Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bahasa Rahasia Kelompok Mbah

Sebelum ditangkap, Zarkasih dan Abu Dujana aktif bergerak dalam kelompok kecil. Pertemuan rutin digelar sebulan sekali.

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAWAT Beechcraft 1900D yang biasa ditumpangi petinggi polisi itu terbang, Jumat pekan lalu, dari Yogyakarta ke Jakarta tanpa penumpang VIP. Hanya empat ”prajurit” tersangka teroris yang ditangkap dua pekan lalu plus beberapa polisi penjaga di atas pesawat berkapasitas 19 penumpang itu.

Mereka adalah Nur Afiffuddin alias Suharto alias Haryanto (33 tahun), Azis alias Mustafa alias Ari (33), Tri alias Aris Widodo (31) yang ditangkap di Yogyakarta, dan Arif Syarifuddin alias Firdaus alias Fito (29), yang dicokok di Surabaya. Dua pemimpin mereka, Abu Dujana (37) dan Zarkasih alias Mbah (45), yang ditangkap dalam waktu hampir bersamaan, masih ditahan di Yogyakarta.

Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, juru bicara Markas Besar Kepolisian, menyatakan Abu Dujana dan Mbah masih dibutuhkan untuk pengembangan penyelidikan. ”Mereka tetap diperlukan di lapangan,” katanya. Ia juga mengumumkan penangkapan tersangka lain yaitu Ruri alias Taufik Kondang (40), yang disebut-sebut sebagai seorang petinggi Jamaah Islamiyah.

Polisi terus mengorek keterangan Abu Dujana, yang mengaku sebagai pemimpin sayap militer Jamaah Islamiyah, dan Zarkasih, amir darurat kelompok itu. Berbekal hasil interogasi tersangka lain yang ditangkap sebelumnya, Satuan Tugas Bom berusaha menyambung beberapa rangkaian terputus tentang kelompok ini melalui keduanya.

Seorang penyelidik menyatakan bahwa Abu Dujana sangat terbuka kepada polisi. Adapun Zarkasih bersikap sebaliknya. Setiap kali ditanya, ia hanya menjawab ”ya” dan ”tidak”. ”Biasalah, pemimpin sedikit bicara. Yang banyak ngomong kan biasanya panglima perang,” kata penyelidik itu.

Ketua Tim Pengacara Muslim, Achmad Michdan, membantah Zarkasih adalah amir darurat Jamaah Islamiyah. ”Itu mengada-ada,” katanya. Ia menyatakan bahwa polisi ”terlalu membesar-besarkan Jamaah Islamiyah”. Padahal, menurut dia, polisi harus mencari kejahatan para tersangka dan bukan kaitannya dengan Jamaah Islamiyah.

Nama Zarkasih diumumkan polisi pada Jumat dua pekan lalu, hampir sepekan setelah penangkapannya. Namun aparat sebenarnya sudah mencium jejaknya sebulan sebelumnya. Nama dan posisi alumni Akademi Militer Mujahidin Afganistan Sadda itu bahkan sudah ditanyakan kepada Sarwo Edi Nugroho dan Mahfud Qomari alias Sutardjo alias Ayyasy, tersangka yang ditangkap pada 20 Maret lalu di Yogyakarta.

Menurut sumber Tempo, kepada polisi Ayyasy mengatakan bahwa Zarkasih adalah gurunya di kamp pelatihan militer Hudaibiyah, Moro, Filipina Selatan, pada 2000. Zarkasih alias Abu Irsyad alias Nuaim memang menjadi kepala kamp pelatihan militer itu pada pertengahan 2000 hingga akhir 2001.

Enam tahun kemudian Ayyasy bertemu kembali dengan Zarkasih dalam sebuah pertemuan kelompoknya di Klaten, Jawa Tengah. Pertemuan ini juga dihadiri Abu Dujana dan Gulam, pemimpin Jamaah Islamiyah wilayah Surakarta. Ayyasy, yang disebut-sebut sebagai penanggung jawab urusan logistik Jamaah Islamiyah, mencatat adanya perubahan fisik Zarkasih dibanding ketika ia bertemu di Moro.

”Saat pertemuan itu, Pak Irsyad sudah terlihat agak tua, rambut sudah banyak beruban,” kata Ayyasy kepada polisi, akhir April lalu. ”Cara bicaranya pelan dan lembut, ia biasa menarik napas dalam sebelum bicara.”

Sarwo Edi, 40 tahun, mengaku pertama kali bertemu Mbah tahun lalu dalam sebuah pertemuan di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Dialah yang menjemput sang Amir di Secang, sekitar setengah jam perjalanan dengan mobil dari Parakan. Ia kembali menjemput Mbah dalam pertemuan dengan Abu Dujana, awal tahun ini, di kota yang sama.

”Setelah pertemuan di Parakan, saya mengantar Mbah ke Ambarawa. Di sana sudah ada yang menjemput, yang tidak saya kenal,” kata Sarwo Edi, yang memimpin Jamaah Islamiyah wilayah Magelang, Semarang, Kudus, dan Pati.

Kelompok ini memang aktif menggelar pertemuan. Tempatnya berpindah-pindah, kadang di Parakan, lain kali di Sukoharjo, dan kemudian Wates, Kulonprogo. Beberapa kali pertemuan juga dilaksanakan di Tawangmangu, kawasan pegunungan di timur Solo. Mereka yang selalu hadir adalah Zarkasih, Abu Dujana, Gulam (kini buron), Ayyasy, Sarwo Edi, dan Roy, seseorang yang sangat dekat dengan Gulam.

Untuk menghindari kuntitan polisi, mereka memakai bahasa sandi guna menyebut tempat pertemuan. Wates, misalnya, mereka sebut ”kelurahan”. Desa Pengkol di Surakarta mereka sebut ”KUD”—lazimnya kependekan dari koperasi unit desa. Untuk menyebut pom bensin digunakan kata ”bank”. ”Yang lucu, Desa Bulukerto (Solo), mereka sebut fotokopi,” kata seorang anggota Satuan Tugas Bom.

Dalam sebuah pertemuan pada akhir tahun lalu, Abu Dujana menyampaikan susunan baru sayap militer Jamaah Islamiyah yang ia bentuk. ”Abu Dujana mengatakan bahwa kami adalah tim kecil sariyah (sayap militer), dan dialah pemimpinnya,” kata Ayyasy kepada polisi.

Menurut Ayyasy, Abu Dujana pula yang mengatur penyimpanan senjata dan bahan peledak—kelompok ini menyebutnya ”aset jamaah”. Dalam pertemuan di Wates dan Bulukerto, Sukoharjo, awal tahun ini, Abu Dujana meminta dua pertiga dari senjata yang disimpan Ayyasy dipindahkan ke tingkatan yang lebih tinggi, yakni Askari Markaziah. Sepertiganya tetap disimpan oleh Ayyasy.

Rencana itu dilaksanakan pada 20 Maret lalu. Skenarionya, Ayyasy bersama dua rekannya, yaitu Sikas dan Amir Ahmadi, membawa senjata dan amunisi sampai Yogyakarta. Barang itu kemudian dibawa oleh Sarwo Edi dan Agus Suryanto, anak buahnya, untuk diserahkan ke Ruri alias Taufik Kondang, sebagai ”orang pusat”.

Abu Dujana mengatakan kepada polisi bahwa pemindahan senjata itu dilakukan untuk menghindari kejaran polisi. Tapi ternyata rencana itu sudah dicium aparat keamanan. Ayyasy dan kawan-kawan disergap. Agus Suryanto dan Sarwo Edi ditembak ketika berusaha lari di daerah Ring Road, Yogyakarta. Agus tewas, Sarwo terluka di pinggang. Kelompok Zarkasih dan Abu Dujana semakin terkikis.

Bagaimana hubungan kelompok ini dengan Noor Din Mohammad Top, buron polisi nomor satu? Kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu, Abu Dujana mengatakan tidak setuju dengan pengeboman Hotel Marriott, 5 Agustus 2003. Ia bahkan sempat marah kepada Noor Din dan Doktor Azahari, yang diyakini sebagai otak pengeboman itu.

Meski begitu, bukan berarti kelompok Abu Dujana betul-betul mengucilkan Noor Din. Pada April tahun lalu, menurut polisi, mereka sempat berencana bertemu. Untuk mempersiapkan pertemuan itu, pada 22 April 2006 utusan kedua tokoh berembuk di sebuah masjid di Secang. Mereka adalah Sarwo Edi dan Agus Suryanto sebagai utusan Abu Dujana, serta Abdul Hadi yang mewakili Noor Din.

Polisi ternyata tak ketinggalan jauh di belakang Noor Din. Sepekan setelah pertemuan di masjid Secang itu, Satgas Bom menggerebek sebuah rumah di Kampung Binangun, Kelurahan Wringin Anom, Kecamatan Kertek, Wonosobo. Di situlah Abdul Hadi alias Bambang tinggal bersama Jabir alias Gempur Budi Angkoro, yang diyakini sebagai ahli bom murid Dr Azahari.

Abdul Hadi—juga Jabir—tewas dalam penggerebekan Sabtu subuh itu. Pertemuan Noor Din dan Abu Dujana pun batal. Abu Dujana ditangkap polisi pada Sabtu tiga pekan lalu. Noor Din masih raib hingga kini....

Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus