TIGA bulan sesudah Sidang Umum MPR, berbagai pernyataan kembali
muncul, di bulan Juni yang ternyata basah. Kebanyakan berkisar
tentang usaha normalisasi kampus dan rencana perubahan sistim
pendidikan yang diusulkan Menteri P dan K.
Jum'at siang pekan lalu satu pernyataan dibagikan lagi pada para
wartawan di gedung MPR/DPR. Isinya: pembentukan suatu Lembaga
Pengembangan Pengertian dan Kesadaran Berkonstitusi 1945.
Pernyataan bertanggal 30 Juni 1978 yang dimulai dengan ucapan:
Dengan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa ini ditandatangani oleh 29
orang, hampir semuanya tokoh-tokoh terkenal yang pernah
menduduki jabatan penting. Antara lain: Mohammad Hatta, A.H.
Nasution, I.J. Kasimo, Azis Saleh, Ali Sadikin, Mochtar Lubis,
Hugeng Iman Santoso. Beberapa tokoh parpol tercantum juga
sebagai penanda tangan. Dari Partai Persatuan Pembangunan:
Nuddin Lubis, Iman Sofwan dan M. Radjab Ranggasoli. Dari PDI
antara lain Sanusi Hardjadinata, Sabam Sirait dan Ny. D.
Walandouw. Ada juga nama beberapa pengusaha seperti Nasir K.
Loebis dan Wahju Kusumanegara. Tokoh generasi muda yang ikut
menandatangani antara lain Yudilherry Justam (bekas tahanan
Malari), Marsilam Simanjuntak (bekas tokoh 1966 dan juga tahanan
Malari), Chris Siner Keytimu, dan R.A.F. Mully, keduanya pemuka
mahasiswa Katolik.
Pengantar pernyataan ini -- dalam bahasa yang rupanya
menghindari kontroversi -- menyebutkan "Tekad Orde Baru yang
berintikan pelaksanaan secara murni dan konsekwen Pancasila dan
UUD 1945, juga sesuai dengan Seminar Angkatan Darat ke-II di
Bandung, perlu diperjuangkan dengan terus-menerus untuk
keberhasilan pengetrapannya dalam segala bidang kenegaraan dan
kehidupan masyarakat."
Melalui lembaga yang dibentuk itu, para penandatangan akan
menggiatkan studi, diskusi, penelitian, belajar hidup
konstitusionil dan lain-lain kegiatan yang diperlukan.
Keorganisasian dan personalia lembaga ini akan diperkembangkan
menurut keadaan dan kebutuhan. Pada tahap pertama, usaha lembaga
ini terutama di bidang idiil dan ilmiah dengan kegiatan-kegiatan
studi-klub dan publikasi.
Yayasan ini belum terbentuk. Rencananya jabatan ketua dipegang
oleh Aziz Saleh, bekas Menteri Pertanian yang sekarang giat
dalam kepramukaan, sedang calon sekretaris yayasan adalah Moh.
Radjab Ranggasoli.
"Sulit untuk mengatakan ide siapa ini," kata Nazir Karim Loebis
yang oleh Azis Saleh ditunjuk sebagai juru bicara sementara.
Terkumpulnya 29 tandatangan yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi terjadi karena sistim berantai. Tidak adanya
unsur eksekutif yang masih aktif yang diajak ikut serta karena
dikhawatirkan "menimbulkan kerepotan bagi yang bersangkutan."
Letjen Ali Sadikin bahkan dianjurkan untuk tidak ikut "masuk"
tapi bekas gubernur DKI Jaya itu bersikeras mau masuk.
Gagasan ini tampaknya muncul setelah Sidang Umum MPR 1978.
Menurut A.H. Nasution pekan lalu, "kontak-kontak pribadi sejak
sekitar sidang MPR yang lalu melahirkan hasrat sebagaimana
dinyatakan, yang berpuncak pada tangal 1 Juni 1978, ketika Bung
Hatta membubuhkan tanda tangannya atas naskah yang telah lahir
dari kontak-kontak sebelumnya." Menjelaskan tentang isi
pernyataan itu sendiri, bekas Ketua MPRS ini mengulangi kalimat
yang sering diulanginya: "Dalam kehidupan bernegara, seakan-akan
main bola, kalau 'aturan permainan' tidak tertegak, maka kita
tidak bisa "mencetak gol," kecuali dengan 'main kayu'."
Nasution dan Nazir Loebis menolak disamakannya lembaga ini
dengan Liga Demokrasi yang pernah didirikan sesudah Demokrasi
Terpimpin diumumkan tahun 1959. "Dalam proses melahirkan lembaga
ini, di antara kami tidak ada yang teringat atau yang
mengingatkan pada Liga Demokrasi dulu, yang mana dulu adalah
gabungan parpol-parpol dalam menghadapi keadaan waktu itu," kata
Nasution dalam jawaban tertulisnya.
Waspada
Tapi Sabtu pekan lalu, harian Berita Yudha menampilkan karikatur
yang menggambarkan seorang dengan "tampang" Nuddin Lubis
memegang tameng bertuliskan: Yayasan Berpolitik 1978, berjalan
menuju ke Pemilu 1982. Nampaknya melihat nama-nama di sana, yang
sering dinilai sebagai "oposisi", harian yang dipimpin kalangan
ABRI itu mensinyalir sesuatu yang "berbau politik di Yayasan
itu.
Nuddin Lubis sendiri hanya tertawa ketika diminta komentarnya.
Ia lalu mengutip ucapan Roeslan Abdulgani dalam ceramahnya di
depan kader-kader Soksi pekan lalu: "kita memang harus waspada,
tapi janganlah curiga."
Penjelasan lain datang pula. "Kehadiran lembaga ini tidak
dimaksudkan untuk mengeritik pemerintah," kata M. Nazir (68
tahun), Laksamana (Purnawirawan) bekas KSAL pertama dan bekas
Menteri Perhubungan. Tujuan lembaga ini adalah untuk mendidik
masyakat dalam bernegara, berkonstitusi dan tidak menyimpang
dari garis-garis yang benar. "Kalau orang sehat, jujur dan
mempunyai cita-cita yang murni, mustinya girang dengan adanya
lembaga ini," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini