BENTENG peninggalan Belanda di tengah Kota Yogyakarta itu, di sebelah Selatan Pasar Beringharjo, tetap muram. Pemugaran yang dimulai Juli 1981 belum setengahnya selesai. Hanya pagar tembok keliling setinggi sekitar lima meter awal Agustus ini dikapur putih, untuk menyambut Festival Film Indonesia di Yogyakarta yang usai pekan lalu. Sementara itu, di dalam benteng, rumput dan ilalang tumbuh meliar. Mungkin pemandangan tak sedap itu segera berubah. Presiden Soeharto, Rabu pekan lalu, memutuskan bahwa pemugaran benteng itu dialihkan kepada Menteri P & K Nugroho Notosusanto. Tim pemugaran sekarang, yang diketuai oleh Ki Suratman dari Yyasan Budaya Nusantara, dinilai Presiden "sudah diberi kesempatan tapi tak mampu". Pada mulanya, akhir 1970-an, muncul gagasan di kalangan seniman Yogyakarta untuk menjadikan bekas benteng Belanda yang dibangun pada abad XVIII itu sebagai pusat kebudayaan Yogya. Gagasan disambut baik oleh yang menempati benteng, yakni pihak ABRI. Urusan pun lancar setelah Bagong Kussudiardjo, salah seorang tokoh seniman Yogya, bersama Pangkowilhan II, waktu itu Letnan Jenderal Widjojo Sujono, menghadap Presiden. Menurut Bagong, Presiden setuju membantu gagasan mulia itu dengan Banpres sebesar Rp 2 milyar. Tahap pertama, akan didrop Rp 500 juta dulu. Tapi rupanya sejak dari pengedropan dana pertama itulah kerja Panitia Pemugaran, terdiri dari unsur Yayasan Budaya Nusantara dan Departemen P & K, tersendat. Oktober 1980, pihak Sekretariat Negara sudah menyetujui untuk mencairkan sebagian dana yakni Rp 300 juta. Repotnya, uang sebesar itu tak bisa digunakan segera. "Waktu itu gambar rencana pemugaran belum selesai," tutur Soerjosoesanto, bendaharawan Proyek Pemugaran hingga Mei 1983. Maka. agar tampak ada kerja, dilakukanlah pembelian peralatan terlebih dahulu. Misalnya, beli mobil untuk transportasi, beli sound system untuk mengisi gedung nantinya, dan alat pemotong rumput. Pemugaran pun baru dimulai Agustus 1981. Tapi, September tahun lalu, pemugaran macet. Pihak kontraktor, Biro Teknik Dewi, menghentikan semua kegiatan. Gampag ditebak, yang jadi biang kemacetan yakni pembayaran kepada kontraktor ternyata seret. Ini dimulai menjelang akhir 1982. Dan sebabnya, pihak Sekretariat Negara tak bersedia mencairkan sisa dana pertama, Rp 200 juta. Sebab, laporan pertanggungjawaban pengeluaran dana kurang lengkap. "Kebanyakan karena kuitansi tak lengkap, lalu ada pula kuitansi yang belum saya teken," tutur Soerjosoesanto, 57, bendahara dan kepala keuangan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen P & , yang diperbantukan ke Panitia Proyek Pemugaran. Soerjosoesanto mengaku bersalah. "Tapi semua pengeluaran dapat dipertanggungjawabkan, dan saya merasa tak melakukan kecurangan," katanya. Menurut Soerjo, uang yang belum bisa dipertanggungjawabkan cukup besar. Yakni, lebih dari Rp 00 juta dari dana Rp 300 juta. Mengapa itu bisa terjadi? "Ya, itu tadi, kurang teliti dan kurang tertib," katanya. Sementara itu, sampai Minggu lalu, Ki Suratman belum tahu bahwa ada pengalihan panitia pemugaran Benteng Vredeburg dari dia ke tangan Menteri P & K. "Tapi itu bukan soal prinsip," katanya. "Dulu saya diangkat Pak Harto, pengganti saya juga diangkat oleh Pak Harto. Asal pemugaran selesai dengan sukses." Menyinggung soal pertanggungjawaban keuangan, ia menolak bicara. "Tapi saya tetap bersedia mempertanggungjawabkannya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini