TAK banyak orang menduga, Marah Halim akan mampu bertahan selama
2 kali masa jabatannya sebagai Gubernur Propinsi Sumatera Utara.
Tapi Marah Halim telah melalui masa itu. Kemudian, ia
menyerahkan jabatannya kepada penggantinya, Mayor Jenderal Edwar
Waldemar Pahala Tambunan, Senen baru lalu.
Sebelumnya tak seorang pun mampu bertahan selama itu. Karenanya
kekokohan kursi Marah Halim selama 2 x 5 tahun masa jabatan itu
dianggap istimewa. Soalnya, propinsi yang sering dijuluki
"penghasil devisa terbesar di luar minyak dan gas bumi" selama
ini dikenal juga sebagai daerah yang peka dalam berbagai hal.
Terutama masalah kesukuan. Bahkan juga baik di kantor gubernur
maupun di kantor-kantor bupati hal itu masih terasa menonjol.
Tapi di tengah gejolak itu pula Marah Halim dinilai cukup
berhasil melaksanakan pembangunan. Setidak-tidaknya secara
fisik. Meskipun belum terlihat merata: untuk tingkat desa
misalnya, pengelolaan desa-desa pantai belum banyak terjamah.
Orang yang mengritik mengatakan bahwa pembangunan lebih
menonjolkan diri dalam bentuk kantor-kantor. Bahkan bebrapa di
antaranya meragukan kelanjutan hidupnya. Seperti Tapian Daya dan
Studio Mini, yang lahir dengan biaya Rp 200 juta lebih, dan
diresmikan Marah Halim pekan lalu. Tapian Daya yang sesungguhnya
sudah lama berdiri, dimaksudkan sebagai pusat kesenian. Namun
tak berjalan karena dana bagi kegiatan kesenian seret.
Begitu pula halnya dengan rehabilitasi Pulau Nias. Untuk pulau
ini pernah dirancang pembangunannya. Dalam teori dapat rampung 3
tahun. Dalam kenyataan keadaan pulau itu masih menyedihkan
terutama dalam hal sarana perhubungan. Bahkan wabah muntah berak
yang terjadi pertengahan bulan lalu lebih banyak menelan korban
jiwa karena, sarana perhubungan di sana telah menghambat bantuan
yang semustinya segera diberikan.
Tapi kritik-kritik semacam itu tak menghilangkan prestasi Marah
Halim yang lain. Barangkali yang dapat dibanggakan adalah
munculnya Turnamen Piala Marah Halim yang hampir setiap tahun
menjadi salah satu mata acara persepakbolaan penting di negara
ini. Bahwa ada yang berkeberatan akan pemberian nama turnamen
itu dengan nama Gubernur, rupanya tak jadi soal berat bagi orang
di sana. Di Tebing Tinggi misalnya ada "Stadion Marah Halim". Di
IAIN Sumatera Utara ada "Perpustakaan Marah Halim".
Marah Halim sendiri termasuk penjabat yang rupanya tak merasa
perlu publisitas. Ia cukup tertutup terhadap pers. Bahkan
seorang wartawan yang setiap hari "ngepos" di Kantor Gubernur
Sumatera Utara itu sampai sekarang tak tahu persis berapa jumlah
putera sang gubernur. "Kecuali seorang yang bernama Gumala yang
jadi pemborong dan membuka usaha biro perjalanan di Jalan Raden
Saleh Medan," tutur wartawan itu. Namun demikian, kalangan pers
Medan sulit melupakan gubernur ini. Karena adalah Marah Halim
juga yang menghadiahkan Balai Wartawan di Jalan Adinegoro sejak
beberapa tahun lalu.
Termasuk keistimewaan Marah Halim pula dia tak suka main golf.
Olahraganya adalah tenis. Malahan kesukaan utamanya adalah
bermain "trup keling" alias trup gembira. Bersama teman-teman
terdekat atau staf pribadinya, ia mampu bermain trup keling ini
semalam suntuk.
Kesukaannya yang lain adalah merokok. Sulit dihitung berapa
bungkus rokok 555 ia sedot setiap hari. "Pak Marah kalau merokok
terus sambung menyambung," tutur seorang pegawainya. Jika ia
kehabisan rokok, misalnya ketika sedang turne ke pedalaman,
"rokok apa saja dan milik siapa saja akan dia minta, asal
berasap."
Gubernur yang mahal senyum, lebih suka tinggal di rumah
pribadinya di Kampung Baru Medan daripada di gubernuran. Apakah
ia rela meninggalkan kursinya? Ketika awal bulan ini DPRD
Sumatera Utara mengadakan sidang pleno perpisahan, wajah Marah
Halim tampak lebih tegang. "Mungkin tak sedikit pandangan
masyarakat membuat gambaran pembangunan sebagai kurang mantap,"
katanya waktu memberi sambutan.
Menyadari ketak-enakan yang terkandung dalam ucapan itu, maka
Ketua DPRD Sumatera Utara, Haji Mas Soekardi, buru-buru
membalas. "Terdapat kemajuan-kemajuan pembangunan di Sumatera
Utara, misalnya APBD telah meningkat jadi Rp 45 milyar dan
pendapatan per kapita terus meningkat," ucap Mas Soekardi. Tak
lupa ditambahkannya, "yang menggembirakan adalah ditunjuknya
Sumatera Utara sebagai daerah termaju pembangunannya di luar
Pulau Jawa." Dan kata Soekardi lagi "semua itu adalah
hasil-hasil bagian karya Gubernur Marah Halim."
Tentu cukup menyenangkan mendengar ucapan Ketua DPRD Sumatera
Utara itu. Jadi dapatkah dikatakan Tambunan, pengganti Marah
Halim, hanya tinggal memoles yang sudah ada?
Yang pasti, E.W.P. Tambunan, 50 tahun, bukan orang baru di
Medan. Ia lahir di Balige, Tapanuli Utara, meskipun selama 33
tahun karirnya dalam militer, lebih banyak bertugas di Jawa.
Lidahnya juga hampir tak menyuarakan aksen Batak lagi, tapi
lebih berbau Jawa. Bahkan isterinya adalah wanita kelahiran
Surabaya, dari kota mana ia memulai karir-militernya.
Sekitar 1973 ia pernah menjabat Kepala Staf Kodam II Bukit
Barisan, lalu Panglima Kodam XIII Merdeka di Manado, Wakil
Gubernur AKABRI Bagian Darat di Malang. Dan sebelum memenangkan
pemilihan di DPRD Sumatera Utara sebagai calon gubernur dengan
27 suara (2 calon lainnya masing-masing mendapat 11 dan 2
suara), Tambunan adalah Danjen Seskoad di Bandung.
Berbeda dengan Marah Halim yang digantikannya, Tambunan
terbilang intim bergaul, terutama dengan kalangan wartawan dan
seniman Medan. Sewakti Balai Wartawan masih menumpang di Jalan
Listerik Medan bersama Pendam II Bukit Barisan, setiap sore
Tambunan nongkrong minum kopi bersama wartawan di sana. Waktu
itu ia masih berpangkat kolonel. Waktu itu ia sekaligus
mengikuti kegiatan latihan drama orang-orang PWI Medan. Bahkan
tak jarang ia turun tangan sebagai "instruktur" latihan
sandiwara para wartawan.
Dengan pembawaan sederhana, tidak kaku, Tambunan sehari-hari
lebih senang naik sepeda daripada menumpang mobil. "Naik sepeda
itu sehat," katanya. Sekali, ketika ia masih menjadi Panglima
Kodam XIII Merdeka, ia berkunjung ke Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Komandan Korem setempat terheran-heran ketika Tambunan minta
disediakan sepeda. Kalau harus dengan pakaian dinas, barulah ia
memakai mobil.
Tambunan gemar membaca. Ketika ia masih bertugas di Medan, ia
selalu menyempatkan diri mengunjungi Toko Buku Deli di Kesawan
Medan. Mencari buku-buku baru. Menejer toko buku itu Lukman
Halim, mengakui koleksi buku Tambunan jauh lebih banyak
dibanding yang ada dalam toko buku itu. Karena itulah sewaktu
Tambunan harus pindah dari Kodam II, yang paling dulu diurusnya
adalah mengapalkan buku-bukunya.
Apa Tambunan akan tetap seperti yang pernah dikenal warga Medan
beberapa tahun lalu, belum tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini