TANDUK-menanduk di kandang banteng PDI mulai melebar ke pengadilan. Ada dua buah perkara peradilan yang kini harus dihadapi oleh Soerjadi dan Nico Daryanto. Di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, duet pimpinan PDI itu berhadapan dengan si tokoh kawakan Jusuf Merukh. Lantas di PN Malang mereka menghadapi Hengky Bambang Widodo, fungsionaris partai dari Probolinggo, Ja-Tim. Mudah ditebak, kedua gugatan itu merupakan babak lanjutan pertikaian antara kubu Soerjadi-Nico dan kelompok pembangkang MarsoesiDudy Singadilaga. Jusuf Merukh memang termasuk salah satu dari delapan tokoh yang dipecat keanggotaan PDI-nya oleh Soerjadi-Nico. Bahwa Jusuf kini muncul ke arena pertarungan, agaknya, berhubungan erat dengan makin melemahnya posisi perlawanan Dudy dan Marsoesi. Pengaruh Dudy di Ja-Bar telah habis. Dosen hukum tata negara di Universitas Padjadjaran Bandung itu ternyata juga kalah gesit dibanding Soerjadi dalam mencari dukungan dari bawah. Tak banyak yang membelanya ketika dia dipecat. Konperda PDI Jabar, sebulan lalu di Cikopo, bahkan mengukuhkan pen-DO-an Dudy, dan otomatis secara resmi dia kehilangan kursi Ketua DPD Ja-Bar-nya. Keperkasaan Marsoesi di Jawa Timur pun sedikit demi sedikit menyusut. Lobi Soerjadi dan Nico cukup kuat di daerah basis banteng ini. Bahkan, sejak dua pekan lalu, kekuatan Marsoesi boleh dibilang lumpuh total. Konperda di Songgoriti Malang secara resmi mendukung pemecatan Marsoesi, dan otomatis si tokoh kawakan itu harus turun dari kursi ketua DPD-nya. Gugatan Jusuf itu, boleh jadi, merupakan ikhtiar agar gerak perlawanan bisa bergaung lebih lama. Senin pagi pekan ini, perkara gugatan Jusuf mulai disidangkan. Tapi pada kesempatan pertama itu, baik penggugat maupun tergugat tak hadir ke ruang sidang. Jusuf diwakili kuasa hukumnya, Urbanus Poly Bombong. Sedangkan pihak Soerjadi-Nico diwakili oleh Kepala Sekretariat DPP PDI, Abdoelhamid Notowidagdo. Soal pemecatan terhadap Jusuf Merukh-lah yang kini dipcrsoalkan oleh Poly Bombong. Pemecatan itu, menurut Poly, sungguh sebuah hal yang janggal. Jusuf Merukh tidak hadir dalam rapim itu lantaran tak diundang, dan tak ikut menandatangani deklarasi DPP tandingan itu. Mestinya, menurut Poly, Jusuf tak perlu disangkutkan ke dalam kudeta yang gagal tadi. Oleh karenanya, "Kami berharap mendapatkan keputusan murni tanpa pengaruh kekuasaan dan politik," ujarnya. Lewat gugatan yang didaftarkan 9 Mei lalu itu, Jusuf Merukh menuntut supaya lembaga peradilan memaksa para tergugat mengajukan permintaan maaf secara terbuka melalui media massa Ibu Kota, antara lain Kompas, Suara Pembaruan, Suara Karya, Pelita. Hal itu dimaksudkan untuk merehabilitasikan nama baik penggugat. Itu tuntutan primernya. Pada tuntutan subsidernya Jusuf menghendaki agar kedua tergugat membayar ganti rugi Rp 2,5 milyar secara tanggung renteng, yang harus dibayar tunai paling lambat delapan hari setelah keputusan dijatuhkan. Tuntutan yang wajar, kata Poly Bombong. "Agar kasus ini bisa jadi yurisprudensi dan pemimpin partai tak sewenang-wenang terhadap anggotanya," ujarnya. Kendati tak menyangkut uang milyaran, gugatan di PN Malang juga bisa menjadi batu rintangan bagi Soerjadi untuk segera membungkam para pembangkang. Gugatan Hengky menghendakl agar semua keputusan Konperda di Arumdalu, Songgoriti, itu dinyatakan batal, lantaran tata cara penyelenggaraannya tidak sah. Belum ada kepastian kapan sidang itu dimulai. Pada gugatan Hengky, selain Soerjadi Nico, Ketua terpilih DPD PDI Ja-Tim Latief Pudjosakti dan Sektretaris Umum Panitia Konperda Ir. Bambang Irijanto terdaftar sebagai pihak tergugat. Hengky menghendaki, agar hakim menyatakan bahwa keempat tergugat itu telah menyalahi aturan main organisasi dan harus dipecat dari keanggotaan PDI. Hengky, 33 tahun, memang kesal terhadap klik Soerjadi. Kendati datang ke Songgoriti, konsultan hukum freelance itu hanya bisa menyaksikan Konperda dari luar pagar Arumdalu. Dia tak terpilih mewakili daerahnya, Probolinggo. Soerjadi dan Nico dituduh Hengky melakukan kecurangan selama Konperda berlangsung. Para peserta misalnya, tutur Hengky, disodori formulir surat dukungan terhadap SK Ketua Umum No. 12/88, yang isinya tentang pemecatan delapan pembangkang serta pembekuan DPD Ja-Bar. Yang menolak menandatanganinya kata Hengky, dinyatakan tak berhak mengikuti Konperda. Jerat itulah yang dituduhnya bisa mengantarkan Latief Pudjosakti menjadi Ketua DPD Ja-Tim. Latief Pudjosakti, yang sebelum terpilih menjadi ketua definitif sempat magang sebagai pejabat sementara Ketua DPD, pun tak luput dari tinju Hengky. Latief, menurut alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Probolinggo 1985 itu, dianggap ikut menyukseskan Konperda yang "tak halal" itu. Lantas, apa salah Bambang Irijanto? Menurut tuduhan Hengky, Bambang tak layak jadi fungsionaris karena tak bersih lingkungan. Henky tampaknya tak terlalu optimistis bahwa gugatannya bisa mengguncang kepemimpinan Soerjadi. "Dikabulkan atau tidak oleh pengadilan tak jadi soal, yang penting saya sudah melakukan koreksi atas jalannya partai," ujar Hengky kepada TEMPO yang menemuinya di rumah Marsoesi di Jalan Baliton 11, Surabaya. Akan halnya Soerjadi dan Nico, masih seperti kemarin-kemarin, tampak dingin menghadapi tandukan lawan-lawannya. "Sebagai warga negara yang mengerti hukum saya akan melayani gugatan itu," ujarnya. Urusan gugatan itu akan diserahkannya kepada pengacara. "Sudah banyak yang mau jadi pengacara saya tanpa meminta imbalan," tambahnya. Ancaman gugatan itu tampaknya tak membuat nyali kubu Soerjadi menciut. "Tuntutan itu tak ada artinya bagi partai, tidak membuat kami goyah," kata Ketua Umum PDI ini. Soal kemungkinan kompromi dengan para pembangkang juga tak pernah dipikirkannya. "Kami tak mau capek memikirkan orang-orang yang berada di luar PDI," kata Soerjadi. Laporan Diah Purnomowati, Rustam F. Mandyun (Jakarta), dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini