SEBATANG pohon di hutan ditebang hari ini, tentu besok pagi sebuah kota belum segera tenggelam oleh bah. Tapi jika setiap menit hutan seluas enam kali lapangan bola ditebas habis, sangat beralasan jika suatu hari kelak banjir besar bakal merendam kita. Hutan, antara lain, berfungsi menangkap dan menyimpan air yang jatuh dari langit—agar tidak meluap ke mana-mana. Susutnya hutan dalam hitungan supercepat itu, celakanya, tengah terjadi di negeri kita. Setiap hari, ketika Anda bangun pagi, di pelosok Kalimantan sana hutan sudah berkurang lagi seluas 1.445 kali lapangan sepak bola. Dalam setahun, hutan seluas Provinsi Jawa Barat amblas dari muka bumi Indonesia. Itu artinya banjir selangkah lagi bergerak menuju rumah Anda.
Musnahnya hutan itu akan berjalan lebih kencang jika keputusan pemerintah yang mengizinkan 15 (dari 22) perusahaan pertambangan berproduksi di areal hutan lindung ternyata disetujui DPR. Beleid kontroversial ini sekarang tinggal menunggu persetujuan DPR—pada 3 Juli nanti beleid itu akan dibahas dalam rapat kerja DPR dan pemerintah.
Ini sebuah pilihan yang dihadapi pemerintahan di mana pun. Dilema yang selalu muncul: mana yang harus didahulukan, mengeruk tambang untuk kesejahteraan rakyat sekarang atau melindungi lingkungan untuk kepentingan lebih luas pada masa depan?
Pemerintah perlu membangun untuk kesejahteraan rakyatnya. Dana pembangunan tersebut didapat dari banyak sumber, termasuk setoran perusahaan tambang. Jika bicara tentang potensi hutan rusak—mungkin ini logika mereka yang pro-penambangan di hutan lindung—mungkin tak akan sehebat yang ditakutkan orang. Dari sekitar 30 juta hektare hutan lindung di negeri ini, 15 perusahaan tersebut (dari 153 perusahaan yang sudah mendaftar) hanya akan melakukan survei di hutan lindung 12 juta hektare "saja". Jika ditemukan tambang di sana, tentu areal yang dibuka jauh lebih sempit dari 12 juta hektare itu. Bagi yang pro, prioritas utama bukan lingkungan tapi tersedianya dana untuk pembangunan sebanyak mungkin.
Sebaliknya, mereka yang pro-lingkungan menyodorkan fakta bahwa membela kepentingan lingkungan bukan berarti merugikan kepentingan ekonomi. Dalam jangka panjang, lingkungan yang tangguh akan memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi pembangunan ekonomi. Jika hutan lindung yang kemiringannya sangat terjal tetap dijarah eksplorasi tambang, bisa dipastikan bahaya longsor akan mengancam dan daya tahan terhadap banjir akan lemah sekali. Kota besar seperti Jakarta telah merasakan betapa besar kerugian ekonomi dari banjir yang merendam metropolitan itu tahun lalu. Hampir semua kantor di kawasan perdagangan Sudirman terpaksa libur, transaksi perdagangan terganggu, perputaran uang terhambat. Banjir di Jakarta, sebagai contoh, adalah bukti betapa lemahnya daya dukung kawasan lingkungan sekitar Bogor dan Puncak, yang semakin gundul dan ramai "ditumbuhi" perumahan dan vila.
Mereka yang pro-lingkungan biasanya sangat gigih mempertahankan kepentingan ini. Ingatlah organisasi semacam Greenpeace yang terkenal berani dan nekat mengegolkan tuntutannya. Kegigihan semacam ini—walau tidak perlu sampai "segila" Greenpeace—diperlukan untuk membela hutan lindung kita dari eksplorasi penambangan. Selain musnahnya hutan bisa mengundang bencana yang akibatnya fatal untuk pembangunan, keanekaragaman hayati hutan kita adalah yang paling lengkap di dunia. Aneka biota di hutan kita adalah sebagian dari museum hidup peradaban manusia yang masih tersisa. Dalam konteks ini, agak janggal jika Menteri Negara Lingkungan Hidup sekarang ini terkesan tidak tampil all out membela hutan lindung dari kemungkinan eksplorasi tambang.
Jika kita tahu hutan segera lenyap 20 tahun atau 10 tahun mendatang, seharusnya izin eksplorasi tambang itu tidak direkomendasi oleh DPR. Dan semoga pemerintah tidak mengabaikan rekomendasi itu. Masih banyak alternatif tersedia untuk menambal kas negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini