Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi melarang rapat YLBHI hingga unjuk rasa yang mengkritik KTT G20.
Pemerintah dianggap antikritik.
Indeks demokrasi Indonesia bakal makin turun.
JAKARTA — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam maraknya represi dan intimidasi terhadap kelompok masyarakat sipil selama penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai tindakan tersebut makin membuktikan watak otoritarianisme pemerintahan. "Jelas, ini semua melanggar konstitusi," kata Isnur, kemarin, 17 November 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rangkaian intimidasi terhadap kelompok masyarakat sipil mewarnai penyelenggaraan KTT G20. Sejumlah aktivis YLBHI sempat dikepung oleh sejumlah orang tidak dikenal saat mengadakan rapat internal di Bali pada Sabtu pekan lalu. Polisi yang tidak berseragam juga melarang mereka menggelar rapat. Pada Selasa lalu, polisi menangkap 26 mahasiswa di Mataram dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, saat berunjuk rasa mengkritik KTT G20.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun KTT G20 berakhir setelah digelar selama dua hari, 15-16 November lalu, di Nusa Dua, Bali. Puncak acara Presidensi G20 Indonesia tersebut dihadiri 17 kepala negara, di antaranya Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Cina Xi Jinping.
Menurut Isnur, tindakan represif pemerintah, lewat aparat keamanan, mengancam demokrasi di Indonesia. Dia khawatir praktik tersebut menjadi preseden dalam penyelenggaraan hajatan internasional pada masa mendatang.
Isnur menyesalkan ambisi pembangunan oleh negara-negara anggota G20, yang digembar-gemborkan untuk masyarakat, justru dibangun di atas aksi pembungkaman terhadap suara dan aktivitas publik. "Ini cerminan sempurna bagaimana indeks demokrasi Indonesia, salah satunya kebebasan berekspresi, rendah," ujarnya. "Sebenarnya untuk apa dan siapa perhelatan G20 dilakukan?"
Dia menilai penyelenggaraan KTT G20 di Bali telah menunjukkan wajah pemerintahan sebenarnya. Pemerintah mengutamakan kepentingan investasi dengan alasan ekonomi meski harus mengintimidasi serta memberangus hak-hak warga negaranya. "Keseluruhannya merupakan bentuk aksi antidemokrasi serta kejahatan sistematis," ucapnya. "Seluruh tindakan tersebut justru kontraproduktif dengan pernyataan pemerintah yang menyatakan Bali dalam kondisi aman selama G20."
YLBHI pun kini mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kebrutalan aparat penegak hukum dalam menangani massa yang bersuara sumbang kepada pemerintah. "Seharusnya aparat-aparat ini diberi sanksi, diberi teguran, serta diberi sidang etik dan pidana karena mengancam masyarakat sipil. Presiden tidak boleh mendiamkan hal ini," ujarnya.
(Dari kiri) pengacara publik LBH Pers, Mustafa; Kepala Kampanye dan Perlibatan Publik, Arip Yogiawan; serta Pratiwi Febri, dari LBH Jakarta, menyampaikan orasi dalam acara "Gegap Gempita G20" Pembungkaman Demokrasi, Solusi Palsu, dan Pengkhianatan Konstitusi di Yayasan LBH Indonesia, Menteng, Jakarta, 16 November 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Intimidasi Dinilai Kontraproduktif bagi Kesepakatan G20
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiyanti, mengatakan pelarangan kegiatan rapat YLBHI hingga penangkapan mahasiswa yang akan berunjuk rasa menyikapi KTT G20 merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan berkumpul dan berekspresi. "Kenapa pemerintah harus selalu mengintimidasi ketika masyarakat ingin menyuarakan pendapatnya? Hanya untuk dilihat baik di skala internasional? Itu hipokrit banget," kata Fatia.
Fatia mempertanyakan alasan ketakutan pemerintah terhadap masyarakat sipil yang mengkritik penyelenggaraan KTT G20. Tindakan antikritik pemerintah selama penyelenggaraan perhelatan internasional kemarin, kata dia, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia itu memang makin mundur dan mementingkan kepentingan elite. "Ini makin menunjukkan pemerintah sudah tak menganggap penting hak warga negara," ujarnya.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Annisa Rahmawati, juga menilai kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat menyampaikan aspirasinya malah kontraproduktif dengan semangat pelaksanaan KTT G20. Seharusnya, sebagai Presidensi G20, Indonesia menjadi contoh bagi negara-negara dunia dalam pelaksanaan demokrasi di dalam sebuah negara. Sebaliknya, pengekangan bersuara dengan alasan ketertiban justru menjadi gambaran buruk pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara KTT G20.
"Ini merupakan suatu kegagalan negara dalam memahami payung hukum tertinggi kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu demokrasi," kata Annisa. "Ini menjadi cerminan bagaimana pemerintah bersikap terhadap suara-suara kritis. Mereka antikritik dan tidak menghendaki suara-suara yang berbeda."
Annisa khawatir kecenderungan pemerintah yang antikritik akan melahirkan masalah-masalah baru di kemudian hari. Kesepakatan-kesepakatan dalam Presidensi G20 Indonesia pun, kata dia, bisa menjadi sumber masalah tersebut karena warga negara tidak diberi kesempatan untuk bersuara. "Tanpa keterlibatan atau partisipasi bermakna dari warga negara yang akan terkena dampak dari kesepakatan yang akan dihasilkan, forum G20 ataupun komunike yang dihasilkan tidak ada artinya sama sekali bagi warga negara," kata dia.
IMAM HAMDI | IMA DINI SHAFIRA| FENTI GUSTINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo