EMPAT atau lima tahun yang lalu, istri seorang pegawai tinggi pemerintah marah-marah pada suaminya. Pasalnya, ketika mereka berbelanja di sebuah department store, si suami menolak masuk. Suami ini lebih suka menunggu di pintu, sambil membawa tasbihnya, untuk terus berzikir, menyebut Allah. Kini, sang istri sudah bisa menerima perubahan perilaku suaminya. Mengapa? Karena dilihatnya, makin banyak pengikut tasawuf. Suaminya bukan berperilaku aneh lagi, di matanya. Memang, belum ada penelitian atau survei yang membuktikan bahwa di Jakarta, dan kota-kota besar lain, tasawuf makin kebanjiran peminat. Namun, sebagaimana diceritakan di bagian pertama Laporan Utama tentang tasawuf ini, pada kenyataannya memang bertambah para peminat tasawuf: dalam kelompok tarekat-tarekat yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu, sampai di kampus-kampus. Mungkinkah gejala itu bisa dikaitkan dengan sejarah lahirnya sufi dan tasawuf? Ketika beragama menjadi sangat formal dan kering, orang pun mencari hakikat beragama, kerinduan terhadap Yang Satu? Beberapa sumber yang diwawancarai TEMPO cenderung mengatakan begitu. Namun, memang tetap harus diingat, banyak jalan menuju makrifat, dan banyak sebab orang mencari keteduhan rohani. Tentu saja, paling sah adalah pengalaman para penganut tasawuf itu sendiri. Tak mudah menggali pengalaman dari mereka. Umumnya, mereka menolak menceritakan pengalaman itu. Mungkin, itu memang milik mereka pribadi yang tak perlu dipamerkan. Namun, ada yang mengatakan bahwa guru mereka melarang menceritakan hal-hal yang mereka alami dalam mempelajari tasawuf. Toh, dua-tiga sumber bersedia mengisahkan upayanya mencari makrifat. Salah satunya, salah seorang penyair terbaik kita, Sutardji Calzoum Bachri. Sudah sejak Sutardji dengan sajak-sajaknya awalnya yang konon berniat membebaskan kata dari maknanya, ada yang mensinyalir kuatnya bau religius di situ. Pengalaman para pelaku inilah yang kami kisahkan di bagian III. Dan, untuk melengkapi Laporan Utama ini, dicoba juga memprofilkan beberapa tarekat yang besar pengikutnya. Antara lain, Naqsabandiyah yang pendirinya bermukim di Medan. Artikel tentang ini diletakkan di bagian II. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini