Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tangan-Tangan Jahil

Bukit kucing di propinsi riau jadi pusat penghijauan thn ini. kawasan yang sebagai hutan lindung tersebut sudah 3-4 kali dihijaukan & tidak pernah berhasil. pohon-pohon dimanfaatkan untuk kayu bakar dan perumahan. (dh)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH 10 dari daratan Propinsi Riau (yang luasnya 9,4 juta hektar) sudah bertanah kritis. Artinya sudah mendesak untuk dihijaukan. Tapi walaupun dalam beberapa tahun belakangan ini dana dan bibit untuk penghijauan itu selalu tersedia, tampaknya dalam pelaksanaan di lapangan hasilnya belum seperti yang diharapkan. Misalnya Bukit Kucing yang dijadikan pusat kegiatan penghijauan tahun ini. Kawasan yang dinyatakan sebagai hutan lindung dan malahan perlu ditanami lagi ini sudah 3 hingga 4 kali dihijaukam Namun dari sekian ribu batang yang ditanam, hanya beberapa puluh saja pohon yang masih bertahan hidup. Menurut ir. Sumarsono Kepala Dinas Kehutanan Riau, hal itu tak terlepas dari kebiasaan tangan-tangan jahil menebang tanaman-tanaman seenaknya saja. Misalnya untuk kayu bakar bahan perumahan dan macam-macam lagi. Sumarsono mengakui kebiasaan tak baik ini merupakan kesulitan utama penghijauan di propinsi ini. Pengawasan langsung tentu sulit dilakukan mengingat areal begitu luas. Sementara dari pihak lain, umumnya kawasan yang dihijaukan itu ada di daerah yang potensiil untuk pertanian sehingga kemungkinan untuk diserobot penduduk memang besar. Dicabut Kegundulan merupakan ancaman yang akan terus dihadapi daerah ini hingga tahun-tahun mendatang. Bayangkan saja, dari 5,1 juta hektar hutan yang boleh diekploitasi sudah lebih 60% berada dalam HPH para pengusaha kayu. Dan tiap tahun rata-rata 1,5 juta M3 kayu dilempar ke luar negeri, tak terhitung untuk dalam negeri. Tahun lalu lebih 30 perusahaan kayu dicabut HPH-nya oleh Dirjen Kehutanan. Sebabnya yang terpenting, melanggar ketentuan--seperti penebangan tak selektif dan melalaikan kewajiban menghijaukan kembali areal yang telah ditebangi. Meskipun demikian ir. Sumarsono tak menganggap para pengusaha kayu itu sebagai penyebab utama penggundulan hutan di daerah ini. Ia tetap menunjuk ke penebangan-penebangan liar oleh penduduk. Alasannya: para pemegang PH masih dapat diawasi dalam operasi mereka dan terikat oleh sanksi-sanksi. Setidak-tidaknya tak seluruh hutan yang sudah mereka tebang dibengkalaikan begitu saja. Tapi siapa yang dapat mengawasi penebang-penebang liar? "Mereka itu membonceng di belakang perusahaan perkayuan," lanjut Sumarsono. Dan memang, begitu mulai timbul celah-celah jalan yang dapat dipakai untuk mengeluarkan kayu, di kawasan itulah berkembang penebangan liar. "Di mana muncul jalan Caltex, di situ berkecambah pula peladangan liar," tambah Sumarsono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus