ADA pesta di Reog Room, Hotel Indonesia, Minggu malam pekan lalu. Puluhan pengusaha Arab berkumpul disana, sebagian dengan pakaian tradisional dan igal penutup kepala. Suasana semakin marak, ketika satu grup musik mengiringi acara santap malam mereka. Bukan musik Timur Tengah atau nyanyian Ummi Kaltsum, melainkan lagu-lagu daerah Indonesia, termasuk lagu Tapanuli Selatan dan tarian tortor. Orang Tapanuli yang hadir, tak lain adalah Cosmas Batubara, Menteri Tenaga Kerja. Memang ini acara mereka: pertemuan bisnis antara 49 pengusaha Arab Saudi dan para pejabat Departemen Tenaga Kerja dan 19 Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) yang tergabung dalam Consortium '99. Sesudah acara santap malam dan penghormatan dengan ulos bagi Cosmas, Dubes Arab Saudi, Dubes Kuwait, dan Dubes Mesir itu, para pengusaha Arab dan PPTKI melanjutkan pertemuan yang pertama kali dalam sejarah hubungan bisnis Indonesia-Arab ini di Pelabuhan Ratu, sampai Jumat pekan ini. Tujuannya, menurut ketua Consurtium '99 (satu dari 3 consurtium PPTKI) Ir. Abdul Malik Aliun, membuat terobosan baru dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas TKI ke Arab Saudi. "Maklum, sejauh ini jumlah TKI di sana sudah mencapai 120-an ribu orang," kata Abdul Malik, yang juga Direktur Utama PT Almas Corp. Bagi PPTKI, pertemuan itu penting sekali artinya. Sebab, sekitar dua bulan ini mereka sempat dituding melakukan kecurangan, berhubung tenaga kerja yang seharusnya sudah dikirim tak juga muncul di Arab sana. Persoalan bermula ketika sekitar 2.000 tenaga kerja kita tak bisa diberangkatkan, berhubung muncul sebuah Peraturan Menteri (Permen) yang baru, ditandatangani 28 November 1988. Permen No.05/1988 itu, antara lain, menghendaki agar semua tenaga kerja (TK) yang dikirim mempunyai keahlian yang disahkan pemerintah. Ketika Permen tersebut dikeluarkan, di berbagai penampungan PPTKI Jakarta sudah siap 6.419 TK yang akan diberangkatkan. Mereka mujur. Menteri Cosmas membolehkan mereka diberangkatkan ke Arab, Desember lalu. "Itulah kuota terakhir pemberangkatan tenaga kerja tanpa keahlian khusus," kata Alwi Shihab, Direktur Utama PT Damas, yang juga Wakil Ketua II Asosiasi Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (IMSA). Tapi di penampungan-penampungan PPTKI di daerah, menurut sumber TEMPO yang lain, ada 2.000 calon TK yang juga siap berangkat ke Arab Saudi. Mereka inilah yang ditunda pemberangkatannya, karena mesti dilatih keterampilan khusus lebih dulu di Balai Latihan Kerja. Kendati begitu, permintaan dari Arab Saudi tetap datang bertubi-tubi. Mereka berkali-kali menanyakan tenaga yang telah dijanjikan PPTKI. Dalam suasana mandek begitu, ada yang punya akal. Seorang pejabat Depnaker mengambil inisiatif untuk merekomendasikan pemberangkatan 2.000 calon TK tadi. Ketika itu Cosmas sedang di luar negeri. "Alasannya, Permen 05/88 baru berlaku sejak 1 Januari 1989," kata sumber TEMPO. Maka para PPTKI memanggil 2.000 calon dengan keterampilan seadanya itu untuk diseleksi dan menandatangani kontrak kerja di Jakarta. Tapi malang. Ketika hendak menandatangani paspor, tiba-tiba datang larangan dari Dirjen Binapenta (Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja) atas perintah Menaker. Menurut Cosmas, larangan itu dilakukannya berhubung diperlukan waktu sedikitnya 5 minggu untuk melakukan latihan keterampilan bagi calon TKI dan -- lebih lagi bagi calon TKW (Tenaga Kerja Wanita). Selama ini TKW kita bekerja dengan "keahlian" segala bisa. Sekarang mereka mesti menjadi tenaga dengan keterampilan khusus, misalnya sebagai juru masak, atau tukang jahit. Sesudah 5 pekan, keterampilan calon TK akan diuji sebuah tim -- kecuali jika sudah punya sertifikat keterampilan tertentu. Tim penguji ini, kata Cosmas, sudah terbentuk -- diketuai Sumakmur Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Depnaker. Rupanya Cosmas menginginkan peningkatan kualitas TK di luar negeri. "Juga perlindungan yang lebih baik," katanya. Kalau mutu skill TK meningkat, mau tak mau pasaran TK Indonesia di pasaran internasional ikut pula terkatrol -- dengan buah penambahan jumlah devisa yang besar. Agaknya Cosmas ingin meniru langkah Filipina yang dalam 10 bulan ini saja mampu memasukkan US$1,3 milyar dari kiriman tenaga kerja mereka di luar negeri via bank. Bagi Cosmas, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri memang soal serius. "Apalagi di dalam negeri, kita belum mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak mungkin," ujarnya. Maka ia berharap bahwa pada Pelita V nanti jumlah tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri bisa melampaui jumlah TK ke luar negeri pada Pelita IV yang mencapai 267 ribu orang. "Saya ingin pekerja kita menjelajahi seluruh dunia selama masih memungkinkan," katanya. Untuk itu, selain skill diperlukan pula penguasaan bahasa asing. Peningkatan mutu ini, kata Cosmas, sekaligus memberikan harapan gaji yang lebih baik. Selama ini, menurut Idrus Syech Abubakar dari PT Al-Barakah Corp., gaji terendah yang diterima TKW di Saudi adalah 600 rial atau sekitar Rp245.000 sebulan, sementara untuk sopir rata-rata 800 rial. Mutu mereka pun tak mengecewakan. "Tenaga Indonesia rata-rata excellent," kata pengusaha Mohammad Ibrahim Al-Shiha. Direktur Asia Recruitment & Employment Corp., Dammam, Saudi Arabia, yang juga datang di acara Minggu malam itu. "Satu-satunya masalah dengan mereka adalah soal bahasa," tambahnya. Sekarang memang ada masalah. Bukan pada mutu TK, melainkan pada kelancaran pengirimannya ke Arab Saudi seperti disebut tadi. Sejauh ini para pengusaha Arab Saudi merasa kecewa, karena tak ada penjelasan yang pasti dari pihak Indonesia. "Kami sudah menunggu pengiriman tenaga Indonesia 3 bulan tanpa hasil. Biasanya paling lama hanya satu bulan," kata Al-Shiha. Selain dari Indonesia, perusahaan Al-Shiha juga merekrut tenaga kerja dari berbagai negara, termasuk Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, India, Filipina, Muangthai, Mesir, dan Sudan. "Hanya dari Indonesia sajalah sekarang kami mendapat kesulitan," ujar Al-Shiha, yang rata-rata merekrut 100 TKI setiap bulan untuk kliennya di Saudi. Syafiq Basri, Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini