Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK belum memutuskan status Gubernur Malut meski sudah lebih dari 24 jam ditahan.
Ada kejanggalan mutasi jabatan di lingkungan Pemprov Maluku Utara.
Sebanyak 18 orang diperiksa KPK berhubungan dengan OTT Gubernur Maluku Utara.
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba pada Senin lalu. Penangkapan ini diduga berkaitan dengan perkara dugaan jual-beli jabatan serta pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron membenarkan bahwa penangkapan Abdul Ghani tersebut berhubungan dengan jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Selain itu, "Dia diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi proyek pengadaan barang dan jasa," kata Ghufron, Selasa, 19 Desember lalu.
Tim KPK menangkap Abdul Ghani di sebuah hotel di Jakarta Selatan pada Senin lalu. Beberapa anak buah Gubernur Maluku Utara dua periode itu ikut diciduk, baik di Jakarta maupun di Maluku Utara. Sejumlah pegawai swasta juga ditangkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka lantas diboyong ke gedung KPK di Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Di antara anak buah Abdul Ghani yang ditangkap adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku Utara Imran Yakub; pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Maluku Utara, Daud Ismail; serta Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) Maluku Utara Ridwan Arsan.
Setelah anak buah Abdul Ghani ditangkap, tim KPK awalnya menitipkan mereka di rumah tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian Daerah Maluku Utara. Mereka lantas diterbangkan ke Jakarta menggunakan maskapai Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 649, Selasa kemarin.
Saat operasi penangkapan, tim KPK juga menggeledah kediaman Abdul Ghani di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Takoma, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate. Tim KPK juga menyegel ruang kerja Gubernur Abdul Ghani.
“Tim KPK saat tiba pada Senin petang langsung menyegel ruang gubernur yang berada di lantai dua,” kata seorang penjaga kediaman Gubernur Maluku Utara itu.
Sekretaris Daerah Maluku Utara Samsuddin A. Kadir membenarkan kabar bahwa tim KPK menangkap sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Namun Samsuddin berdalih tak mengetahui kasus yang menjerat mereka. “Saya tidak tahu kasusnya apa,” katanya.
Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan tim KPK masih memeriksa Abdul Ghani dan sejumlah anak buahnya di Gedung Merah Putih KPK. Ali menyebutkan 18 orang diperiksa dalam operasi tangkap tangan tersebut.
Dalam operasi penangkapan ini, kata Ali, tim KPK mengamankan sejumlah uang tunai sebagai alat bukti. Namun Ali belum dapat menyebutkan angkanya. “Jumlah uang masih terus dilakukan konfirmasi kepada pihak yang ditangkap,” kata Ali. “Perkembangan selanjutnya disampaikan besok (hari ini).”
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan jual-beli jabatan kerap terjadi di lingkungan pemerintah daerah. Jual-beli jabatan itu akan terlihat dari berbagai kejanggalan di setiap promosi jabatan.
Fickar mencontohkan kejanggalan promosi jabatan di lingkungan Pemprov Maluku Utara. Misalnya pejabat di Maluku Utara bernama Imran Yakub kembali dilantik menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara pada 10 November lalu. Padahal Imran dua kali terlibat perkara korupsi di sana.
Mengutip Direktori Putusan Mahkamah Agung, Imran dicopot dari jabatan Kepala Dinas Pendidikan Maluku Utara pada 2013 karena terlibat kasus korupsi penyalahgunaan anggaran beasiswa untuk siswa miskin sebesar Rp 14 miliar pada 2010. Dalam perkara ini, negara diduga merugi hingga Rp 200 juta.
Imran bersama dua pejabat di sana ditetapkan sebagai tersangka perkara tersebut. Di pengadilan, ia divonis bebas pada 23 Juni 2016. Setelah itu, Imran kembali dilantik menjadi Kepala Dinas Pendidikan Maluku Utara pada 2016.
Lima tahun berselang, Imran kembali tersandung kasus korupsi. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan kapal simulator Nautika Kapal Penangkap Ikan di tiga sekolah menengah kejuruan tahun anggaran 2019. Imran kembali dicopot dari jabatan Kepala Dinas Pendidikan. Di pengadilan, Imran lagi-lagi divonis bebas pada 16 Februari 2022.
Setelah vonis itu, Imran dilantik lagi menjadi Kepala Dinas Pendidikan pada 10 November 2023. Ia menggantikan Imam Makhdy yang meninggal pada 6 November lalu.
Abdul Fickar melanjutkan, Abdul Ghani dan sejumlah pejabat Pemprov Maluku Utara seharusnya otomatis menjadi tersangka meski KPK belum mengumumkan status mereka. Alasannya, KPK sudah menahan Abdul Ghani dan kawan-kawan lebih dari 24 jam.
“Bila sudah lewat waktu itu, sudah tidak terikat lagi pengertian penangkapan 1 x 24 jam,” kata Fickar.
Menurut Fickar, Abdul Ghani ada kemungkinan besar akan disangka dengan Pasal 12E Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal ini mengatur pidana penjara bagi penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Abdul Ghani Kasuba. Dok. TEMPO/Fakhri Hermansyah
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rahman, menyebutkan sejumlah tindak pidana korupsi yang sering melibatkan kepala daerah adalah lelang jabatan, pengadaan barang jasa, perizinan, dan anggaran. “Jual-beli jabatan dan pengadaan barang biasanya korupsi favorit yang dilakukan kepala daerah,” katanya.
Menurut Zaenur, ada tiga motif kepala daerah berbuat korupsi, yaitu kepala daerah bersangkutan hendak mengembalikan modal politik yang dikeluarkan saat pemilihan kepala daerah, mempersiapkan dana politik untuk pilkada berikutnya, dan menumpuk kekayaan.
Zaenur mengatakan calon kepala daerah butuh modal besar untuk berkontestasi dalam pilkada, di antaranya untuk biaya kampanye. Dana pilkada calon kepala daerah biasanya berasal dari uang sendiri ataupun meminjam kepada pihak lain. Setelah terpilih, kepala daerah yang bersangkutan akan berusaha mengembalikan biaya pilkada yang dikeluarkan tersebut dengan jalan menyalahgunakan kewenangan.
“Kepala daerah menjual kewenangan dan pengaruh ditukar dengan sejumlah uang,” kata Zaenur.
Zaenur berpendapat bahwa jual-beli jabatan semestinya tidak terjadi jika kepala daerah mengikuti mekanisme pengisian jabatan dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Namun kepala daerah terkadang mengabaikan mekanisme tersebut.
Adapun dalam pengadaan barang dan jasa di daerah, kata Zaenur, rekanan yang hendak memenangi tender terkadang harus memberikan fee hingga 13 persen dari nilai proyek. Dalam berbagai kasus, sebagian besar fee tersebut mengalir ke kepala daerah.
Peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, berpendapat bahwa salah satu faktor pendorong kepala daerah berbuat korupsi adalah harus menutupi biaya politik dalam pilkada yang mahal. Cara menutupi biaya politik itu dengan menyalahgunakan kewenangan setelah terpilih sebagai kepala daerah.
Berdasarkan riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, calon kepala daerah mengeluarkan biaya politik Rp 20-100 miliar ketika bertarung dalam pilkada. “Calon bupati atau wali kota membutuhkan biaya Rp 20-30 miliar, sedangkan calon gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar,” kata Herdiansyah, kemarin.
Herdiansyah melanjutkan, motif utama tindak pidana korupsi lelang jabatan maupun pengadaan barang dan jasa adalah politik transaksional. Kepala daerah juga kerap memperdagangkan pengaruh untuk memperoleh keuntungan. “Bisa dalam bentuk suap, gratifikasi, ataupun pemerasan,” katanya.
HENDRIK YAPUTRA | BUDHY NURGIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo