PELANTIKAN rektor baru di Universitas Indonesia mirip sebuan
tontonan. Sejumlah mahasiswa yang hadir meramaikan upacara (15
Januari) tersebut dengan cara mereka: teriakan tak simpati, dan
pemaparan spanduk bertulisan "Jangan nodai kampus kami dengan
sepatu lars." Di aula Fak. Kedokteran UI, Dirjen Pendidikan
Tinggi melantik Prof. Dr. Nugroho Notosusanto sebagai rektor
baru. Ia menggantikan Prof. Dr. Mahar Mardjono.
Alhamdulillah, semua berjalan lancar, singkat, tanpa insiden.
Terutama karena rektor baru, bersama rektor lama dan para
Pembantu Rektor (Purek) I dan II mengabulkan permintaan
mahasiswa untuk "mengadakan upacara sendiri." Juga karena,
mungkin, Ul yang mempunyai 12.500 mahasiswa lagi libur. Semester
11 baru dimulai 25 Januari.
Dalam upacara sendiri itu mahasiswa meminta "kebebasan
mengutarakan pendapat, adanya suatu kebebasan berorganisasi "
Dan khusus dipesankan -tugas pertama rektor baru -- untuk "Purek
111, yang mengurus bidang kemahasiswaan, agar ditunjuk dosen
yang dekat dengan mahasiswa, dekat dalam aspirasinya."
Akhirnya, yang ditunggu-tunggu pun tampil. Dengan kalem Nugroho
Notosusanto berdiri sembari membenarkan letak kacamatanya. Di
luar dugaan mahasiswa barangkali, pidato pertama Rektor UI ke-9
ini santai. Sempat pula ia memancing tawa para mahasiswa. "Semua
perilaku mahasiswa saya sudah tahu," katanya. Tokoh ini
pengarang buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, yang
tahun lalu ramai didiskusikan (lihat box). "Mungkin ini satu
pembalasan. Saya dulu juga menganggap saya ?emlmpm mahasiswa.'
Ia membaca spanduk yang ber-"sepatu lars" itu. Komentarnya:
"Tidak hanya ABRI bisa masuk kampus. Kampus pun bisa masuk ABRB"
Dan mahasiswa bersorak.
Nugroho yang berstelan jas biru gelap itu berpesan agar
mahasiswa sebelum mengambil sikap meneliti dahulu persoalannya.
Ia menganggap mahasiswa itu sudah dewasa, bukan anak kecil lag.
Jadi, "kalau melakukan sesuatu, mahasiswa harus mau menerima
konsekuensinya. Jangan menangis." Beberapa kali sempat terdengar
ledakan mercun dari arah kursi hadirin. Tapi semua bersikap
seolah-olah tak ada apa-apa.
Sehari sebelum pelantikannya, Nugroho, yang masih menjabat
Kepala Pusat Sejarah ABRI, kepada TEMPO mengakui tugas barunya
di Ul cukup berat. "Tapi saya menerimanya. Siapa tidak senang
menjadi pimpinan tertinggi almamaternya sendiri," kata Guru
Besar Fak. Sastra UI ini.
Surat Keputusan Presiden baru diterimanya tiga hari sebelum
pelantikannya pekan lalu. Agaknya jauh hari sebelumnya satu
konsep tentang missi umversitas telah disusunnya.
Baginya perguruan tinggi haruslah bersuara ilmiah. Ia berbicara
tentang transpolitisasi UI. "Itu bukan depolitisasi." Seorang
sarjana harus tahu politik, katanya, tapi jangan politickin,
"atau istilah Indonesianya politik praktis, meski istilah itu
kurang tepat." Bila mahasiswa ingin berpolitik praktis, "ya,
jangan atas nama kampus."
Bersama Emil Salim, tahun 50-an, ia membentuk Dewan Mahasiswa
karena kampus "diterjang kegiatan politik yang luar biasa."
Dibentuknya DM, kata Nugroho pula, justru untuk menyatukan
mahasiswa. "Jadi sayalah seharusnya yang paling tak setuju
dihapuskannya DM."
Nugroho tak keberatan bila kekuatan politik "menitipkan"
kadernya di kampus. "Tapi mohon kader itu ditunggu sampai
matang. Akan saya masakkan kader itu."
Tapi bagaimana dengan dalih yane biasanya diajukan, bahwa
mahasiswa yang tak berpihak itu menyuarakan kritik sosial tanpa
pamrih. Dengan kata lain, mahasiswa merupakan kekuatan moral.
"Lho, mereka 'kan belum diuji, kok bilang moral force,"
sahutnya. "Jangan-jangan nanti baru lulus lantas korupsi."
Nanti, katanya, dia akan banvak bertumpu pada Senat Guru
Besar(SGB), otoritas tertinggi yang mendampingi rektor dalam
bidang ilmiah. Kesulitan ,yang dibayangkannya ialah
mengumpulkan 53 Guru Besar Tetap UI.
Praktis dan Efisien
Rektor lama, Mahar Mardjono, konon pernah mencoba mengadakan
pertemuan rutin dengan SGB. "Susah, yang datang sedikit,"
katanya. Kebanyakan Guru Besar mempunyai jabatan di
pemerintahan. Maka dia lebih suka sering berbicara dengan Senat
Akademis (terdiri dari para dekan, pembantu dekan dan direktur
lembaga), yang gampang dikumpulkan.
Soal dosen, yang jarang muncul di kampus, Nugroho pun paham.
"Gaji dosen itu memang kurang. Tapi pendidikan itu 'kan bukan
tugas bayaran," katanya.
Nugroho secara jujur bercerita, bahwa jabatan rektor Ul telah
ditawarkan kepadanya sekitar 3 tahun lalu. "Saya tolak dengan
ucapan terimakasih," katanya. "Sebab waktu itu Pak Mahar masih
menjabat, dan saya pendukung beliau, Iho." Baru Desember 1980,
ketika jabatan Mahar tinggal setahun, Nugroho yang sekali lagi
diminta oleh sejumlah rekannya -- sesama pengajar UI yang
memegang jabatan di pemerintahan--ia menyatakan sanggu?. Bahkan
Menteri P&K, Dr. Daoed Joesoef--kebetulan teman seangkatan
Nugroho di SMA di Yogyakarta -- memanggilnya dan memintanya pula
menjadi rektor UI.
Adapun SGB UI, menurut satu sumber, Agustus tahun lalu
mengadakan rapat dan mencalonkan Prof. Dr. Harsja Bachtiar,
Prof. Dr. Sujudi di samping Nugroho sebagai calon rektor. Harsja
mengundurkan diri, karena ia belum lama, Maret 1981, menjabat
Dekan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian. Tinggal dua calon,
Sujudi, yang menjabat Pembantu Rektor I dan Nugroho. Sujudi
didukung kuat oleh Fak. Kedokteran dan beberapa fakultas lain,
sedang Nugroho dicalonkan oleh Fak. Ekonomi terutama.
Kenapa Fak. Ekonomi justru mencalonkan Nugroho dari Fak. Sastra?
"Banyak pertimbangannya," kata Menteri PPLH Emil Salim, yang
juga Guru Besar Fak. Ekonomi UI itu. "Ada alasan akademis. Ada
pula alasan bahwa Pak Nugroho bekas aktivis mahasiswa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini