MEREKA datang dari berbagai instansi. Semuanya pejabat teras. Ada sekjen dan dirjen departemen, ada rektor, ada kepala lembaga pemerintah nondepartemen, ada pula pejabat teras Mabes ABRI. Juga gubernur. Yang menarik, mereka bisa berbicara secara terus teran menenai pekerjaan mereka. Forum istimewa ini adalah Penataran Pengawasan Melekat tingkat Nasional angkatan 1. Dibuka oleh Presiden Soeharto di Istana Negara Senin pekan lalu, penataran yang berlangsung berdasarkan Inpres 2/ 1988 ini dilanjutkan di Lembaga Administrasi Negara (LAN) selama limahari, diikuti 127 0rang pejabat eselon I. Untuk menatar semua pejabat eselon I sebanyak 1.020 orang, diperlukan penataran 11 angkatan sampai November mendatang dengan biaya Rp 140 juta. Dalam kata sambutannya, antara lain, Presiden menilai fungsi pengawasan melekat (waskat), yaitu kewajiban atasan mengatasi bawahan masih lemah. Banyak yang menganggap pengawasan sebagai mencari-cari kelemahan. Sering pula tindak lanjut dan hasil temuan pengawasan tidak dilakukan karena tidak tega. Menurut Presiden, waskat terutama untuk menemukan secara dini kesalahan atau penyimpangan, sehingga dapat segera dilakukan perbaikan dan pelurusan kembali. Yang menarik dalam penataran ini ialah hadirnya para pejabat teras ABRI. Bahkan Kabakin Letjen. (Purn.) Yoga Sugomo terpilih sebagai ketua angkatan 1. Padahal, penataran ini sebenarnya khusus buat para pejabat sipil. Menurut Menpan Sarwono Kusumaatmadja yang bertindak sebagai penanggung jawab penataran, kehadiran para pejabat teras ABRI itu atas prakarsa Mabes ABRI sendiri. "Dan kontribusi mereka dalam penataran ini sangat penting. Soalnya, waskat sudah membudaya di kalangan mereka. Bagi ABRI, waskat sudah menjadi bagian dari kedinasan sehari-hari. Mereka sudah memiliki prosedur yang lengkap, yang sudah builtin," katanya. Itu tidak berarti waskat belum berjalan di kalangan sipil. "Di kalangan mereka sudah jalan juga, cuma baru secara sporadis," tambah Menpan. Bahkan menurut Ketua LAN, Prof. H. Bintoro Tjokroamidjojo, M.A., yang tampil sebagai Ketua Tim Pengarah, waskat di kalangan sipil sudah jalan sejak awal Orde Baru. Seperti dibentuknya Opstib, yang kemudian memperkenalkan Kotakpos 999 sebagai sarana pengaduan, adanya lembagalembaga pengawasan fungsional, dan belakangan diumumkannya Kotakpos 5000 di bawah lembaga Wakil Presiden. "Mereka bukannya gagal, tapi belum mencapai hasil yang memadai. Sebaliknya, harus diakui, selama ini fungsi pengawasan masih lemah. Untuk itulah penataran ini diselenggarakan," tambahnya. Waskat, harap maklum, adalah hak atasan sementara bawahan boleh memberi saran, kritik, protes. "Tapi masih ada atasan menggunakanjabatan untuk menumbuhkan kekuasaan dan tidak mau diusik. Nah, keadaan semacam ini yang tidak memperlancar mekanisme waskat," ujarnya. Celakanya, ada pula atasan yang enggan menegur bawahan. Bagi Gubernur Jambi Masjchun Sofwan, penataran ini merupakan pembaruan tekad dan upaya mawas diri para pejabat. Karena itu, yang paling penting ialah faktor manusia sebagai pimpinan yang berkualitas. "Peraturannya 'kan sudah bagus, tapi kenapa terjadi kebocoran? Itu lantaran pelaksanaan pekerjaan tidak diawasi, tidak diteliti, dan hanya percaya saja," katanya. Presiden Soeharto memang menegaskan, penataran ini merupakan tekad pemerintah untuk melaksanakan pengawasan, dan sama sekali bukan formalitas. Karena tekad itulah maka Menpan Sarwono optimistis waskat bakal jalan untuk menunjang pembenahan manajemen pemerintahan. "Soal pembenahan itu tinggal political will saja," katanya. Sebuah sumber TEMPO menyatakan, manajemen pemerintahan memang harus dibenahi terus-menerus, hingga tidak ada peluang yang menggoda orang menyeleweng. Dan sebaik-baik sistem, faktor terpenting yang paling menentukan ialah penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Karena itu, diperlukan orang-orang jujur yang punya keberanian melakukan perbaikan, dan komitmen pada tugas. Ia memberi beberapa amsal, betapa kejujuran dan komitmen pada tugas sering lumer pada beberapa pejabat kita. Sebuah contoh: ada seorang pejabat merangkap pimpro. Dia bikin rencana, dia pula yang melakukan pembelian barang dan menyusun laporan. "Ya, tentu tidak ada check and balance, 'kan?" katanya. Contoh lain, yang sudah jadi rahasia umum, ialah pembangunan SD Inpres. Banyak pejabat yang menangani masalah itu hanya menilik laporan administratifnya, tanpa mengontrol ke lapangan. "Dan dia tak peduli sebulan kemudian itu SD ambruk," ujarnya. Dalam hal DIP (daftar isian proyek), yang penting jangan sampai ada Siap (sisa anggaran pembangunan). "Ini 'kan tidak betul." tambahnya. Penataran yang diikuti penuh antusias ini dua hari diisi ceramah, tiga hari diskusi. Beberapa kasus dari Kejagung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Depkeu sebenarnya sudah dipersiapkan, tapi kasus-kasus yang dilontarkan para peserta ternyata sudah segudang. Segera setelah ditatar, para pejabat eselon I itu harus menyusun RTL alias rencana tindak lanjut berupa pokok-pokok penugasan, prosedur kerja, tata kerja, sistem laporan. Selain itu juga menyusun kebijaksanaan pembinaan personel. Dan keduanya disertai sistem pemantauan mengenai hasilnya. Di departemen, RTL dikoordinasikan oleh sekjen, sementara di daerah oleh gubernur. Mereka kemudian harus menatar para pejabat eselon II dan III. Bukan dalam forum penataran dan dengan biaya khusus tapi dalam rapat dinas dan dengan anggaran departemen atau pemda. Tidakkah prosedur waskat justru akan memperpanjang birokrasi itu sendiri? Sarwono punya jawabnya: "Justru para peserta itu sendiri yang mengajukan warning: jangan sampai maksud menyelenggarakan waskat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, dengan menciptakan prosedur birokrasi berbelit-belit atas nama pengawasan melekat. Nah, 'kan menarik?" B.S.H. dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini