Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

14 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu jatah, Kini Voting

Memenangi pemilihan umum legislatif pada April lalu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tak otomatis menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Klausul penetapan Ketua DPR dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah diubah dan disahkan dalam sidang paripurna Dewan, Senin pekan lalu.

Sebelumnya, pasal 82 undang-undang itu menyebutkan Ketua DPR berasal dari partai politik dengan perolehan kursi terbanyak. Wakil Ketua DPR adalah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang mendapat kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Dalam revisi pasal itu disebutkan jabatan Ketua DPR diberikan kepada fraksi yang menang voting dalam sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR.

Anggota panitia khusus pembahasan RUU MD3 dari PDIP, Arif Wibowo, mengatakan, dalam dua pekan terakhir, sejumlah fraksi mendadak lebih berfokus membahas perubahan klausul ini. Padahal revisi undang-undang itu awalnya dirancang untuk penguatan lembaga Dewan. PDI Perjuangan bersama Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hati Nurani Rakyat termasuk yang tak setuju. "Rapat badan musyawarah memaksakan UU MD3 divoting di paripurna. Kami tidak bisa apa-apa," ujar Arif.

Ketua panitia khusus Benny K. Harman mengatakan usul voting muncul karena sejumlah fraksi ingin menjalankan demokrasi di DPR. Ide ini, kata Benny, didukung undang-undang. Ia merujuk pada pasal 78 undang-undang itu yang menyebutkan setiap anggota Dewan berhak memilih dan dipilih. "PDIP itu ingin karcis saja," ucap Benny.

PDI Perjuangan tak akan tinggal diam. Ketua Fraksi PDIP di DPR, Puan Maharani, menegaskan akan segera mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar klausul pemilihan pimpinan DPR dikembalikan seperti semula. "Kami memperjuangkan suara rakyat yang dititipkan ke PDI Perjuangan," katanya.

Revisi undang-undang juga mengubah ketentuan penyidikan terhadap anggota DPR, yang dimuat di pasal 220. Dalam revisi disebutkan pemanggilan terhadap anggota DPR harus seizin presiden.


Perubahan Krusial Itu

Pasal 82 ayat 1-3

1. Pimpinan DPR terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.
Ketua DPR berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR. Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Revisi:
Pimpinan DPR ditetapkan melalui proses pemilihan terhadap calon-calon yang diusulkan setiap fraksi di DPR.

Pasal 220
1. Penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden.
2. Jika persetujuan tidak diberikan dalam waktu paling lambat 30 hari, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan.
3. Ketentuan di atas tidak berlaku apabila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus.

Revisi:
Pemanggilan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan presiden.

Mantan Auditor BPK Dihukum 9 Tahun

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Gatot Supiartono, 54 tahun, pidana 9 tahun penjara. Mantan auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan ini terbukti melanggar Pasal 353 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan terencana. Putusan hakim lebih berat daripada tuntutan jaksa, yaitu empat tahun penjara.

Gatot terbukti berada di balik pembunuhan istri sirinya, Holly Angela alias Niken Hayu Winanti, 37 tahun, di kamar apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, pada 30 September 2013. Gatot meminta Surya Hakim, Abdul Latief, Ruski, Pago, dan Elriski Yudhistira memberi pelajaran kepada Holly. Elriski tewas ketika berusaha melarikan diri setelah aksi mereka tepergok warga.

Menurut majelis hakim, tidak ada bukti Gatot meminta agar Holly dibunuh. "Karena itu, unsur pasal 340 tidak terpenuhi. Terdakwa meminta korban diculik," kata ketua majelis hakim Badrun Zaini.

Wali Kota Palembang dan Istri Ditahan

Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito, pada Kamis pekan lalu. Keduanya disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 dan Pasal 65 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. "Ini penahanan untuk 20 hari pertama," kata juru bicara KPK, Johan Budi Sapto Prabowo.

Romi dan Masyito ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Juni lalu karena diduga menyuap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Melalui Masyito, Romi memberikan uang kepada Akil secara bertahap dengan jumlah total mencapai Rp 20 miliar.

Pemberian itu terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah Palembang yang memenangkan pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana. Mahkamah Konstitusi belakangan membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan Sarimuda sebagai wali kota terpilih. Ia dilantik pada Juli tahun lalu.

Dua Pengusaha Diduga Danai Obor

Kepolisian Republik Indonesia telah memeriksa dua pengusaha yang diduga mendanai penerbitan Obor Rakyat. Sebelumnya, tersangka Setiyardi Budiono mengaku mendanai sendiri tabloid itu. "Penyidik sudah memeriksa YN dan ZA, rekan Setiyardi yang mengaku sebagai pengusaha yang memberikan dana untuk penerbitan Obor Rakyat," ujar Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Ronny F. Sompie kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Menurut Ronny, Setiyardi menerima uang Rp 450 juta dari ZA, Rp 200 juta di antaranya dari YN, untuk mencetak 520 ribu eksemplar tabloid di percetakan PT Mulia Kencana Semesta (MKS), Bandung. "PT MKS mencetak, lalu diedarkan oleh PT Pos Indonesia dengan alamat tujuan yang disediakan Setiyardi," katanya.

Dua pembuat tabloid yang berisi fitnah terhadap calon presiden Joko Widodo itu, Setiyardi dan Darmawan Sepriyossa, dijerat Undang-Undang Pers karena penerbitan Obor tak dilakukan badan hukum. Keduanya hanya diancam denda maksimal Rp 100 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus