Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK Tangkap Anggota Dewan Banten
KOMISI Pemberantasan Korupsi menangkap Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten S.M. Hartono dan koleganya, pelaksana harian Badan Anggaran, Tri Satriya Santosa, pada Selasa pekan lalu. Mereka diduga menerima suap dari Direktur Utama PT Banten Global Development Ricky Tampinongkol.
Dalam operasi tangkap tangan itu, KPK menyita barang bukti uang Rp 60 juta dan US$ 11 ribu. "Komitmen yang dijanjikan itu Rp 2 miliar," kata pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji, Kamis pekan lalu.
Suap ditengarai diberikan untuk memuluskan pengesahan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Banten 2016. Di dalamnya tercantum alokasi penyertaan modal pembentukan bank pembangunan daerah Banten, yang memerlukan persetujuan DPRD. Pembentukan bank dilakukan melalui badan usaha milik daerah, PT Banten Global Development.
Rencana pembangunan itu disahkan sejak masa kepemimpinan Gubernur Banten Atut Chosiyah dan Wakil Gubernur Rano Karno. Ketika Atut resmi diberhentikan karena menjadi terdakwa kasus suap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Rano—yang menjabat pelaksana tugas Gubernur Banten—merombak jajaran direksi dan komisaris PT Banten Global Development. Salah satunya menunjuk Ricky sebagai direktur utama.
Rano Karno menyatakan siap diperiksa KPK. Dia juga menyebutkan pembentukan bank tetap dilanjutkan. "Bank Banten itu bukan keinginan saya, melainkan amanat Rencana Pembangunan," ujarnya. Pengacara Hartono, Tb. Sukatma, belum bisa dimintai tanggapan. "Kami belum membahas materi dengan klien. Pak Hartono juga masih syok," katanya.
Anggota Dewan Penikmat Suap
PENANGKAPAN anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten menambah panjang daftar wakil rakyat yang ditangkap karena menerima suap.
1. Fuad Amin Imron
2. Adam Munandar
3. Bambang Karyanto
4. Iyus Djuher
Presiden Diminta Hentikan Perkara Novel
KETUA Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Faisal meminta Presiden Joko Widodo dan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menghentikan kriminalisasi terhadap Novel Baswedan. Kamis pekan lalu, penyidik senior KPK itu hampir dijebloskan ke rumah tahanan Kepolisian Daerah Bengkulu.
"Kasus ini ada semata-mata demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Masih banyak kasus besar yang seharusnya menjadi perhatian utama kepolisian dan kejaksaan," kata Faisal.
Novel memenuhi panggilan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI untuk pelimpahan tahap II berupa penyerahan alat bukti dan tersangka kepada kejaksaan pada Kamis pekan lalu. Penyidik polisi lalu meminta Novel menandatangani berkas penahanan dan pelimpahan ke Kejaksaan Agung. Namun Novel menolak. "Tidak ada urgensinya menahan saya," ujarnya.
Pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, tak berupaya menyelamatkan Novel. "Prosedur hukum harus kami ikuti," katanya Kamis pekan lalu. Sikap Ruki bertolak belakang dengan pernyataannya pada Februari lalu, ketika Novel hendak ditahan. Saat itu dia menyatakan akan melindungi Novel. "Novel anak buah saya di KPK," ujarnya. "Kalau saya membiarkan anak buah saya, apa gunanya saya jadi pimpinan?"
Pembelian Helikopter Presiden Dibatalkan
PRESIDEN Joko Widodo menolak rencana Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara yang akan membeli tiga helikopter AgustaWestland AW101 buatan Inggris-Italia. "Presiden beranggapan heli yang ada masih bisa digunakan maksimal," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kamis pekan lalu.
Selain itu, menurut Pramono, Presiden menilai harga pembelian helikopter tersebut terlalu mahal. "Sehingga diputuskan pengadaan helikopter akan memakai hasil produksi dalam negeri," ujarnya.
TNI Angkatan Udara berencana membeli heli AgustaWestland AW101 untuk kebutuhan tamu-tamu VIP, termasuk dari negara asing, dan Presiden Joko Widodo. Rencana pembelian ini mendapat kritik dari Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso. Dia mengatakan rencana itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Industri Pertahanan, yang mewajibkan keterlibatan industri nasional dalam pengadaan alat pertahanan dan keamanan.
Gembong Narkotik Ola Divonis Mati
MAHKAMAH Agung menjatuhkan hukuman mati kepada bandar narkotik Meirika Franola alias Ola. Vonis itu diketuk pada akhir November lalu oleh majelis hakim yang terdiri atas Salman Luthan sebagai ketua serta Margono dan Sumardiyatmo sebagai anggota.
Majelis hakim menilai Ola terbukti melakukan transaksi narkotik saat berada di lembaga pemasyarakatan. Selain itu, Ola melakukan tindak pencucian uang hasil transaksi narkotik. "Dia tidak jera selama di lembaga pemasyarakatan dan malah melakukan kejahatan serupa," kata juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, Rabu pekan lalu.
Ola menjadi tersangka kembali setelah dilakukan penangkapan terhadap Nur Aisyah, yang membawa 775 gram sabu-sabu di Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung, pada Oktober 2012. Nur mengaku mendapat perintah membawa sabu-sabu dari Ola. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada Ola pada 2011. Saat itu dia dihukum mati karena mengedarkan heroin seberat 3,5 kilogram.
Pemerintah Antisipasi Teror kepada Warga Syiah
MENTERI Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menerima informasi dari kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) tentang kelompok radikal yang berencana menyerang warga Syiah. "Mereka ingin kejadian seperti Irak, Suriah, dan Yaman terjadi di Indonesia. Tentu kita tidak mau," kata Luhut, Rabu pekan lalu.
Demi keamanan, Luhut enggan menyebutkan detail lokasi kelompok minoritas yang paling terancam teror. "Ada beberapa. Jangan disebut, untuk keamanan," ujarnya. Luhut membahas potensi ancaman ini dalam rapat bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kepolisian, serta BIN.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti meminta semua masyarakat, termasuk warga Syiah, selalu waspada. Menurut dia, kabar adanya rencana teror terhadap kelompok Syiah sudah lama beredar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo