RABU malam pekan lalu K.H. Syukri Ghozali, 78, menonton siaran pertandingan sepak bola di televisi sampai usai. Setelah itu ia menunaikan salat. Tak jelas apakah itu salat Isya atau witir, yan acap dilakukan menjelang tidur. Tiba-tiba ia mengaduh kesakitan. Napasnya terasa sesak. Berkali-kali ia menyebut La ilaha illallah, sampai ia tldak mampu lagl dan cuma bisa menyebutkan Allah. Dr. Karli, salah satu menantunya, segera dipanggil. "Saya berusaha melakukan pertolongan pernapasan dengan tabung oksigen yang kebetulan ada," kata Karli. Diputuskan agar Kiai Syukri dibawa ke rumah sakit Pelni. Tapi di tengah perjalanan, Kiai Syukri meninggal. Menurut Karli, serangan jantung itu yang kedua. Yang pertama Februari lalu. Kamis siang pekan lalu, setelah disalatkan di Masjid Istiqlal jenazah Syukri Ghozali, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), dimakamkan di permakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Ribuan pelayat menghadiri pemakaman itu. Sebelumnya, Presiden Soeharto dan Wapres Umar Wirahadikusumah datang melayat di rumah Almarhum. Kepergian tokoh yang sederhana itu dirasakan sebagai kehilangan besar. "Dia seorang ulama yang saleh dan memiliki jiwa patriot tanpa meninggalkan loyalitasnya pada bangsa dan negara. Untuk mencari allamah (cendekiawan) seperti dia sungguh sulit," kata Menteri Agama Munawir Sjadzali. "Kita memang mengenal Kiai Syukri sebagai orang NU. Tapi demi kepentingan umat Islam, ia sudi melepaskan NU-nya," kata Menko Kesra Alamsyah. MUNGKIN karena itulah Syukri Ghofzali bisa diterima semua golongan. Menurut bekas menteri agama Mukti Ali, Kiai Syukri ada persamaannya dengan Almarhum Hamka, yang menjabat ketua MUI pertama. "Hamka itu orang Muhammadiyah yang bisa diterima NU, sedang Syukri adalah orang NU yang bisa diterima Muhammadiyah. Syukri juga diterima orang Golkar. Bahkan kalangan non-Islam juga bisa menerimanya. Itulah kelebihan Syukri," kata Mukti Ali, yang membidani lahirnya MUI sewaktu menjabat menteri agama pada 1975. Syukri Ghozali lahir dengan nama Muhammad Rusydan di Salatiga, Jawa Tengah. Dalam usia 15 tahun ia menunaikan ibadat haji, dan mengganti namanya menjadi Syukri. Tambahan nama Ghozali diambil dari nama ayahnya K.H. Imam Ghozali. Walau tak memiliki ijazah, karena lepas dari sekolah dasar pendidikannya diteruskannya dari pesantren ke pesantren, Syukri Ghozali dianggap salah satu dari sedikit ahli fiqih di Indonesia. Sebagai ketua MUI ia benar-benar bekerja penuh, dan bersedia menjawab surat yang menanyakan soal hukum Islam. "Kasihan kalau pertanyaan mereka tidak dijawab. Kalau ada orang bertanya, maka wajib bagi yang tahu untuk menjawabnya," kata Syukri pada TEMPO beberapa bulan lalu. Dalam memberi jawaban hukum, Syukri tak main hafalan. Ia selalu membuka Alquran dan berbagai kitab yang memajan di sisi ruang kerjanya. Lalu ditulisnya kutipan Arab-nya dengan teliti, baru kemudian diketiknya. Ia tampaknya juga menghindari jawaban yang kontroversial. Ia memilahnya dulu, apakah akan membuat orang terkejut atau tidak. Salah satu karyanya yang patut dicatat adalah lahirnya buku hijau tentang zakat yang mencantumkam bahwa gaji dikenai zakat. Padahal, NU masih berpegang pada "tanpa zakat" karena nash Syafiie. "Saya melihat manfaatnya. Tanpa zakat gaji, hanya berapa yang bisa diberikan kepada orang miskin?," katanya suatu waktu pada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini