Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang tengah malam pada 26 Juni 2013, Toyota Alphard hitam B-2626 memasuki halaman rumah dinas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan. Mico Fanji Tirtayasa turun dari kursi kemudi, disusul bosnya, Muhtar Ependy. Daryono, sopir dan asisten pribadi tuan rumah, telah menyambut mereka di pintu gerbang.
Sebelum membuka pintu, menurut Mico, Daryono mematikan lampu teras. Halaman rumah di Jalan Widya Chandra III Nomor 7 itu pun temaram hanya tersiram lampu jalan. Mico, laki-laki 35 tahun asal Tasikmalaya, Jawa Barat, membongkar bagasi. Ia menurunkan tiga dus besar dan satu tas jinjing. Sebelum Daryono mengangkatnya, ia merobek satu dus dan membuka tas. Ia melihat gepokan uang pecahan seratus ribu dan tas berisi bongkahan dolar Singapura.
Bersama Daryono, Mico menggotong dus dan tas ke garasi. Muhtar Ependy, sementara itu, masuk ke ruang tamu. Mico melihat bosnya mengobrol serius dengan tuan rumah. "Uang itu baru diambil dari BPD Kalimantan Barat di Mangga Dua," kata Mico, sopir dan asisten Muhtar Ependy, pekan lalu.
Menurut Mico, Muhtar mengatakan kepadanya bahwa uang dalam dus dan tas itu berjumlah Rp 25 miliar, yang baru diambil dari Iwan Sutaryadi, Kepala Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat Cabang Jakarta di Mangga Dua. Muhtar dan Iwan, juga Akil, berkawan sejak mereka masih tinggal di Pontianak. "Uang itu suap dari Budi Antoni al-Jufri," ujar Mico.
Budi Antoni adalah calon Bupati Empat Lawang, Sumatera Selatan, yang dinyatakan kalah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat dalam penghitungan 12 Juni 2013. Raihan suara Budi terpaut 552 dari Joncik Muhammad, pemenang pemilihan versi KPUD. Pada siang hari sebelum mengambil uang suap, Mico dan Muhtar menyaksikan Akil Mochtar memimpin sidang perdana gugatan Budi di Mahkamah Konstitusi.
Malam itu, dari rumah dinas Akil, Muhtar meminta Mico mengantarnya ke Hotel Kartika Chandra di seberang kompleks Widya Chandra. Budi Antoni telah berada di lantai tiga hotel. Mico diminta menunggu di area parkir. Tiga jam kemudian, ketika dinihari menjelang terang, Muhtar turun. Ia mengajak keponakannya itu pulang ke apartemennya di Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Di jalan, ketika mobil melaju, menurut Mico, Muhtar berkata: "Kita kaya!"
BUDI Antoni bukan nama asing bagi Mico. Sepekan sebelum sidang perdana gugatan, mereka bertemu di Soto Senayan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Menurut Mico, pertemuan dilakukan setelah Muhtar menelepon Budi, menawarkan "bantuan mengurus perkara". Budi belum sepakat dengan jumlah imbalan yang diminta Muhtar, sehingga mereka bertemu lagi di Rumah Makan Pisangan Ijo, daerah yang sama, sepekan kemudian.
Pertemuan pada malam sebelum sidang itu lebih ramai. Budi ditemani dua ajudan. Muhtar menggandeng Lia Tirta Sari, istri keduanya. Di sini, Budi sanggup membayar Rp 25 miliar. Malam itu juga Mico berangkat ke Mahkamah Konstitusi, mengambil formulir C1-KWK yang berisi rekapitulasi suara yang disahkan KPUD Empat Lawang dan Panitia Pengawas.
Semalaman Mico mencorat-coret angka-angka itu. Ia berhenti setelah selisih suara Budi dan Joncik jauh menipis. Paginya, di percetakan PT Promic International milik Muhtar di Cibinong, Bogor, Mico meminta seorang anggota staf memindai, mengubah jumlah suara sesuai dengan coretan Mico, lalu mencetak ulang di formulir C1 yang masih kosong. Bentuknya sama persis, hanya kini dengan jumlah suara yang baru. "Pak Muhtar mengawasi ketika saya ubah angka-angka itu," kata Nugroho, anggota staf itu, dalam keterangan tertulis yang dimiliki Tempo.
Bersama Muhtar, Mico menyetir Alphard hitam menuju Mahkamah. Ia menyerahkan dokumen "asli tapi palsu" itu ke meja Akil. Menurut dia, Muhtar memintanya mendokumentasikan semua sidang Empat Lawang di Mahkamah. Setelah tiga kali bersidang, Akil memutuskan Budi Antoni sebagai pemenang pemilihan dengan jumlah suara melampaui perolehan Joncik. "Saya merekam suasana sidang," ucap Mico.
Akil memutuskan 52 suara sah untuk pasangan Budi Antoni-Syahril Hanafiah sehingga total suara mereka menjadi 63.027. Untuk Joncik Muhammad-Ali Halimi, Akil memutuskan ada 1.476 suara tak sah sehingga perolehan pasangan ini berkurang menjadi 62.051. Mico mengatakan Muhtar mengaku sengaja merusak surat suara asli dengan air. "Sewaktu saya rekam, kertas-kertas itu basah dan gemboknya rusak," ujarnya.
Muhtar menyangkal cerita Mico. Ia bersumpah tak pernah memakelari gugatan pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. Hubungannya dengan Akil, kata dia, hanya sebatas bisnis. "Pak Akil salah satu investor perusahaan saya." Selain memiliki pabrik konfeksi dan percetakan PT Promic, Muhtar berbisnis jual-beli mobil bekas, yang ruang pamernya ada di Puncak, Bogor, juga peternakan ikan arwana seluas sepuluh hektare di Pontianak.
Muhtar kini bolak-balik diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia diperiksa sebagai saksi untuk Akil Mochtar, yang kini mendekam di rumah tahanan Komisi. Bekas politikus Golkar ini dicokok penyidik saat menerima uang Rp 1 miliar dari Hambit Bintih, calon Bupati Gunung Emas, Kalimantan Tengah, pada 2 Oktober 2013 malam. Akil juga dituduh menerima sogokan dari calon Bupati Lebak, yang juga sedang disengketakan di Mahkamah Konstitusi.
Akil menyangkal kenal Muhtar walau sama-sama lulusan Universitas Panca Bhakti, Pontianak. "Kepada saya, dia bilang tak kenal Muhtar sama sekali," kata Tamsil Sjoekoer, pengacaranya. Tapi sejumlah foto yang dimiliki Tempo menunjukkan kedekatan keduanya. Pada satu foto, misalnya, mereka berpose di ruang kerja Ketua Mahkamah Konstitusi. Muhtar duduk di kursi Akil sambil tertawa, memandangi pemilik ruang yang memegang laptop di mejanya.
KPK menyatakan yakin Muhtar merupakan makelar kasus di Mahkamah. "Dia diduga berperan mencuci uang hasil suap," ujar Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK. Dua pekan lalu, sejumlah penyidik menyita sedikitnya 30 mobil di Viva Showroom milik Muhtar di Puncak. Para penyidik juga menggeledah kantor PT Promic di Cibinong. Mereka menyita banyak formulir C1 asli dan komputer yang berisi file hasil pemindaian dokumen pemilihan di banyak daerah.
Menurut Mico, jumlah mobil yang disita belum seberapa. Ia menyatakan Muhtar telah membeli ratusan mobil hasil lelang barang sitaan negara yang dilakukan Kementerian Keuangan. Ia juga membeli 30 sepeda motor dan satu rumah seharga Rp 1,7 miliar di Kemayoran serta membangun pabrik PT Promic di Cempaka Putih (Jakarta Pusat), Palembang (Sumatera Selatan), dan Karawang (Jawa Barat). Sumber uangnya berasal dari suap para kepala daerah yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi.
Bupati Empat Lawang Budi Antoni menyangkal telah menyuap Akil. Tapi, ketika melantik Alex Noerdin sebagai Gubernur Sumatera Selatan bulan lalu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi justru mengatakan Budi sudah jadi tersangka penyuapan. Pernyataan ini diralat beberapa waktu kemudian. Budi Antoni, yang hadir pada acara itu, kemudian menyatakan, "Saya tak menyuap. Pak Menteri mungkin salah. Dia masih manusia, bukan malaikat."
Akil bersama hakim Maria Farida dan Anwar Usman juga menangani sengketa pemilihan kepala daerah yang diajukan calon Wali Kota Palembang Romi Herton dan calon Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan. Lima calon Bupati Banyuasin menggugat kemenangan Yan Anton Ferdian, yang mereka tuduh melakukan politik uang dan berlaku curang pada saat pemungutan suara.
Panel hakim yang dipimpin Akil memenangkan Romi dan Yan. Menurut Mico, modus memenangkan keduanya persis sama dengan Kabupaten Empat Lawang: merusak kotak dan surat suara. Dalam sebuah video terlihat timbunan kotak suara yang telah dirusak segel dan gemboknya. Romi Herton, kata Mico yang mengutip Muhtar, menyuap Rp 8 miliar secara tunai. Uang diantarkan Sekretaris Daerah Palembang Ucok Hidayat, yang ditemani tiga bawahannya. Muhtar Ependy dan Daryono menerima uang di Bandar Udara Soekarno-Hatta pada 3 Mei 2013.
Ucok dan Romi menyangkal telah menyuap Akil. "Saya serahkan saja pengusutannya ke KPK," ucap Romi. "Saya ikut apa kata Pak Wali," Ucok menimpali. Rumah Romi sudah digeledah. Para penyidik menemukan bukti transfer dari rekening istri Romi ke PT Promic sebesar Rp 500 juta. Pembayaran ditulis untuk "pembayaran alat pilkada" pada 28 Mei 2013 atau sepekan setelah Akil memenangkan Romi. Menurut Mico, uang itu resminya untuk ongkos suvenir buat pelantikan Romi.
Bupati Banyuasin Yan Ferdian, menurut Mico, sepakat menyuap Rp 10 miliar agar Akil Mochtar mementahkan gugatan rival-rivalnya. Uang tak dibayarkan sekaligus, tapi dicicil dengan uang muka Rp 2 miliar sebelum putusan. Sisanya dijanjikan akan dibayarkan setelah Akil menolak gugatan. Uang Rp 2 miliar itu, kata Mico, juga dicairkan melalui Iwan Sutaryadi di BPD Kalbar.
Tempo belum bisa meminta konfirmasi Iwan Sutaryadi, yang pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Direktur Utama BPD Kalimantan Barat Sudirman H.M.Y. membantah kabar bahwa anak buahnya memuluskan pencairan suap oleh Muhtar Ependy. "Sudah kami lakukan pemeriksaan internal dan menyerahkan salinan rekening nasabah itu ke KPK," ujarnya.
Sudirman juga menyatakan telah menyerahkan rekaman kamera keamanan kantornya selama tiga bulan terakhir. "Pokoknya sudah kami berikan semua informasi kepada KPK," katanya.
Mico mengaku mengambil uang suap Yan Ferdian juga atas bantuan Iwan Sutaryadi. Rupanya, Yan tak segera melunasi sisa pembayaran. Muhtar pun menugasi Mico menagih. Karena Mico menolak, tugas penagihan diserahkan kepada Lakis, karib Muhtar di Pontianak. Tugas ini tak bisa dijalankan Lakis. Akhirnya Muhtar sendiri berangkat ke Banyuasin. Ia membawa senjata lain: surat Ketua Mahkamah Konstitusi yang diparaf Akil berisi perintah penundaan pelantikan.
Mendapat surat itu, Yan marah. Ia mengirim surat meminta penjelasan ke Mahkamah. Hamdan Zoelva, yang kini memimpin Mahkamah menggantikan Akil, membenarkan adanya surat itu. Hamdan lalu mengumpulkan hakim dan membahasnya. Hasilnya, surat itu dianulir, lalu diterbitkan surat baru yang menyatakan pelantikan Yan bisa dilakukan. Ketika Tempo menulis soal ini pada Oktober lalu, Yan menyatakan sama sekali tidak mau memenuhi permintaan suap yang disampaikan Muhtar.
Mico mengaku tak paham apakah sisa suap itu tetap dibayarkan Yan Ferdian. Ia hanya mendengar dari Muhtar, saat membawa surat penundaan penetapan Yan, pamannya itu bertemu dengan Ari Yusuf Amir di Hotel Arya Duta Palembang. Ari adalah pengacara Budi Antoni dan Romi Herton, yang kemudian menghubungkan Muhtar ke Yan Ferdian. Kepada Tempo, Ari menyangkal menyuap Akil Mochtar untuk memenangkan klien-kliennya. "Buat apa? Sejak awal kami sudah yakin akan memenangi gugatan," ujarnya.
Setelah mengambil dan menyerahkan suap Rp 2 miliar kepada Akil, Mico menyatakan keluar dari PT Promic. Ia juga hengkang dari tim makelar kasus Mahkamah yang dipimpin pamannya. "Saya takut permainan ini tercium KPK," katanya. Kekhawatirannya terbukti pada awal Oktober lalu.
Mico masih mengingat, setiap kali membawa sogokan ke rumah Akil, Muhtar selalu berpesan agar dia menyebutkan sandi "paket ikan". Kata itu perlu diucapkan jika anggota staf keamanan rumah Akil bertanya isi tas yang mereka bawa. Keduanya juga memiliki panggilan khusus untuk Akil, yakni "Om Pancasila"—merujuk pada nama profil Akil Mochtar di BlackBerry Messenger-nya.
Bagja Hidayat, Rusman Paraqbueq, Linda Trianitia (Jakarta), Parliza Hendrawan (Palembang) Aseanty Pahlevi (Pontianak), Arihta Surbakti (Bogor)
Layanan Satu Atap ala Akil
Korupsi Akil Mochtar diduga dirancang dari awal hingga akhir. Melalui orang-orang kepercayaannya, ia mendekati kepala daerah yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi, meminta imbalan, lalu membuat putusan yang memenangkan pemberi sogok. Putusannya pun berdasarkan barang bukti rekapitulasi suara yang sudah dipalsukan. Uang hitam itu dicuci dengan membeli mobil, rumah, sepeda motor dan kolam arwana hingga dijadikan modal perusahaan.
Mereka yang Beperkara
Aliran uang jelas terlihat dalam sengketa hasil pemilihan di tiga daerah.
1. Wali Kota Palembang Romy Herton Menggugat setelah kalah dalam pemilihan kepala daerah.
2. Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian Digugat lima pasangan rival dengan tuduhan politik uang dan kecurangan kertas suara.
3. Bupati Empat Lawang Budi Antono al Jufri Menggugat setelah kalah dalam pemilihan kepala daerah.
Aliran Uang
1. Rp 8 miliar melalui Sekretaris Daerah Kota Palembang Ucok Hidayat, Isnaeni, Alex Fernando, Dian Kis kepada Muhtar Ependy dan Daryono, sopir Akil Mochtar.
2. Rp 10 miliar dengan uang muka Rp 2 miliar melalui Sekretaris Daerah Banyuasin Firmansyah, sisanya ditagih oleh Lakis saat penundaan pelantikan.
3. Rp 25 miliar melalui BPD Kalbar
Akil Mochtar
"Kepada saya, Pak Akil mengaku tak kenal Muhtar Ependy."
— Tamsil Sjoekoer, pengacara Akil Mochtar
Muhtar Ependy
Pemilik PT Promic International
"Kalau ada yang bisa membuktikan saya menjadi makelar di Mahkamah Konstitusi, saya beri Rp 1 miliar!"
— Muhtar Ependy
Iwan Sutaryadi
Wakil Kepala Cabang Bank Pembangunan Daerah Kalbar
- Bersama Muhtar Ependy, diduga mencairkan uang suap kepala daerah untuk Akil.
Mico Panji Tirtayasa
Sopir dan asisten Muhtar Ependy.
- Memalsukan formulir C1 KWK atas perintah Muhtar Ependy Menjemput dan menyerahkan uang suap kepada Akil.
Lakis
Sopir BPD Kalbar.
- Menjemput uang ke kepala daerah yang dimenangkan.
PT Promic International
Perusahaan percetakan milik Muhtar Ependy.
- Menerima transfer dari istri Wali Kota Palembang Rp 500 juta
- Mengikuti lelang penjualan mobil dan sepeda motor di Departemen Keuangan
Kementerian Keuangan
- Lelang mobil
Viva Showroom
- 100 mobil
- 30 Sepeda motor
Kolam ikan arwana Pontianak
Rumah
- Harga Rp 1,7 miliar di Bendungan Jago, di belakang Radio P2SC, Kemayoran, Jakarta Pusat
Naskah: Bagja Hidayat Sumber: Dokumen dan wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo