Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Legalisasi Ganja Medis Tersendat Debat

Rencana legalisasi ganja medis tersendat seiring dengan seretnya pembahasan revisi UU Narkotika di DPR. Di Aceh, legislator daerah menggulirkan rancangan qanun.

31 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang prajurit TNI membawa tanaman ganja untuk dimusnahkan di kawasan pegunungan Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, 22 Agustus 2022. ANTARA/Ampelsa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika kecil kemungkinan tuntas tahun ini. Senin lalu, 29 Agustus 2022, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat telah menerima 78 rancangan undang-undang yang diusulkan untuk masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. RUU Narkotika, yang diharapkan sejumlah kalangan bakal memberi ruang legalisasi penggunaan ganja untuk keperluan medis, ada dalam daftar usulan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedianya, RUU Narkotika bakal memasuki tahap pembahasan tingkat I di Komisi III DPR yang membidangi hukum. Sejumlah rapat juga telah digelar bersama pemerintah dan Badan Narkotika Nasional (BNN). “Tapi memang soal legalisasi ganja untuk keperluan medis masih belum ada kesamaan dalam melihat ini,” kata anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, kepada Tempo, Selasa, 30 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keran diskusi ihwal legalisasi ganja medis kembali terbuka setelah Santi Warastuti, ibu dari seorang anak penderita cerebral palsy, menggelar aksi di tengah agenda car-free day pada akhir Juni lalu. Kala itu, Santi membawa papan bertulisan “Tolong, anakku butuh ganja medis”. Santi hakulyakin kondisi anaknya, Pika Sasikirana, dapat membaik jika mendapat terapi ganja medis yang sudah banyak dipraktikkan di luar negeri.

Santi bersama dua ibu, yang anaknya juga mengidap cerebral palsy, mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi pada November 2020. Mereka meminta MK membatalkan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Narkotika, yang mengatur narkotik golongan I, termasuk ganja. Namun, pada 20 Juli 2022, MK menolak permohonan uji materi tersebut dengan dalih belum ada bukti ilmiah dan penelitian yang komprehensif soal penggunaan ganja untuk keperluan medis.

Sebenarnya, kendati menolak permohonan Santi, MK mendorong pemerintah untuk segera menindaklanjuti putusan dengan melakukan pengkajian dan penelitian secara ilmiah. Kajian ini nantinya dapat digunakan untuk membuat kebijakan, termasuk merevisi UU Narkotika.

Nasir Djamil mengatakan Komisi III telah mengundang sejumlah pihak untuk membicarakan rencana legalisasi ganja medis lewat revisi UU Narkotika. Santi termasuk yang dimintai pendapat.

Menurut Nasir, hampir semua anggota Komisi III DPR sepakat ihwal pentingnya melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis. “Di luar DPR, misalnya BNN, masih berkeras menolak,” ujarnya. Karena itu, kata dia, Komisi III akan mematangkan pembahasan di lingkup internal Panitia Kerja RUU Narkotika lebih dulu.

Anggota Komisi III lainnya, Taufik Basari, mengatakan telah mendengar masukan dari BNN ihwal legalisasi ganja medis dalam rapat kerja. Menurut dia, BNN merasa bahwa ganja tidak dapat digunakan untuk keperluan medis karena dianggap berbahaya. “Intinya, tetap ingin memasukkan ganja dalam golongan I,” kata dia, kemarin.

Menurut Taufik, sikap BNN tersebut didasari kajian soal zat adiktif yang terkandung dalam ganja. Selain itu, BNN menyoroti masalah kemampuan dalam hal mengendalikan penggunaan ganja untuk keperluan medis.

Di luar pro dan kontra tersebut, Taufik berharap pemerintah segera menjalankan putusan MK yang memerintahkan dilakukannya pengkajian soal ganja medis. Dia mengingatkan, pengkajian di Indonesia sebenarnya tidak perlu berangkat dari nol, mengingat sudah pernah dilakukan oleh negara lain, termasuk dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). “Jangan sampai alasan melakukan pengkajian akhirnya membuat pembahasan RUU ini tertunda, atau akhirnya isu soal ganja medis jadi ditinggalkan,” ujarnya.

Tempo berupaya menghubungi Kepala BNN Petrus Reinhard Golose dan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN, Sulistyo Pudjo Hartono, ihwal pembahasan bersama DPR tersebut. Namun keduanya tidak merespons permintaan wawancara Tempo.

Anggota kelompok ahli BNN bidang Farmasi, Mufti Djusnir, mengatakan BNN sebenarnya tidak serta-merta melarang legalisasi ganja medis. Menurut dia, perlu ada pengkajian berbasis fakta yang membuktikan manfaat ganja untuk keperluan medis. Ia turut mengingatkan untuk tetap berpedoman pada UU Narkotika yang masih digunakan sebagai payung hukum di Indonesia soal pemanfaatan narkotik. “Kami tetap tegas pada Pasal 1 ayat 8 UU Narkotika yang menyebutkan narkotik golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan,” kata Mufti, kemarin.

Namun, Mufti menegaskan, pernyataan tersebut bukan harga mati. Sebab, dalam Pasal 8 ayat 2 disebutkan bahwa narkotik golongan I dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam jumlah yang terbatas.

Mufti mengingatkan, BNN merupakan institusi penegakan hukum yang mengawal, mencegah, dan melindungi publik dari bahaya penyalahgunaan narkotik. Sebelum ada data konkret penelitian soal ganja untuk keperluan medis, kata dia, BNN akan tetap mengacu pada UU Narkotika. “Harus hati-hati, kalau tidak, malah justru melegalkan yang salah dan jadi ancaman,” ujar Mufti.

Dalam rapat panja yang digelar Komisi III bersama pemerintah pada 23 Mei lalu, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PKS), Arsul Sani, sempat menanyakan sikap pemerintah terhadap wacana melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis. Arsul mengatakan, pada tingkat tertentu, tidak bisa dimungkiri bahwa ganja bisa menjadi bagian dari obat. “Sejauh mana pemerintah membuka ruang untuk itu?” tanya Arsul.

Kala itu, pemerintah diwakili oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej. Namun Edward tidak secara gamblang memaparkan sikap pemerintah soal legalisasi ganja medis. Ia mengatakan legalisasi ganja merupakan pembahasan yang sulit karena narkotik masuk kategori kejahatan yang unik.

Dalam kesempatan tersebut, Edward mengatakan, tujuan utama revisi UU Narkotika bukan untuk membasmi peredaran gelap, melainkan menjamin ketersediaan narkotik bagi kepentingan pengetahuan dan kesehatan. Namun diskusi soal legalisasi ganja medis perlu dilakukan secara hati-hati. “Memang tidak menutup kemungkinan kalau ganja untuk pengobatan, namun perdebatan sangat berat,” kata dia.

Tempo juga telah menghubungi juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, untuk menanyakan sikap Kementerian ihwal rencana legalisasi ganja medis. Namun, hingga berita ini ditulis, Syahril tak kunjung merespons. Sementara itu, Kepala Ahli Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kemenkes, Anung Sugihantono, mengatakan masih akan membicarakannya dengan sejumlah pihak di lingkup internal Kementerian lebih dulu.

Ladang tanaman ganja diamankan petugas Badan Narkotika Nasional Provinsi Aceh bersama TNI dan Polri di kawasan pegunungan Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, 22 Agustus 2022. ANTARA/Ampelsa

Proyek Pilot dari Serambi Mekah

Di tengah pro-kontra di Ibu Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh membuka lagi peluang bagi lahirnya qanun alias peraturan daerah yang membuka peluang legalisasi ganja medis. Ketua Komisi V DPRA, M. Rizal Falevi Kirani, mengungkapkan topik ini sudah dibahas sejak 2020 dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Namun, menurut dia, rencana ini terhambat nihilnya regulasi yang lebih tinggi, termasuk dalam urusan riset atau penelitian soal manfaat ganja.

Pada akhir Juli lalu, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Produksi dan/atau Penggunaan Narkotika untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pasal 3 aturan ini menyebutkan narkotik golongan I dapat digunakan untuk penelitian kesehatan sampai tahap uji praklinis dan dalam bentuk ekstrak atau isolat.

Tiga hari setelah permenkes tersebut terbit, DPRA kembali mengusulkan qanun legalisasi ganja medis agar masuk Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2023. “Sudah tanda tangan surat ke badan legislasi dan diusulkan masuk Prolegda 2023,” kata Rizal, kemarin.

Menurut dia, ganja memiliki banyak manfaat bagi medis. Literatur rakyat Aceh, kata Rizal, juga menceritakan bahwa para leluhur di Aceh kerap menggunakan ganja, terutama sebagai penyedap makanan.

Rizal mengakui, mulanya, diskusi di Komisi V DPRA berlangsung alot. Sebab, masih banyak yang memandang ganja dari sisi negatifnya saja. Namun, setelah berulang kali berdiskusi, Komisi V akhirnya sepakat untuk mengusulkan rancangan qanun soal legalisasi ganja medis. “Sebenarnya negara harus hadir untuk mengatur agar tumbuhan yang bermanfaat seperti ganja bisa diolah dan tidak disalahgunakan,” ujarnya.

Ia menjelaskan, qanun tersebut akan mengatur soal riset ganja medis yang dilanjutkan ke pemanfaatan medisnya. “Kami mulai susun naskah akademis dan menyiapkan rasionalisasi qanun,” ujarnya. Rizal memproyeksikan pemanfaatan ganja medis juga akan berdampak pada pendapatan asli daerah (PAD) Aceh jika sukses dilakukan.

Menanggapi hal ini, kelompok ahli farmasi BNN, Mufti Djusnir, menyatakan tidak keberatan, asalkan tetap dalam koridor UU Narkotika. Sebab, payung hukum tertinggi dalam pemanfaatan narkotik diatur dalam UU tersebut. “Selagi tidak bertentangan dengan UU, ya, tidak apa,” kata Mufti.

IMA DINI SHAFIRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus