Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mandek di DPR.
Komisi Informasi DPR masih membahas RUU Penyiaran dan RUU Perlindungan Data Pribadi.
UU ITE dianggap sudah usang dan tak menjawab persoalan aktual.
SUDAH lebih dari tiga bulan pemerintah mengirimkan naskah akademik dan draf revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Namun rancangan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 itu tak kunjung dibahas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua Komisi Informasi DPR Abdul Kharis Almasyari mengatakan hingga kini pimpinan Dewan belum juga menugasi komisinya untuk membahas revisi UU ITE. “Kami belum menerima penugasan dari Badan Musyawarah,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini kepada Tempo, Kamis, 7 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi Informasi DPR dari Fraksi Partai NasDem, Muhammad Farhan, mengatakan revisi UU ITE belum berjalan lantaran RUU Penyiaran dan RUU Perlindungan Data Pribadi belum rampung dibahas. Dua RUU itu sama-sama melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Komisi Informasi. Adapun setiap alat kelengkapan Dewan hanya boleh membahas dua RUU secara bersamaan.
Farhan mengaku mendengar informasi bahwa pimpinan Dewan sudah berdiskusi dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly ihwal kelanjutan revisi UU ITE. Dari konsultasi itu, Dewan meminta pemerintah memilih mana yang menjadi prioritas di antara RUU Perlindungan Data Pribadi dan RUU ITE.
“Karena dua RUU itu usulan pemerintah. Berat kalau membahas lebih dari dua rancangan undang-undang,” tutur Farhan kepada Tempo, Jumat, 8 April lalu. Mahfud, Yasonna, ataupun Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan Lodewijk Freidrich Paulus tak merespons pertanyaan Tempo.
Revisi UU ITE yang diajukan pemerintah menyangkut sejumlah pasal pemidanaan, seperti pencemaran nama, ujaran kebencian, dan kabar bohong. Perubahan itu dicanangkan setelah Presiden Joko Widodo pada Februari 2021 mengakui adanya pasal-pasal karet yang multitafsir dan dianggap menimbulkan ketidakadilan.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) mencatat ada 38 korban UU ITE pada 2021. Sepuluh orang di antaranya aktivis. Mereka dijerat dengan pasal 27 ayat 3 yang mengatur pencemaran nama. (Baca: Korban Arisan Pasal Karet)
Idealnya Undang-Undang ITE direvisi secara menyeluruh, bukan hanya soal pemidanaan. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan aturan itu harus dibongkar karena sesak masalah. “UU ITE sudah usang, tidak bisa menjawab kebutuhan aktual,” ujar Wahyudi kepada Tempo, Kamis, 7 April lalu.
Wahyudi mencontohkan, Pasal 40 ayat 2b UU ITE tentang prosedur pembatasan konten yang mutlak menjadi wewenang pemerintah. Klausul ini problematis karena tak detail mengatur jenis-jenis konten yang melanggar. Pun tak ada mekanisme pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut.
Di tengah mandeknya proses revisi UU ITE, pemerintah justru menggodok aturan yang berpotensi kian mengerangkeng kebebasan berekspresi, yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah Penerimaan Negara Bukan Pajak tentang Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dengan aturan tersebut, mata gergaji pemerintah bakal lebih tajam. Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang tak menghapus konten terlarang bisa diberi sanksi. Jumlahnya bervariasi, dari puluhan juta hingga belasan miliar rupiah. “Pembatasan konten termasuk pembatasan hak asasi manusia, seharusnya diatur dalam undang-undang,” kata Wahyudi.
Pendiri Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono—pernah menjadi korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)—mengatakan pemerintah dan DPR harus segera merevisi aturan itu dan menghilangkan berbagai pasal bermasalah, seperti pencemaran nama dan penyebaran kebencian. “Itu sudah diatur di KUHP dan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” ujar Dandhy.
AGUNG SEDAYU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo