Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Elang Dilarang Terbang

Penggunaan pesawat tempur Hawk dan tank Scorpion di Aceh diprotes Inggris. TNI terpaksa memakai Bronco yang tua.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fajar baru saja merekah di kawasan Cot Krueung, Aceh Besar, Senin 19 Mei lalu, ketika gemuruh pesawat memecah keheningan pagi. Empat belas pesawat melintasi udara Cot Krueung sangat cepat. Tak lama kemudian, terdengar tembakan ke darat dari moncong dua pesawat antigerilya OV-10 Bronco. Tembakan roket ke basis Gerakan Aceh Merdeka itu mengawali penerjunan 468 personel Lintas Udara TNI Angkatan Darat di Aceh. Mereka diterjunkan dari enam pesawat angkut Hercules C-130 langsung ke jantung pertahanan GAM. Empat pesawat tempur BAe Hawk 200 yang mengawal operasi penerjunan ini dari Lapangan Udara Polonia, Medan, sekadar melintas lalu bergegas pulang. Gelar operasi pemulihan keamanan di Aceh boleh jadi adalah pertunjukan teknologi dan kemampuan militer Indonesia di medan perang yang sesungguhnya. Menghadapi 5.000 anggota GAM dengan sekitar 2.000 pucuk senjata, TNI menurunkan hampir seluruh perangkat militernya seperti pesawat tempur Hawk 200, pesawat antigerilya OV-10 Bronco, pesawat tempur F-16, dan tank Scorpion. Namun, belum lagi sempat memuntahkan peluru, negara pembuat Hawk 200 memprotes. Pesawat yang bisa terbang di atas kecepatan suara ini tak boleh dipakai untuk menumpas pemberontakan karena dalam perjanjian pembeliannya dinyatakan hanya boleh digunakan untuk latihan. Adalah Menteri Muda Luar Negeri Inggris, Mike O'Brien, yang berkunjung ke Indonesia Rabu 4 Juni lalu yang mengutarakan keberatan pemerintahnya. O'Brien mengatakan, perjanjian pembelian suku cadang antara Indonesia dan Inggris bisa terpengaruh bila pesawat buatan negaranya digunakan dalam operasi pemulihan keamanan di Aceh. "Saya memahami, pesawat Hawk hingga kini hanya digunakan untuk demonstrasi udara, termasuk di Aceh," kata O'Brien. Indonesia membeli 24 pesawat Hawk 100 dan 200 dengan harga Rp 1,8 triliun pada 1996. Pesawat ini kemudian ditempatkan di Skuadron Udara 12 di Pekanbaru. Pesawat ini dipersenjatai dengan kanon Aden 30 mm, bom, dan peluru kendali AIM-9 Sidewinder. Nasib 36 tank Scorpion agaknya mengikuti Hawk. Kendaraan lapis baja canggih buatan Inggris ini didatangkan ke Aceh lewat Pelabuhan Krueng Geukeuh, Lhokseumawe, bersama anggota pasukan Batalion Kavaleri I Cilodong, Jawa Barat, pada Minggu 22 Juni lalu. Panglima Komando Operasi TNI di Aceh, Brigadir Jenderal Bambang Dharmono, yang menerima tank itu, hanya menyebut soal larangan pemerintah Inggris adalah urusan Jakarta. "Saya hanya menggunakannya," katanya. Tapi, setelah lima hari di lapangan, sembilan tank dikembalikan ke pangkalannya dengan KRI Teluk Saleh. Sebagian lainnya terparkir berjajar di Pelabuhan Krueng Geukeuh. Jakarta tampaknya memperhatikan keberatan pemerintah Inggris. Inggris bukan satu-satunya negara yang gerah dengan gelar alat perang buatan mereka di Aceh. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh mengatakan, pemerintah Jerman juga keberatan jika TNI-AL menggunakan kapal buatan mereka untuk perang. Dalam operasi militer di Aceh, TNI mengerahkan kapal bekas Jerman Timur yang dibeli pada 1994. Kapal-kapal itu, kata Sondakh, hanya boleh dipergunakan untuk melakukan operasi memburu perompak di wilayah RI. Bernard sendiri telah menjawab surat pemerintah Jerman itu. "GAM bisa dikategorikan sebagai perompak," katanya. Penjelasan itu tampaknya diterima. Pemerintah Jerman membantah melarang TNI menggunakan kapal-kapal itu di Aceh. "Bukan, bukan protes. Kami hanya meminta informasi tentang penggunaan kapal-kapal itu," kata Atase Pers Kedutaan Besar Jerman, Hendrik Barkeling, kepada Wuragil dari Tempo News Room Kamis lalu. Menurut Barkeling, dalam kontrak pembelian kapal yang diteken kedua pemerintah, ada beberapa pembatasan dalam penggunaan kapal-kapal perang itu. Salah satunya, ya itu tadi, untuk mengatasi perompak di laut. Kini, akibat larangan itu, TNI tinggal mengandalkan pesawat tua OV-10 Bronco—yang disebut-sebut sudah memasuki masa pensiun—dan pesawat F-16 yang sebagian di antaranya kekurangan suku cadang akibat kebijakan embargo negara pembuatnya, Amerika Serikat. Embargo tersebut diberlakukan oleh pihak Kongres sejak peristiwa bumi hangus di Timor Timur pada 1999 dan dinyatakan berlaku hingga seluruh pelaku pelanggaran hak asasi manusia ini selesai diproses pengadilan dengan wajar. Dampak embargo itu menyebabkan hanya tiga dari 10 pesawat F-16 milik TNI-AU yang masih layak terbang. Itu sebabnya pesawat canggih ini hanya digunakan untuk menghantam GAM dengan dentuman sonik, sedangkan penyerangan dilakukan dengan Bronco yang dilengkapi bom seberat 250 kilogram, peluncur roket, dan mitraliur 12,7 mm. Sampai saat ini pihak Amerika Serikat tak mengutarakan keberatan terhadap pemakaian mesin perang itu di Aceh. "Saya hanya heran ternyata masih bisa digunakan," kata Ralph Boyce, Duta Besar AS di Indonesia, sambil tersenyum. Indonesia membeli 16 unit pesawat Bronco pada 1976. Kendati sudah gaek, pesawat ini cocok untuk mendukung operasi militer antigerilya karena dapat berpatroli lama. Tapi kini Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal Chappy Hakim, galau. Katanya, "Mau pakai pesawat Hawk yang sudah kita beli dan lunasi, kok masih digugat-gugat. " Tomi Lebang, Bernarda Rurit (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus