LEBIH 10 dari daratan Propinsi Riau (yang luasnya 9,4 juta
hektar) sudah bertanah kritis. Artinya sudah mendesak untuk
dihijaukan. Tapi walaupun dalam beberapa tahun belakangan ini
dana dan bibit untuk penghijauan itu selalu tersedia, tampaknya
dalam pelaksanaan di lapangan hasilnya belum seperti yang
diharapkan.
Misalnya Bukit Kucing yang dijadikan pusat kegiatan penghijauan
tahun ini. Kawasan yang dinyatakan sebagai hutan lindung dan
malahan perlu ditanami lagi ini sudah 3 hingga 4 kali dihijaukam
Namun dari sekian ribu batang yang ditanam, hanya beberapa puluh
saja pohon yang masih bertahan hidup. Menurut ir. Sumarsono
Kepala Dinas Kehutanan Riau, hal itu tak terlepas dari kebiasaan
tangan-tangan jahil menebang tanaman-tanaman seenaknya saja.
Misalnya untuk kayu bakar bahan perumahan dan macam-macam lagi.
Sumarsono mengakui kebiasaan tak baik ini merupakan kesulitan
utama penghijauan di propinsi ini. Pengawasan langsung tentu
sulit dilakukan mengingat areal begitu luas. Sementara dari
pihak lain, umumnya kawasan yang dihijaukan itu ada di daerah
yang potensiil untuk pertanian sehingga kemungkinan untuk
diserobot penduduk memang besar.
Dicabut
Kegundulan merupakan ancaman yang akan terus dihadapi daerah ini
hingga tahun-tahun mendatang. Bayangkan saja, dari 5,1 juta
hektar hutan yang boleh diekploitasi sudah lebih 60% berada
dalam HPH para pengusaha kayu. Dan tiap tahun rata-rata 1,5 juta
M3 kayu dilempar ke luar negeri, tak terhitung untuk dalam
negeri. Tahun lalu lebih 30 perusahaan kayu dicabut HPH-nya oleh
Dirjen Kehutanan. Sebabnya yang terpenting, melanggar
ketentuan--seperti penebangan tak selektif dan melalaikan
kewajiban menghijaukan kembali areal yang telah ditebangi.
Meskipun demikian ir. Sumarsono tak menganggap para pengusaha
kayu itu sebagai penyebab utama penggundulan hutan di daerah
ini. Ia tetap menunjuk ke penebangan-penebangan liar oleh
penduduk. Alasannya: para pemegang PH masih dapat diawasi dalam
operasi mereka dan terikat oleh sanksi-sanksi. Setidak-tidaknya
tak seluruh hutan yang sudah mereka tebang dibengkalaikan begitu
saja. Tapi siapa yang dapat mengawasi penebang-penebang liar?
"Mereka itu membonceng di belakang perusahaan perkayuan," lanjut
Sumarsono. Dan memang, begitu mulai timbul celah-celah jalan
yang dapat dipakai untuk mengeluarkan kayu, di kawasan itulah
berkembang penebangan liar. "Di mana muncul jalan Caltex, di
situ berkecambah pula peladangan liar," tambah Sumarsono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini