Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menunggang Limusin, Menuai Gunjingan

Sejumlah petinggi MPR studi banding ke lima negara di Eropa. Karena fasilitasnya serba mewah, biayanya miliaran rupiah.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU siang di hari Minggu, cuaca Paris terasa menyengat. Maklum, sepanjang Juni, kota supermodel itu sedang dalam musim panas. Nun di sudut gang kecil yang bermuara ke Jalan Champs Elysee yang padat wisatawan, belasan wajah Melayu keluar dari sebuah restoran Cina. Yang baru mereka santap sebenarnya makanan lazim di Pecenongan, Jakarta: tumis kangkung dan kepiting saus. Tapi, kalau makannya di Prancis, kan terasa lebih bergengsi…. Namun, ada yang lebih prestise. "Pak Amir, seumur hidup saya enggak mimpi naik limusin. Gimana rasanya, ya? Saya ingin foto-foto di depan mobil itu," ujar Bando Amin ketika melihat beberapa sedan mewah ngetem menunggu penyewa di pinggir jalan. Mendengar gurauan anggota Fraksi Utusan Daerah (FUD) itu, Oesman Sapta, sebagai kepala rombongan, terenyuh pada rekan sefraksinya, lalu, "Lo, kalau mobil seperti itu, saya punya. Kalau mau, ayo kita naik itu ke stasiun." Wakil Ketua MPR dari FUD itu tak sedang mengecap. Tidak tanggung-tanggung, ia langsung menyewa dua limusin menggiurkan itu. Setelah potrat-potret sebentar, lalu wus-wus…, dua sedan mewah putih itu melaju mengantar tuan dan nyonya yang terhormat ke stasiun kereta Paris di Gare du Nord. Dengan kereta cepat, mereka ke Amsterdam, Belanda. Memang spontan dan tiba-tiba. Pun tak pernah terbayangkan kalau perjalanan 15 menit Champs Elysee ke Gare du Nord itu bakal jadi gunjingan politik di Jakarta. Maklum, limusin masih dianggap supermewah bagi Indonesia yang ekonominya masih seret. Bayangkan, sementara banyak rakyat masih "makan tak makan", para wakil rakyat justru menghamburkan uangnya ketika melakukan perjalanan dinas nun jauh di belahan Eropa. Toh, naik limusin bukanlah satu-satunya kemewahan yang mereka kecap. "Ah, jangan terkesima dengan limusinnya dong. Tarifnya cuma 50 euro. Itu biasa. Saya juga punya tiga di Amerika. Masa, mau membahagiakan kawan enggak boleh," ujar Oesman seraya menyebut harga sewanya yang tak lebih mahal dari taksi biasa. "Kayak naik angkot. Kami berdesakan. Enggak ada mewahnya sama sekali. Kalau ada di Bandung, kita juga bisa sewa," ujar Riasih, istri Jusuf Amir Feisal, kepada TEMPO. Semalam sebelum naik limo, para wakil rakyat itu juga bermalam di De Crillon, hotel termewah tempat para selebriti dan tamu negara menginap di Paris. Mau tahu tarifnya? Untuk kamar bertempat tidur tunggal, pada musim panas seperti Juni tarifnya mencapai 650 euro (Rp 6,5 juta). Padahal ada di antara mereka yang menyewa kamar suite room bertarif di atas 1.000 euro. Hotel ini termahal di Paris karena bergaya arsitektur Raja Louis XV dengan hiasan marmer Italia dan lampu-lampu kristal. Juga pelayanannya yang istimewa dan lokasinya di Jalan Place de la Concorde nomor 10, kawasan elite yang jadi incaran pelesiran kaum borjuis lokal ataupun pendatang. Rombongan juga menonton kabaret—lengkap dengan tarian telanjang dada—di Lido dengan tiket VIP 160 euro per orang. Tak lupa, shopping di Paris Look, kawasan belanja bebas pajak, kunjungan ke Menara Eiffel dan Arc de Triomph, serta mencicipi menu lezat Eropa yang langka di negeri sendiri. "Ya, kita sih cuma jalan-jalan, enggak foya-foya. Duit dari mana? Paling beli korek api buat suvenir. Nonton kabaret kalau enggak ditraktir Pak Oesman ya enggak mungkin," ujar Riasih. Ke Paris lalu pelesiran tentu bukan tujuan para wakil rakyat kita. Sebab, seperti niatnya, mereka ingin bertemu anggota parlemen atau politikus setempat untuk berstudi banding mengenai sistem demokrasi dan bikameral. Cuma, mana ada anggota parlemen di Prancis yang masuk kerja di akhir pekan? "Orang Prancis paling enggak mau diganggu liburnya," ujar seorang staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris, yang ingin anonim, ketika dihubungi TEMPO. Alhasil, rombongan hanya ditemui staf yang dipimpin Jeff Paiman. Petugas KBRI itulah yang melayani mereka, mulai dari penjemputan di bandara hingga mengantar keliling Paris dengan minibus. Padahal ketika berkunjung ke Inggris, Spanyol, dan Italia, rombongan Oesman mendapat sambutan positif dari politikus setempat. Dan yang perlu dicatat, kata mereka, tak ada fasilitas semewah di Paris. Begitu juga di Belanda, negara tujuan akhir. "Niat kami studi banding demokrasi dan mengundang investasi ke tanah air. Juli nanti, fraksi kami menggelar Indonesian Regional Investment Forum (IRIF). Semua menyambut positif, kecuali Prancis karena (kunjungan mereka pada) hari libur," ujar Oesman Sapta Odang, yang kecewa dengan sikap pejabat KBRI di Prancis. Selain sosialisasi proyek IRIF, rombongan juga "diboncengi" Oki Susyani, 37 tahun, Direktur Utama PT Tri Mitra Adyasa, yang sedang menjajaki peluang ekspor batu bara dengan sejumlah perusahaan di Italia, Spanyol, Belanda, dan Monaco. "Saya cuma mbarengi Bapak karena mumpung ada muhrim. Semua saya bayar sendiri. Saya tidak nebeng, apalagi pakai uang dinas," ujar putri keempat Jusuf Amir Feisal, mantan guru besar ilmu pendidikan IKIP Bandung itu. Oki mengaku, selama di Italia ia menghabiskan waktunya untuk deal bisnis dengan PT TAT Joint Consultant. Begitu juga ketika berada di Spanyol, konsentrasinya sepenuhnya dipakai melobi koleganya, European Economic Development Council (IIDC). Sedangkan rombongan MPR punya agenda sendiri dengan Wakil Ketua Kongres dan pimpinan Senat Spanyol. "Insya Allah, 2004 bisa direalisasi karena kami sudah teken pre-agreement. Kami perkirakan nilai investasinya mencapai US$ 500 juta," ujarnya. Meski perjalanan bisnisnya cukup sukses, Oki menolak jika dikatakan semua itu ia capai berkat pengaruh rombongan ayahnya. "Saya enggak risi. Saya kan cuma bareng satu pesawat dengan mereka. Semuanya saya bayar sendiri. Itu saja. Sejak dulu, mitra bisnis saya memang banyak di Eropa," tutur ibu muda itu dengan tetap ramah. Menurut Sekretaris Jenderal MPR, Rahimullah, selama perjalanan dinas ke Eropa, sekretariat jenderal menganggarkan US$ 9.000 per orang. Uang itu sudah termasuk tiket pesawat kelas bisnis seharga US$ 2.000, hotel dan akomodasi, serta uang saku yang standarnya mengacu pada Departemen Keuangan. Padahal, rombongan berjumlah 21 orang yang terdiri dari para Wakil Ketua MPR seperti Oesman Sapta Odang (Fraksi Utusan Daerah), Jusuf Amir Feisal (Fraksi Bulan Bintang), Nazri Adlani (Fraksi Utusan Golongan), Husni Thamrin (Fraksi Persatuan Pembangunan) beserta istri, Slamet Supriyadi (Fraksi TNI/Polri), dan K.H. Cholil Bisri (Fraksi Kebangkitan Bangsa). Cholil tak sempat ke Paris karena harus menghadiri undangan Mauludan di Malaysia. Selain itu, ada tiga anggota Fraksi Utusan Daerah, tiga sekretaris, satu staf Sekretariat Jenderal MPR, para istri pimpinan MPR, dan dua pengusaha yang tak lain adalah anak Oesman dan Jusuf Amir Feisal. Namun, kata Rahimullah, jatah uang saku tidak berlaku untuk istri, anak, dan anggota rombongan yang tidak mendapat tugas resmi. "Istri dan keluarganya bukan tanggungan kami. Yang dibebankan pada anggaran APBN hanya enam pimpinan dan stafnya," Rahimullah memaparkan. Berapa anggaran yang dihabiskan untuk perjalanan sepuluh hari di Eropa itu? Dengan kurs dolar setara Rp 8.500, total pengeluaran per orang Rp 76,5 juta. Tapi, dengan gaya hidup seperti ditampakkan di Paris, dana sebesar itu tentu belumlah cukup. Sumber TEMPO yang ikut dalam rombongan menyebut, setidaknya dengan banyaknya negara yang dikunjungi dan fasilitas yang mereka terima, setiap orang bisa menghabiskan US$ 17 ribu (Rp 144 juta). Tapi, memang ia meyakinkan bahwa kekurangan US$ 8.000 per orang, tak didapat dengan cara haram. Ini sejoli dengan pernyataan Jusuf Amir Feisal yang menyebut bahwa kekurangan dana ditomboki ketua rombongan, Oesman Sapta Odang. "Pak Oesman bilang, biarkan saja saya yang mencukupi kekurangannya. Kita toh tidak makan uang negara. Ini uang saya," ujarnya. Kepada TEMPO, Oesman mengakui dirinyalah yang menomboki seluruh kekurangan dana kunjungan kerja pimpinan MPR ke Eropa, 7-17 Juni. Dengan 21 peserta, setidaknya pengusaha properti asal Kalimantan Barat itu merogoh sakunya US$ 168 ribu (Rp 1,42 miliar). Jumlah yang fantastis untuk ukuran traktir-mentraktir antarkawan. "Jumlah persisnya saya tidak menghitung. Tapi ya mungkin sekitar itu. Ini nazar saya setelah sembuh dari penyakit (kanker) prostat setahun lalu. Jangan diartikan macam-macam," ujarnya sebelum terbang ke Manado, Rabu pekan lalu. Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Sudirman Said menilai, kunjungan tersebut tidak tepat waktu dan bukan merupakan prioritas anggota MPR. "Kalau mereka punya waktu dan uang, mengapa mereka tak membantu menyelesaikan kasus Aceh," katanya kepada Tempo News Room. Studi banding atau kunjungan kerja wakil rakyat bukan kali ini saja menuai kritik tajam. Ketika Amendemen Kedua UUD 1945 disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2000, 90 anggota Badan Pekerja MPR ramai-ramai menyatakan minatnya ke luar negeri. Alasannya, demi sosialisasi hasil Sidang Tahunan MPR. Pada musim haji 2003 lalu, seratusan wakil rakyat juga mengurus izin kunjungan kerja ke KBRI di Arab Saudi. Padahal tujuannya naik haji. Selayaknya, wakil rakyat menimbang kembali soal asas kepantasan bagi tindak-tanduknya. Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus