Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mimpi buruk di banjar agung

Transmigran spontan di desa gedong tataan, lampung selatan terpaksa makan beras racun tikus, karena kekurangan pangan, 15 orang meninggal dunia. (nas)

5 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEDAUNAN telah menghijau di pekarangan rumah. Pohon singkong dan jagung meninggi, dan kacang panjang pun telah menjuntai. Itulah pemandangan pekan lalu di Desa Banjar Agung, Kecamatan Menggala, Lampung Utara. Suasananya terasa tenang, damai dan hijau. Padahal baru beberapa pekan sebelumnya, di situ terjadi bencana. Kelaparan telah memaksa 28 jiwa melahap beras beracun. Akibatnya 15 orang meninggal, dan 8 orang hingga kini masih dirawat di RSU Tanjungkarang. Tragedi itu merupakan ekor kemarau yang panjang yang menghantam sebagian penduduk desa tersebut. Mereka adalah penduduk baru di kampung itu, yang bermigrasi spontan awal tahun silam dari Desa Gedong Tataan, Lampung Selatan. "Dua bulan di Banjar Agung," ujar U. Demin, Kepala Rukun Kampung "langsung musim kemarau." Tanaman mengering. Tinggal batang-batang meranggas serta ilalang. Maka mereka pun mulai memakan gadung. Berbulan-bulan hal ini berlangsung, akhirnya talas liar yang tumbuh di semak-semak itu pun habis juga. "Setelah gadung habis," lanjut Demin, "kami mulai menebang pohon aren, mencari sagu". Ternyata sia-sia. Batang aren itu tak mengandung sagu karena masih terlalu muda. Sementara para suami terus berupaya mencari pangan para istri di rumah mulai menoleh pada beras berwarna hijau kebiru-biruan, yang telah mereka peroleh beberapa pekan sebelumnya. Beras-racun-tikus dalam kemasan plastik seberat 1 kg itu, bersama pupuk dan obat-obatan diperoleh dari PT Pertani guna menyongsong musim tanam. Beras racun ini memang dibagikan guna memerangi hama tikus. "Kami terpaksa memasaknya," kata Sarti, mertua Demin, salah seorang yang masih dirawat di RSU Tanjungkarang. Ibu berusia 40 tahun ini, kematian suami serta 4 orang anaknya. Seorang di antaranya sedang hamil 4 bulan. Para ibu itu sadar benar bahwa yang ditanak adalah racun tikus. Beras yang berwarna kehijau-hijauan itu lebih dulu ditumbuk. Warnanya lantas mengelupas. Setelah dicuci berkali-kali di sungai, kemudian ditanak. Itu terjadi pada minggu pertama Desember lalu. "Setengah masak, airnya dibuang lagi. Baru dimasak kembali," kata Jemikem, salah seorang korban di rumahnya yang berukuran 4 x 5 meter, berdinding gedek, beratap ilalang serta berlantai tanah pekan lalu. Jemikem sendiri menurut pengakuannya hanya mengikuti jejak istri Sanmuin tetangganya. "Ndak apa-apa," cerita istri Sanmuin. "Warek, warek -- kenyang, kenyang, tambah Sanmuin pula seraya memegang-megang perutnya. Memang keluarga Sanmuin selama beberapa hari setelah memakan beras itu tampak biasa saja. Tak ada reaksi racun itu. Inilah yang menyebabkan tetangga yang lain lantas mengikutinya. Sanmuin sendiri akhirnya meninggal bersama lima anaknya. "Masa inkubasi racun itu memang lama," kata dr. Ibramsyah, Kepala Bagian Penyakit Dalam RSU Tanjungkarang. Berbeda dengan racun tikus konvensional yang begitu dimakan langsung tamak reaksinya. Sedang beras beracun ini membutuhkan waktu sedikitnya 4 hari bahkan sampai dua minggu, sebelum bereaksi. Racun itu, hasil produksi PT. ICI, dengan nama dagang Klerat-RM, merupakan turunan anti-cuagulantia, yang menyebabkan darah tidak bisa membeku. "Korbannya akan mengalami pendarahan dari semua lubang, kecuali telinga," kata Ibramsyah. Racun itu menyatu secara fisis dengan beras dan tak bisa dipisahkan meski ditumbuk dan dicuci berkali-kali. Bahkan daging ternak yang memakan racun ini, jika dimakan manusia, juga akan menyebabkan keracunan. "Daerah itu memang rawan beras," kata Masno Asmono, Bupati Lampung Utara, yang Dinas Sosialnya telah memberi bantuan 300 kg beras. Lagi pula desa itu agak terpencil. Untuk mencapai Banjar Agung, mesti menempuh perjalanan Tanjungkarang-Menggala sejauh 130 km. Lalu menyeberangi Sungai Tulang Bawang dengan perahu motor atau ferry selama 25 menit menuju Desa Caketnyinyik. Dari sini lalu menempuh jalan berbatu selebar 2 meter sepanjang 18 km. Toh daerah ini masih memikat transmigrasi spontan. Ini bermula dari kabar yang sampai ke Gedong Tataan, bahwa Desa Banjar mencari penduduk baru. "Daripada tanah di sini telantar dan kampung ini menjadi hutan lalang dan sarang babi hutan," kata Abdul Somad Kepala Kampung Banjar Agung, "semua warga marga sepakat memberi tanah kepada pendatang yang mau menjadi penduduk di sini." Maka ratusan penduduk baru tiba. Desa seluas 1.117 ha itu kini dihuni 702 jiwa penduduk asli dan 947 jiwa pendatang. Dengan harapan mendapatkan tanah milik sendiri itulah, Sarjono, 37 tahun, ikut meninggalkan Gedong Tataan. Ia sendiri adalah anak transmigran. "Ayah saya dari Kebumen, transmigran tahun 1918," katanya. "Demi hari depan anak saya," katanya menjelaskan alasan kepindahannya ke Banjar Agung. Sampai pekan lalu rasa sedih masih tersisa di wajah sebagian penduduk. "Tapi sekarang, kami sudah bisa makan jagung muda dan daun singkong," kata Demin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus