satu orang, kok, yang mencoblos dua kali," tambah Soetarno. Kartu suara yang beredar di masyarakat sebelum hari pemilihan, katanya, hanya berupa fotokopi dan digunakan pada waktu peragaan pencoblosan. "Jadi, tak digunakan untuk mencoblos," ujar Soetarno. Logikanya, kata bupati tersebut, tak mungkin ada kartu suara yang melebihi jumlah pemilih. Ini mudah dilacak lewat pencocokan daftar pemilih yang hadir dengan jumlah kartu suara yang masuk. "Jadi, kami menganggap tuduhan warga desa Tulusrejo salah alamat dan dicari-cari," tutur Soetarno. Namun, menurut Soetarno, pihak pemda tidak menutup diri dari keberatan yang diajukan masyarakat. "Silakan, ajukan lewat mekanisme yang benar," ujar Soetarno. Hanya saja, ada deadline-nya dalam mengajukan protes, yakni sebelum hasil pemilihan itu disahkan pemda. "Kalau sudah disahkan, akan sia-sia," kata Bupati Purworejo tersebut. Sidartha Pratidina, Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini