Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan media sosial bisa dikenai denda miliaran rupiah jika tak menghapus konten bermasalah.
Waktu yang diberikan untuk menghapus konten bermasalah terlalu singkat.
Duta Besar Amerika untuk Indonesia mengingatkan pemerintah soal aturan baru tersebut.
SURAT setebal 20 halaman dari United States-ASEAN Business Council dikirim ke kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika pada pertengahan Maret lalu. Ditandatangani oleh Wakil Presiden Senior sekaligus Direktur Pelaksana Regional lembaga itu, Michael W. Michalak, surat tersebut mempersoalkan berbagai rencana pengaturan konten di platform digital seperti media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerja kreatif mengunggah konten videol di studio perusahaan rintisan digital, di Malang, Jawa Timur, Oktober 2021. ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengaturan itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak di Kementerian Komunikasi. Dalam rancangan itu, pemerintah akan mewajibkan platform media sosial membayar denda jika tak segera menghapus konten yang dianggap bermasalah dan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menteri Komunikasi Johnny Gerard Plate membenarkan adanya surat dari kelompok advokasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan perdagangan antara Amerika Serikat dan negara-negara anggota ASEAN itu. “Rekomendasi itu sudah dibahas bersama penyelenggara sistem elektronik di dalam dan luar negeri,” ujar Plate melalui keterangan tertulis pada Jumat, 8 April lalu.
Salinan surat dari US-ASEAN Business Council yang diperoleh Tempo menyebutkan bahwa salah satu yang dianggap memberatkan adalah nilai denda untuk platform digital. Nilai denda itu ditentukan antara lain oleh jenis perusahaan, jumlah pengguna, dan jenis konten bermasalah.
Perusahaan mikro—memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 50 juta atau angka penjualan tahunan maksimal Rp 300 juta—dengan pengguna kurang dari 1 juta orang yang memuat konten bermasalah bisa didenda hingga Rp 25 juta. Sedangkan perusahaan yang memiliki lebih dari 100 juta pengguna bisa didenda ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Nilai denda akan berlipat jika perusahaan tak segera menghapus konten seturut dengan permintaan Kementerian Komunikasi. Adapun platform digital wajib menghilangkan konten yang masuk kategori “mendesak untuk dihapus”—menyangkut terorisme, pornografi anak, serta substansi yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum—dalam waktu empat jam.
Waktu yang singkat akan membuat platform penyelenggara sistem elektronik kelabakan memverifikasi konten yang dinyatakan bermasalah. Apalagi ada perbedaan waktu antara Indonesia dan lokasi perusahaan penyedia jasa sistem elektronik.
Dalam surat yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi Mira Tayyiba itu, Michael W. Michalak mengatakan denda yang terlalu tinggi akan memberatkan dunia usaha. Juga menghambat pertumbuhan ekonomi digital. US-ASEAN Business Council juga mempersoalkan definisi pelanggaran yang dianggap terlalu luas.
Michalak tidak merespons permintaan wawancara yang dikirim Tempo ke alamat surat elektroniknya. Perwakilan US-ASEAN Business Council di Indonesia, Steven Gunawan, juga tidak menanggapi pesan dan tak mengangkat panggilan telepon Tempo.
Protes tidak hanya dilayangkan oleh US-ASEAN Business Council. Asia Internet Coalition atau AIC, asosiasi industri perusahaan teknologi dan Internet di Asia, juga meminta supaya sanksi untuk penyelenggara sistem informasi elektronik memperhatikan prinsip kewajaran.
“Disertai dengan alasan yang jelas dan adanya proses banding jika terjadi perbedaan penafsiran,” kata Direktur Utama AIC Jeff Paine melalui pernyataan yang dikirimkan kepada Tempo pada Rabu, 6 April lalu. AIC beranggotakan sejumlah perusahaan Internet dan media sosial besar, seperti Google, Meta Platforms Inc, dan Twitter.
Jika peraturan soal denda itu diberlakukan, perusahaan Internet dan media sosial tentu akan sangat terkena dampak. Jeff Paine berharap ada proses konsultasi yang komprehensif dengan perusahaan platform digital sebelum aturan itu diberlakukan. “Sehingga industri dan pemerintah dapat bekerja sama,” ujarnya.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RPP PNBP) di Kementerian Komunikasi dibahas oleh institusi itu bersama Kementerian Keuangan. Aturan itu menjadi payung hukum pemberlakuan sanksi administratif terhadap penyelenggara sistem elektronik.
Aturan itu sekaligus melengkapi Peraturan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Peraturan tersebut menjadi dasar penentuan jenis pelanggaran. Namun peraturan Menkominfo tersebut belum mengatur soal mekanisme denda.
Seperti RPP PNBP di Kementerian Komunikasi, peraturan Menkominfo tersebut dianggap sarat masalah karena definisi pelanggaran yang diatur di dalamnya terlalu luas. Misalnya informasi atau dokumen elektronik dilarang dimuat atau disebarluaskan jika mengandung konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate (kiri) saat menghadiri acara Forum Ekonomi Digital Kominfo IV, di Jakarta, 4 April 2022. ANTARA/Muhammad Adimaja
Pasal itu dianggap mengancam kebebasan berekspresi. Pun peraturan Menkominfo tersebut mengatur hampir semua bidang penyelenggara sistem elektronik, dari aplikasi marketplace, mesin pencari, hingga media sosial.
Rancangan peraturan pemerintah yang sedang digodok Kementerian Komunikasi dan Kementerian Keuangan telah dibicarakan dengan sejumlah perwakilan platform digital. Pada Senin hingga Rabu, 21-23 Maret lalu, misalnya, Kementerian Komunikasi mengundang belasan perusahaan platform digital di sebuah hotel di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perusahaan itu antara lain Google Indonesia, Facebook Indonesia, Twitter, Telegram, TikTok Indonesia, Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee International Indonesia. Berbagai perwakilan perusahaan yang dihubungi Tempo, seperti Google Indonesia dan Facebook Indonesia, menolak berkomentar tentang isi pertemuan tersebut.
Ketua Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat Meutya Viada Hafid mengaku mendapat keluhan dari perwakilan perusahaan platform digital. Menurut dia, perwakilan platform digital itu menilai aturan tersebut bakal menyulitkan perusahaan platform digital karena denda yang terlalu besar. “Industri digital akan sulit tumbuh,” kata Meutya.
Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, ekonomi digital kian tumbuh saat masa pandemi Covid-19. Pada 2020, ekonomi digital berkontribusi terhadap 4 persen produk domestik bruto. Sedangkan kajian Google, Temasek, dan Bain & Co menunjukkan ada 21 juta pengguna baru layanan digital pada 2021.
Meutya juga mempersoalkan ketiadaan parameter yang digunakan untuk mengukur konten bermasalah. Ia khawatir aturan itu akan menjadi pintu yang membuka represi terhadap kebebasan berekspresi di media sosial. “Jangan sampai ada potensi fraud akibat pemberlakuan denda yang parameternya tidak jelas,” tuturnya.
•••
BUKAN hanya kalangan industri digital, kelompok masyarakat sipil juga ikut resah dengan keberadaan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Direktur Southeast Asia Freedom of Expression (Safenet), Damar Juniarto, menilai aturan itu bisa ikut memberangus kelompok sipil.
Ia menjelaskan, ada berbagai pasal karet dalam Peraturan Menteri Komunikasi tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, yang menjadi acuan penentuan jenis pelanggaran. Misalnya pasal mengenai konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum bisa ditafsirkan beragam.
“Ini pasal karet. Tidak ada ukuran dan standar untuk mengukur makna meresahkan dan mengganggu tersebut,” ucap Damar. Masalahnya, penentuan konten bermasalah hanya bisa dilakukan oleh pemerintah secara sepihak. Sangat mungkin pemerintah menargetkan individu atau kelompok yang gencar menyampaikan kritik.
Menurut Damar, saat ini pemerintah cenderung antikritik dan kerap melabeli iktirad di media sosial sebagai hoaks alias kabar bohong. Dia mencontohkan, pada Oktober 2020, Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis mengeluarkan telegram rahasia yang memerintahkan patroli siber untuk menyisir konten media sosial yang mengkritik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law.
“Padahal rakyat berhak mengkritik aturan yang dianggap melanggar hak mereka. Itu saja sudah dilarang dan bisa dijerat Undang-Undang ITE,” kata Damar.
Derasnya serangan terhadap pengkritik pemerintah pun berpotensi membuat publik takut berpendapat. Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 11-21 Februari lalu menunjukkan 62,9 persen dari 1.200 responden makin takut mengeluarkan pendapat. Dua tahun lalu, survei serupa menunjukkan 69 persen responden sepakat bahwa masyarakat takut berpendapat.
Damar juga menilai tingginya nilai denda ikut membuat ruang ekspresi publik lebih terbatas. Sebab, penyedia platform digital akan melakukan sensor internal terhadap konten yang berpotensi bermasalah. Termasuk menambahkan algoritma berisi kata-kata kunci yang berpotensi dianggap melanggar oleh pemerintah. “Bisa terjadi over-censorship,” tuturnya.
Aturan terkait dengan ancaman denda tinggi terhadap platform digital juga diterapkan oleh sejumlah negara. Salah satunya Jerman, yang menerapkan Network Enforcement Act (NetzDG), undang-undang terkait dengan ujaran kebencian.
NetzDG mewajibkan penyedia platform digital menghapus konten yang dianggap bermasalah dalam waktu 24 jam hingga 7 hari untuk kasus yang rumit. Platform media sosial yang melanggar akan dikenai denda 50 juta euro. Aturan itu menuai kritik karena menyebabkan platform media sosial di Jerman melakukan penyensoran berlebihan.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan saat ini tidak ada mekanisme banding terhadap keputusan soal konten bermasalah. “Lantas bagaimana kita bisa memastikan tak ada penyalahgunaan kekuasaan dalam penerapan aturan tersebut?” katanya.
Wahyudi meminta pemerintah tak buru-buru menetapkan Peraturan Pemerintah tentang PNBP di Kementerian Komunikasi. Ia mengingatkan, pemerintah perlu merevisi lebih dulu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan aturan turunannya sebelum memberlakukan denda untuk penyedia platform digital. Hingga sekarang, pemerintah dan DPR tak kunjung membahas revisi UU ITE.
•••
RENCANA penerapan denda terhadap penyedia platform digital menjadi perhatian pemerintah Amerika Serikat. Akhir Maret lalu, Duta Besar Amerika Sung Y. Kim menemui Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate. Pejabat yang mengetahui isi pertemuan itu bercerita, pemerintah diingatkan agar tak membuat aturan yang tak ramah untuk investor.
Menteri Plate mengakui adanya pertemuan yang diselenggarakan pada Senin, 28 Maret lalu, itu. Menurut dia, pertemuan itu bertujuan membicarakan hubungan bilateral Indonesia dan Amerika di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Termasuk mekanisme tata kelola data yang dapat diterima secara multilateral dan bilateral oleh berbagai negara.
“Diskusi tersebut berkaitan dengan diangkatnya isu Data Free Flow with Trust and Cross-Border Data Flow pada Presidensi G20 tahun ini,” ujar Plate. Ia membantah anggapan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang kurang ramah investasi bagi perusahaan platform digital.
Politikus Partai NasDem ini mengklaim penerapan denda administratif bertujuan meningkatkan ekosistem digital yang bersih dan produktif, termasuk di media sosial. “Kami secara terbuka mendiskusikan masukan yang disampaikan oleh PSE (penyelenggara sistem elektronik) dan pihak terkait lain,” katanya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI, HUSSEIN ABRI DONGORAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo