Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Para gubernur: yang mundur & yang muncul

Ewp tambunan, 50, bekas danjen seskoad bandung menjadi gubernur sum-ut menggantikan marah halim. terkenal sebagai pribadi yang sederhana & gemar membaca. karier militernya banyak dijalankan di jawa. (dh)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak orang menduga, Marah Halim akan mampu bertahan selama 2 kali masa jabatannya sebagai Gubernur Propinsi Sumatera Utara. Tapi Marah Halim telah melalui masa itu. Kemudian, ia menyerahkan jabatannya kepada penggantinya, Mayor Jenderal Edwar Waldemar Pahala Tambunan, Senen baru lalu. Sebelumnya tak seorang pun mampu bertahan selama itu. Karenanya kekokohan kursi Marah Halim selama 2 x 5 tahun masa jabatan itu dianggap istimewa. Soalnya, propinsi yang sering dijuluki "penghasil devisa terbesar di luar minyak dan gas bumi" selama ini dikenal juga sebagai daerah yang peka dalam berbagai hal. Terutama masalah kesukuan. Bahkan juga baik di kantor gubernur maupun di kantor-kantor bupati hal itu masih terasa menonjol. Tapi di tengah gejolak itu pula Marah Halim dinilai cukup berhasil melaksanakan pembangunan. Setidak-tidaknya secara fisik. Meskipun belum terlihat merata: untuk tingkat desa misalnya, pengelolaan desa-desa pantai belum banyak terjamah. Orang yang mengritik mengatakan bahwa pembangunan lebih menonjolkan diri dalam bentuk kantor-kantor. Bahkan bebrapa di antaranya meragukan kelanjutan hidupnya. Seperti Tapian Daya dan Studio Mini, yang lahir dengan biaya Rp 200 juta lebih, dan diresmikan Marah Halim pekan lalu. Tapian Daya yang sesungguhnya sudah lama berdiri, dimaksudkan sebagai pusat kesenian. Namun tak berjalan karena dana bagi kegiatan kesenian seret. Begitu pula halnya dengan rehabilitasi Pulau Nias. Untuk pulau ini pernah dirancang pembangunannya. Dalam teori dapat rampung 3 tahun. Dalam kenyataan keadaan pulau itu masih menyedihkan terutama dalam hal sarana perhubungan. Bahkan wabah muntah berak yang terjadi pertengahan bulan lalu lebih banyak menelan korban jiwa karena, sarana perhubungan di sana telah menghambat bantuan yang semustinya segera diberikan. Tapi kritik-kritik semacam itu tak menghilangkan prestasi Marah Halim yang lain. Barangkali yang dapat dibanggakan adalah munculnya Turnamen Piala Marah Halim yang hampir setiap tahun menjadi salah satu mata acara persepakbolaan penting di negara ini. Bahwa ada yang berkeberatan akan pemberian nama turnamen itu dengan nama Gubernur, rupanya tak jadi soal berat bagi orang di sana. Di Tebing Tinggi misalnya ada "Stadion Marah Halim". Di IAIN Sumatera Utara ada "Perpustakaan Marah Halim". Marah Halim sendiri termasuk penjabat yang rupanya tak merasa perlu publisitas. Ia cukup tertutup terhadap pers. Bahkan seorang wartawan yang setiap hari "ngepos" di Kantor Gubernur Sumatera Utara itu sampai sekarang tak tahu persis berapa jumlah putera sang gubernur. "Kecuali seorang yang bernama Gumala yang jadi pemborong dan membuka usaha biro perjalanan di Jalan Raden Saleh Medan," tutur wartawan itu. Namun demikian, kalangan pers Medan sulit melupakan gubernur ini. Karena adalah Marah Halim juga yang menghadiahkan Balai Wartawan di Jalan Adinegoro sejak beberapa tahun lalu. Termasuk keistimewaan Marah Halim pula dia tak suka main golf. Olahraganya adalah tenis. Malahan kesukaan utamanya adalah bermain "trup keling" alias trup gembira. Bersama teman-teman terdekat atau staf pribadinya, ia mampu bermain trup keling ini semalam suntuk. Kesukaannya yang lain adalah merokok. Sulit dihitung berapa bungkus rokok 555 ia sedot setiap hari. "Pak Marah kalau merokok terus sambung menyambung," tutur seorang pegawainya. Jika ia kehabisan rokok, misalnya ketika sedang turne ke pedalaman, "rokok apa saja dan milik siapa saja akan dia minta, asal berasap." Gubernur yang mahal senyum, lebih suka tinggal di rumah pribadinya di Kampung Baru Medan daripada di gubernuran. Apakah ia rela meninggalkan kursinya? Ketika awal bulan ini DPRD Sumatera Utara mengadakan sidang pleno perpisahan, wajah Marah Halim tampak lebih tegang. "Mungkin tak sedikit pandangan masyarakat membuat gambaran pembangunan sebagai kurang mantap," katanya waktu memberi sambutan. Menyadari ketak-enakan yang terkandung dalam ucapan itu, maka Ketua DPRD Sumatera Utara, Haji Mas Soekardi, buru-buru membalas. "Terdapat kemajuan-kemajuan pembangunan di Sumatera Utara, misalnya APBD telah meningkat jadi Rp 45 milyar dan pendapatan per kapita terus meningkat," ucap Mas Soekardi. Tak lupa ditambahkannya, "yang menggembirakan adalah ditunjuknya Sumatera Utara sebagai daerah termaju pembangunannya di luar Pulau Jawa." Dan kata Soekardi lagi "semua itu adalah hasil-hasil bagian karya Gubernur Marah Halim." Tentu cukup menyenangkan mendengar ucapan Ketua DPRD Sumatera Utara itu. Jadi dapatkah dikatakan Tambunan, pengganti Marah Halim, hanya tinggal memoles yang sudah ada? Yang pasti, E.W.P. Tambunan, 50 tahun, bukan orang baru di Medan. Ia lahir di Balige, Tapanuli Utara, meskipun selama 33 tahun karirnya dalam militer, lebih banyak bertugas di Jawa. Lidahnya juga hampir tak menyuarakan aksen Batak lagi, tapi lebih berbau Jawa. Bahkan isterinya adalah wanita kelahiran Surabaya, dari kota mana ia memulai karir-militernya. Sekitar 1973 ia pernah menjabat Kepala Staf Kodam II Bukit Barisan, lalu Panglima Kodam XIII Merdeka di Manado, Wakil Gubernur AKABRI Bagian Darat di Malang. Dan sebelum memenangkan pemilihan di DPRD Sumatera Utara sebagai calon gubernur dengan 27 suara (2 calon lainnya masing-masing mendapat 11 dan 2 suara), Tambunan adalah Danjen Seskoad di Bandung. Berbeda dengan Marah Halim yang digantikannya, Tambunan terbilang intim bergaul, terutama dengan kalangan wartawan dan seniman Medan. Sewakti Balai Wartawan masih menumpang di Jalan Listerik Medan bersama Pendam II Bukit Barisan, setiap sore Tambunan nongkrong minum kopi bersama wartawan di sana. Waktu itu ia masih berpangkat kolonel. Waktu itu ia sekaligus mengikuti kegiatan latihan drama orang-orang PWI Medan. Bahkan tak jarang ia turun tangan sebagai "instruktur" latihan sandiwara para wartawan. Dengan pembawaan sederhana, tidak kaku, Tambunan sehari-hari lebih senang naik sepeda daripada menumpang mobil. "Naik sepeda itu sehat," katanya. Sekali, ketika ia masih menjadi Panglima Kodam XIII Merdeka, ia berkunjung ke Kota Palu, Sulawesi Tengah. Komandan Korem setempat terheran-heran ketika Tambunan minta disediakan sepeda. Kalau harus dengan pakaian dinas, barulah ia memakai mobil. Tambunan gemar membaca. Ketika ia masih bertugas di Medan, ia selalu menyempatkan diri mengunjungi Toko Buku Deli di Kesawan Medan. Mencari buku-buku baru. Menejer toko buku itu Lukman Halim, mengakui koleksi buku Tambunan jauh lebih banyak dibanding yang ada dalam toko buku itu. Karena itulah sewaktu Tambunan harus pindah dari Kodam II, yang paling dulu diurusnya adalah mengapalkan buku-bukunya. Apa Tambunan akan tetap seperti yang pernah dikenal warga Medan beberapa tahun lalu, belum tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus