MINGGU depan berakhirlah masa jabatan Hein Victor Worang sebagai
Gubernur Sulawesi Utara.
Beberapa hari setelah Brigjen Willy Gayus Alexander Lasut, 52
tahun, memastikan diri sebagai calon terpilih untuk
menggantikannya, Worang bersama keluarga dan sahabat-sahabat
dekatnya berangkat ke berbagai negara di Eropa. Dan beberapa
hari sebelum ia menyerahkan jabatannya secara resmi kepada
penggantinya, ia akan singgah di Argentina: menyaksikan
pertandingan kejuaraan sepakbola dunia.
Namun demikian, warga Sulawesi Utara agaknya cukup sulit
melupakan kepemimpinan Worang selama 2 kali masa jabatannya.
Barangkali karena berkat tokoh ini Propinsi Sulawesi Utara
sempat pulih dari luka-luka pergolakan Permesta. Tapi mungkin
juga karena gaya kepemimpinan Worang yang keras, sehingga banyak
meninggalkan kesan mendalam. Atau karena di mana-mana ia
mendirikan patung, memugar kuburan-kuburan lama dan meresmikan
jalan yang memakai namanya.
Keberhasilan Worang yang menonjol terutama terlihat pada saat
Opstibpus mulai meraih persoalan pungutan liar terhadap petani
cengkeh akhir tahun lalu. Beberapa penjabat resmi sendiri
sebelumnya seakan hendak meyakinkan bahwa kelakuan Worang telah
melampaui batas, sehingga sangat merugikan petani dan perlu
diambil tindakan. Tapi Worang dengan gayanya berhasil meyakinkan
Ketua Opstibpus Laksamana Sudomo dan Menteri PAN Sumarlin,
ketika kedua penjabat tinggi ini turun langsung ke Sulawesi
Utara. Dan keluarlah pernyataan yang melegakan hati Worang itu,
bahwa ternyata tuduhan adanya pungli terhadap petani cengkeh
"tak ada apa-apanya." Tanda-tanda kekuatannya pulih kembali
setelah itu, dan orang harus tahu.
Mungkin dengan menyadari kekuatan itu, Surat Kabar Lensa Utara
yang terbit di Manado, dalam melukiskan saat-saat perpisahan
Worang dengan masyarakat Gorontalo awal bulan lalu penuh dengan
nada memuja. "Orang-orang yang berdiri berbaris mulai dari
landasan sampai di VIP Room, terus-menerus memandang hampir tak
berkedip ke wajah Gubernur Worang dan Ibu yang seperti biasa,
anggun dan penuh wibawa, gembira," tulis surat kabar tadi.
Ditulis pula: "Mereka menyanyikan syair-syair khusus diciptakan
bagi Gubernur Worang yang seolah-olah akan pergi jauh dan tak
akan pernah kembali lagi."
Apakah Willy Lasut, pengganti Worang, akan meniru gaya
kepemimpinan gubernur yang digantinya? Masih sulit diterka.
"Tapi yang jelas saya mempunyai kerinduan untuk meneruskan apa
yang sudah dicapai Pak Worang sampai saat ini," katanya kepada
TEMPO Jumat lalu di Manado. Ia berada di Ibukota Sulawesi Utara
itu 10 hari sebelum pelantikannya. Pada hari-hari itu ia sibuk
mengunjungi para kerabat di kampung kelahirannya yang sudah 32
tahun ia tinggalkan -- di Rerer salah satu daerah cengkeh di
Kabupaten Minahasa.
Saat-saat menjelang pelantikannya sebagai gubernur, Willy Lasut
berstatus sebagai duda. Tiga bulan lalu isterinya meninggal
dunia di Jakarta dengan meninggalkan 5 orang anak. Paling
sedikit dalam hal ini ia punya persamaan dengan Worang yang
sebulan sebelum pelantikannya sebagai gubernur 11 tahun yang
lalu juga ditinggal mati isterinya.
Karena itu, dalam saat-saat masih berkabung, Willy Lasut dengan
keras membantah dua desas-desus yang beredar sesaat setelah ia
berada di Manado pekan lalu. Pertama, seakan-akan ia akan segera
merombak stafnya dengan personil yang sudah ia siapkan di
Jakarta. Kedua, cerita bahwa Willy Lasut segera akan menikah
lagi sebelum dilantik sebagai gubernur. Maka tentang kedua kabar
burung itu, melalui TEMPO ia ingin menyampaikan rasa
penyesalannya.
Orang baru memang selalu dicurigai, atau digertak. Tapi hanya
dalam arti tertentu Willy Lasut "orang baru". Meskipun sebagian
besar perjalanan hidup Lasut berlangsung di luar bumi Kawanua
tapi warga daerah ini sebenarnya tak sulit mengenalnya. Di pusat
Kota Manado, tepat di depan gedung Bank Indonesia, terdapat
taman berair mancur. Di tengah taman ini berdiri patung Datu
Lolong Lasut. Ia adalah buyut Willy Lasut, yang terkenal sebagai
salah seorang pejuang di Sulawesi Utara. Dan teman-temannya di
Tomohon, di mana ia pernah menamatkan AMS, masih banyak yang
mengenalnya.
Ia memulai karir militernya sejak 1946 sebagai anggota pasukan
KRIS yang bertugas di antara Karawang-Bekasi. Tak lama setelah
ia turut menum.pas sisa-sisa Westerling di Sulawesi Selatan, ia
ditangkap Belanda dan ditahan di Surabaya. Di sinilah ia divonis
mati oleh Belanda. Tapi ia pengikut Protestan yang taat.
Beberapa orang kalangan gereja pun berhasil membujuk Belanda
untuk merubah hukuman matinya. Dan ia pun sempat meloloskan diri
dari penjara, sebelum menggabungkan diri dengan pasukan Letkol
Soeharto di Yogya waktu itu. Terakhir ia menjabat Wakil Asisten
II Operasi KASAD, sejak Oktober 1974.
Bagaimana tanggapan Worang tentang penggantinya ia tak menyebut
nama-nama. Tapi menurut dia, "siapa pun bisa" menggantikannya.
Tinggal melaksanakan apa yang sudah digariskan Pusat dan
melanjutkan pembangunan yang sudah ada, katanya. "Kecuali kalau
dia kerbau, tentu tidak bisa," tambahnya. Lalu kata orang yang
bergelar Tonaas Wangko Um Banuu ("pemimpin besar di daerah ini")
ini: "Tetapi kalau ada yang merasa lebih hebat dari saya, coba
dulu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini