DESA ini terlena di sebuah lembah. Jalan menuju desa yang berpagar bukit dan terbungkus hutan akasia dan pinus itu terjal berlapis batu. Desa Ngrakum, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah, hanyalah satu di antara 37 desa -- dari Kabupaten Boyolali, Grobogan, dan Sragen -- yang bakal ditenggelamkan karena wilayah seluas 6.167 hektar itu bakal dijadikan waduk. Sabtu pekan lalu, pembangunan prasarana waduk itu diresmikan oleh Menteri P.U. Radinal Mochtar. Dan air mulai menyerbu sebagian desa yang sudah mulai ditinggalkan penghuninya. Dimulai sejak 1981, pembangunan waduk itu direncanakan rampung pada 1991 -- yang kelak akan diresmikan oleh Presiden Soeharto. Diperkirakan menelan biaya Rp131,853 miyar, waduk Kedung Ombo di perut Sungai Serang ini bakal mampu menampung 723 juta meter kubik air. Selain untuk keperluan irigasi dan pengendalian banjir Kedung Ombo bakal bisa menyediakan tenaga listrik 22,50 MW. Untuk itulah 5.391 kepala keluarga harus pindah ke desa-desa yang disediakan sebagai tempat penampungan. Tapi sampai pekan lalu, masih ada sekitar seperlima dari mereka -- 700 KK atau 1.911 jiwa -- belum mau hijrah. Menghuni kawasan seluas 318 hektar, mereka masih tenang-tenang saja, masih bekerja di sawah atau bergerombol membicarakan soal uang ganti rugi. Rumah mereka pun masih tegak berdiri. "Kami hanya mohon disediakan tanah pengganti yang sepadan dengan desa kami," kata Suparman, 40 tahun, salah seorang tokoh Desa Ngrakum. Itu sebabnya masih ada uang ganti rugi yang belum diambil, jumlahnya Rp1,9 milyar, yang kini masih tersimpan di Pengadilan Negeri Boyolali. Mereka minta ganti rugi Rp 15.000 per meter persegi, sementara ganti rugi yang ditawarkan oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah, pada 1985, dinilai tidak memadai sama sekali. Yaitu Rp730 per m2 untuk pekarangan, Rp400 per m2 untuk sawah, dan Rp360 per m untuk tegalan. Menurut Kepala Biro Humas Pemda Ja-Teng, Soeparman, ganti rugi itu berdasarkan kelas tanah. "Kalau penduduk minta ganti rugi Rp15.000 per m2, itu tidak masuk akal, karena tanah di sana tanah kapur," tambahnya. Tapi penduduk Kecamatan Kemusu tetap bertahan. Sebab, ada yang berpendapat, misalnya penduduk Desa Ngrakum, tanah mereka cukup subur, bisa menghasilkan panen padi dua kali setahun, diselingi panen kedelai sekali setahun. Mereka tidak tertarik pada tanah yang telah disediakan oleh pemerintah di empat lokasi. Satu di antaranya di Kayen, Kecamatan Juwangi, tak jauh dari waduk. Untuk setiap KK tersedia 1.000 m2, seharga Rp160 per m2, sudah termasuk biaya sertifikat. "Tapi tanah di Kayen tidak sebaik tanah di Kemusu," kata sebagian penduduk. Bupati Boyolali Muhammad Hasbi agak kesal. "Dulu ganti rugi yang dipersoalkan, sekarang soal mutu lahan penampungan," katanya. Hasbi melakukan pendekatan dan penyuluhan. Antara lain mengimbau agar penduduk bertransmigrasi. Ia berhasil. Ada 150 KK telah berangkat ke Air Majunto Muko-muko, Bengkulu. Selain itu, ia juga membentuk satuan tugas dan mendirikan beberapa posko di beberapa tempat, misalnya di puncak-puncak bukit. Posko-posko itu dilengkapi dengan perahu karet dan obat-obatan. Rupanya, ia tak ingin menyaksikan ada warganya tiba-tiba mati tenggelam. "Kita harus menerapkan prinsip kemanusiaan. Mereka toh rakyat kita juga. Kita harus berjiwa besar. Tapi penyuluhan juga harus jalan terus," ujarnya. Perlahan-lahan ada beberapa kelompok penduduk berdatangan ke Pengadilan Negeri Boyolali mengambil uang ganti rugi. Dari Desa Genengsari, Bawu, Klewor. "Kawan-kawan saya sudah pindah. Masa, saya mau ngotot sendiri," ujar Sumarto, 47 tahun, dari Genengsari. Sebagian yang bertahan. Misalnya di Ngrakum dan Kemusu, menunggu air berpusu-pusu menyerbu. BSH, Kastoyo Ramelan, Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini