Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Rektor Baru Dengan Sepatu Lars?

Pelantikan prof.dr. Nugroho Notosusanto sebagai rektor UI, menggantikan prof.dr. Mahar Marjono. Jabatan itu ditawarkan kepada Nugroho 3 tahun lalu. (pdk)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELANTIKAN rektor baru di Universitas Indonesia mirip sebuan tontonan. Sejumlah mahasiswa yang hadir meramaikan upacara (15 Januari) tersebut dengan cara mereka: teriakan tak simpati, dan pemaparan spanduk bertulisan "Jangan nodai kampus kami dengan sepatu lars." Di aula Fak. Kedokteran UI, Dirjen Pendidikan Tinggi melantik Prof. Dr. Nugroho Notosusanto sebagai rektor baru. Ia menggantikan Prof. Dr. Mahar Mardjono. Alhamdulillah, semua berjalan lancar, singkat, tanpa insiden. Terutama karena rektor baru, bersama rektor lama dan para Pembantu Rektor (Purek) I dan II mengabulkan permintaan mahasiswa untuk "mengadakan upacara sendiri." Juga karena, mungkin, Ul yang mempunyai 12.500 mahasiswa lagi libur. Semester 11 baru dimulai 25 Januari. Dalam upacara sendiri itu mahasiswa meminta "kebebasan mengutarakan pendapat, adanya suatu kebebasan berorganisasi " Dan khusus dipesankan -tugas pertama rektor baru -- untuk "Purek 111, yang mengurus bidang kemahasiswaan, agar ditunjuk dosen yang dekat dengan mahasiswa, dekat dalam aspirasinya." Akhirnya, yang ditunggu-tunggu pun tampil. Dengan kalem Nugroho Notosusanto berdiri sembari membenarkan letak kacamatanya. Di luar dugaan mahasiswa barangkali, pidato pertama Rektor UI ke-9 ini santai. Sempat pula ia memancing tawa para mahasiswa. "Semua perilaku mahasiswa saya sudah tahu," katanya. Tokoh ini pengarang buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, yang tahun lalu ramai didiskusikan (lihat box). "Mungkin ini satu pembalasan. Saya dulu juga menganggap saya ?emlmpm mahasiswa.' Ia membaca spanduk yang ber-"sepatu lars" itu. Komentarnya: "Tidak hanya ABRI bisa masuk kampus. Kampus pun bisa masuk ABRB" Dan mahasiswa bersorak. Nugroho yang berstelan jas biru gelap itu berpesan agar mahasiswa sebelum mengambil sikap meneliti dahulu persoalannya. Ia menganggap mahasiswa itu sudah dewasa, bukan anak kecil lag. Jadi, "kalau melakukan sesuatu, mahasiswa harus mau menerima konsekuensinya. Jangan menangis." Beberapa kali sempat terdengar ledakan mercun dari arah kursi hadirin. Tapi semua bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Sehari sebelum pelantikannya, Nugroho, yang masih menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI, kepada TEMPO mengakui tugas barunya di Ul cukup berat. "Tapi saya menerimanya. Siapa tidak senang menjadi pimpinan tertinggi almamaternya sendiri," kata Guru Besar Fak. Sastra UI ini. Surat Keputusan Presiden baru diterimanya tiga hari sebelum pelantikannya pekan lalu. Agaknya jauh hari sebelumnya satu konsep tentang missi umversitas telah disusunnya. Baginya perguruan tinggi haruslah bersuara ilmiah. Ia berbicara tentang transpolitisasi UI. "Itu bukan depolitisasi." Seorang sarjana harus tahu politik, katanya, tapi jangan politickin, "atau istilah Indonesianya politik praktis, meski istilah itu kurang tepat." Bila mahasiswa ingin berpolitik praktis, "ya, jangan atas nama kampus." Bersama Emil Salim, tahun 50-an, ia membentuk Dewan Mahasiswa karena kampus "diterjang kegiatan politik yang luar biasa." Dibentuknya DM, kata Nugroho pula, justru untuk menyatukan mahasiswa. "Jadi sayalah seharusnya yang paling tak setuju dihapuskannya DM." Nugroho tak keberatan bila kekuatan politik "menitipkan" kadernya di kampus. "Tapi mohon kader itu ditunggu sampai matang. Akan saya masakkan kader itu." Tapi bagaimana dengan dalih yane biasanya diajukan, bahwa mahasiswa yang tak berpihak itu menyuarakan kritik sosial tanpa pamrih. Dengan kata lain, mahasiswa merupakan kekuatan moral. "Lho, mereka 'kan belum diuji, kok bilang moral force," sahutnya. "Jangan-jangan nanti baru lulus lantas korupsi." Nanti, katanya, dia akan banvak bertumpu pada Senat Guru Besar(SGB), otoritas tertinggi yang mendampingi rektor dalam bidang ilmiah. Kesulitan ,yang dibayangkannya ialah mengumpulkan 53 Guru Besar Tetap UI. Praktis dan Efisien Rektor lama, Mahar Mardjono, konon pernah mencoba mengadakan pertemuan rutin dengan SGB. "Susah, yang datang sedikit," katanya. Kebanyakan Guru Besar mempunyai jabatan di pemerintahan. Maka dia lebih suka sering berbicara dengan Senat Akademis (terdiri dari para dekan, pembantu dekan dan direktur lembaga), yang gampang dikumpulkan. Soal dosen, yang jarang muncul di kampus, Nugroho pun paham. "Gaji dosen itu memang kurang. Tapi pendidikan itu 'kan bukan tugas bayaran," katanya. Nugroho secara jujur bercerita, bahwa jabatan rektor Ul telah ditawarkan kepadanya sekitar 3 tahun lalu. "Saya tolak dengan ucapan terimakasih," katanya. "Sebab waktu itu Pak Mahar masih menjabat, dan saya pendukung beliau, Iho." Baru Desember 1980, ketika jabatan Mahar tinggal setahun, Nugroho yang sekali lagi diminta oleh sejumlah rekannya -- sesama pengajar UI yang memegang jabatan di pemerintahan--ia menyatakan sanggu?. Bahkan Menteri P&K, Dr. Daoed Joesoef--kebetulan teman seangkatan Nugroho di SMA di Yogyakarta -- memanggilnya dan memintanya pula menjadi rektor UI. Adapun SGB UI, menurut satu sumber, Agustus tahun lalu mengadakan rapat dan mencalonkan Prof. Dr. Harsja Bachtiar, Prof. Dr. Sujudi di samping Nugroho sebagai calon rektor. Harsja mengundurkan diri, karena ia belum lama, Maret 1981, menjabat Dekan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian. Tinggal dua calon, Sujudi, yang menjabat Pembantu Rektor I dan Nugroho. Sujudi didukung kuat oleh Fak. Kedokteran dan beberapa fakultas lain, sedang Nugroho dicalonkan oleh Fak. Ekonomi terutama. Kenapa Fak. Ekonomi justru mencalonkan Nugroho dari Fak. Sastra? "Banyak pertimbangannya," kata Menteri PPLH Emil Salim, yang juga Guru Besar Fak. Ekonomi UI itu. "Ada alasan akademis. Ada pula alasan bahwa Pak Nugroho bekas aktivis mahasiswa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus