PEMDA Kutai akhir menunda pelaksanaan Peraturan Daerahnya
bernomor 8/67. Sebab dikhawatirkan akan lebih mencekik leher
ribuan nelayan di sekitar danau Jempang. PD itu mengharuskan
nelayan meninggalkan pukat berukuran mata 4,5 cm (yang
dipergunakan selama ini) dan kemudian menggantinya dengan pukat
bemkuran mata 8,5 cm. Seperti diketahui PD tersebut mendapat
tantangan keras dari nelayan di kaki pegunungan Meratus itu di
samping dipandang oleh Camat Jempang, Bakrie Syahranie sebagai
tidak menopang usaha peningkatan produksi.
Terhadap bermacam reaksi itu Bupati Kutai Drs Ahmad Dahlan
mengatakan pada sebuah konferensi pers: Saya perhatikan dan
pertimbangkan" ujarnya. Sampai di sini agaknya Bupati Dahlan
sebelumnya kurang mendapt laporan yang jujur dari stafnya.
Bahkan PD itu telah sempat dimanfaatkan oleh "oknum-oknum" di
sana untuk memeras para nelayan dengan menyodorkan izin khusus
penggunaan pukat lama disertai pembayaran tentu saja. Ini diakui
oleh para nelayan kpada TEMPO sembari menunjukkan bukti
secarik kertas.
Namun syukurlah. "Bahaya kelaparan" seperti diistilahkan para
nelayan di sana, tidak jadi menerkam mereka. Bahkan prospek
hari depan mereka oleh dikata lebih cerah, karena Dinas
Perikanan Kaltim melakukan pengerukan danau terbesar dan terkaya
di Kaltim itu. Sebagaimana danau Tempe yang kaya ikan di
Sulawesi itu, danau Jempang dengan luas 15.000 Km2 ini juga
semakin dangkal saja. Ini tentu merisaukan. Apalagi di
sekitarnya terbilang padat penduduk.
Begadang
Akan hal pengerukan ini memang tidak semua pihak bisa optimis.
Apalagi, seperti diakui oleh Mas'ud Badak, pimpinan proyek
pengerukan tersebut, "peralatannya tidak memadai dengan proyek
yang digarap". Hanya dengan sebuah kapal keruk berdaya buang 40
m3/jam jelas bukan apa-apa dibanding luas danau. Karena itu
tidak mengherankan bila pengerukan tersebut hanya ditargetkan
untuk membuat alur di beberapa tempat. Katakanlah membuat sungai
di dalam danau.
Pembuatan alur atau "sungai" itu menurut Mas'ud baru dirasakan
kegunaannya pada musim-musim kering. Selama ini, apabila musim
kemarau datang, danau Jempang menjadi kering dan semua ikan yang
terkurung di tengah mati kepanasan. "Dengan aluralur ini kalau
musim kemarau datang ikan bisa lari ke sungai Mahakam" ujar
Mas'ud. Dengan demikian populasi ikan yang selama ini disinyalir
berkurang. bisa dikendalikan. Di samping itu, kapal-kapal kecil
milik penduduk sekitar danau bisa pula memanfaatkan alur ini,
sebagai jalan darurat. Pada tahun-tahun yang lalu, ketika musim
kering tiba, penduduk harus berjalan kaki berkilo-kilo meter
untuk bisa berhubungan dengan kampung lain.
Itu kalau pengerukan memperoleh sukses. Kalau tidak, Dinas
Perikanan akan menelan pil pahit dari masyarakat danau Jampang.
Sebab belakangan ini mereka sudah mulai meragukan kemampuan
kapal keruk berharga Rp 23,5 juta itu. "Lebih banyak begadang
dari pada bekerja" begitu ucap penduduk menyindir 12 orang
karyawan pengerukan yang setiap bulan mendapat droping uang Rp
400.000 itu. Terhadap sindiran ini Mas'ud menangkis dengan
alasan teknis. Kami hanya bisa bekerja kalau kedalaman air
sekitar 2 sampai 3,5 meter. Lebih dalam atau lebih dangkal dari
itu tidak bisa" katanya. Jelasnya Mas'ud membenarkan bahwa dalam
waktu satu tahun dipergunakan untuk pengerukan selama 7 bulan.
Selebihnya "terpaksa nganggur" karena alasan teknis tadi atau
kerusakan mesin. Sebab, di samping yang dikeruk berupa tanah
liat nan keras, di dasar danau itu banyak sisasisa tonggak kayu
dan banyak pula rumput PKI-nya. 'Rumput PKI" ini diberi nama
begitu oleh masyarakat karena susah mematikannya dan cepat
berkembang biak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini