PROPINSI Riau masih rawan. Penyelundupan dan emigran gelap masih
menghantui pintu gerbang Indonesia di depan Singapura ini. Tapi
yang tidak rawanpun masih cukup banyak menuntut perbaikan di
daerah ini.
Misalnya, di tengah deru mesin-mesin Caltex menyedot minyak bumi
di tengah-tengah hutannya, jalan raya sebagai alat perhubungan
tersendat-sendat dilalui. Bahkan beberapa wilayah masih
terbilang terpencil, karena sarana perhubungan darat yang jauh
dari memadai. Di laut, di pulau-pulaunya yang memencar sampai
ke depan hidung Malaysia dan Singapura itu, kapal-kapal dengan
jadwal pelayaran yang tetap masih sulit ditemukan.
Bahkan nasib para nelayan di Bagan Siapi-api, yang cukup
menderita sejak pukat harimau menyapu kawasan itu, masih belum
baik.
Karena itu taklah terlalu bersalah jika penghuni pulau-pulau itu
pada akhirnya harus berada di depan meja hijau karena tuduhan
penyelundupan. Sebuah keluarga yang memiliki beberapa keping
karet, atau beberapa potong kayu bakar, atau beberapa kilo ikan,
dengan diam-diam terpaksa menjualnya ke wilayah Malaysia atau
Singapura. Hanya untuk mendapatkan beberapa keping garam, gula,
beras dan beberapa helai baju.
Subrantas tampaknya merupakan salah satu Bupati yang berhasil
melompat ke kursi gubernur, seperti alm Sutiyoso dan Sutran.
Bedanya adalah: Subrantas ditempatkan di daerah yang sudah
dikenalnya tak kurang dari 30 tahun lebih. Sementara sebagai
pamong tak kurang dari 11 tahun, yaitu sebagai Bupati Kabupaten
Kampar.
Subrantas dilahirkan, 55 tahun lalu di Desa Banyu Urip,
Kabupaten Purworejo (Jawa Tengah). Tapi ia sudah menjejakkan
kaki di Riau sejak usia 22 tahun yaitu sebagai anggota Angkatan
Laut Jepang (Kaigun). Tak lama, ia segera bergabung dengan
Pemuda Republik Indonesia yang kemudian menjadi TRI (Tentara
Rakyat Indonesia). Karir militernya memang dimulai sejak tahun
1945 itu. Sempat sebentar menjadi ajudan Mayor Arifin Akhmad
(Gubernur yang digantikannya) yang ketika itu komandan Batalyon
di Bengkalis. Tahun 1967, ia ditunjuk menjadi Bupati Kabupaten
Kampar, setahun setelah Arifin Akhmad jadi Gubernur.
Selama jadi bupati, ia terhitung penjabat yang rajin turun
lapangan, terutama ke desa-desa. Kegemarannya jalan kaki keluar
masuk desa dan olah raga, terutama bulutangkis, diakui Subrantas
membuat ia tetap sehat.
Keluarganya terhitung kelas berat. Dari isterinya Sitti Mariam
yang dipersuntingnya di Bengkalis, ia kini dianugerahi 14 orang
putera. Seorang meninggal dunia, 4 sudah berkeluarga. Lalu
Subrantas dikaruniai lagi 12 orang cucu.
Di rumah kediaman resmi di Bengkinang (Gedung Daerah) Subrantas
dikelilingi oleh berbagai barang kerajinan. Beberapa hasil
kerjanya sendiri di waktu senggang berupa seperangkat kursi dari
tulang gajah. Hasil kerjanya ini sempat juga tersimpan di TMII
dan satu set lagi dihadiahkan buat Menpen Ali Murtopo. Menurut
Makka Hamid SH, Sekwildanya, Subrantas bukan pemburu gajah Riau
yang diancam punah itu. Tapi mengumpul tulang-tulang dari gajah
yang sudah mati dan terserak di hutan-hutan."
Subrantas sendiri terhitung seorang yang amat terbuka dan selalu
hidup sebagaimana adanya. Cara berpakaiannya sering seenaknya
dan membuat para penjabat rekannya geleng kepala. Kadang-kadang
di pinggangnya tergantung ta ring harimau sebagai perhiasan. Di
jari tengahnya tak pernah ketinggalan sebuah cincin besar yang
selalu dielus-elus jika berbicara.
Sebagai seorang Bupati, Subrantas memang tak terlalu menonjol
dalam hasii kerjanya. Apalagi Kabupaten Kampar terhitung
kabupaten minus. Prestasinya yang patut dicatat Kampar adalah
keberhasilannya membangun Kota Bengkinang yang kini berusia 11
tahun. Dulu ibukota Kampar ada di Pekanbaru. Tapi ketika ia jadi
bupati, ia nekad pindah dan memboyong keluarganya ke Bengkinang
dan merubah kota kecamatan itu menjadi kota kabupaten. Prestasi
lainnya adalah ia berhasil menghapuskan gambaran daerah Kampar
sebagai daerah yang kerap dilanda bahaya kelaparan. Menurut ir.
Muchlizar, Kepala Dinas Pertanian Kampar, kini Kampar termasuk
salah satu kabupaten di Riau yang bisa swasembada dalam soal
beras, selain Inderagiri Hilir.
Keberhasilan ini kemudian membuat masyarakat Kampar
menghadiahkannya gelar Datuk Panglima Khatib.
Bagaimana sikap bapak terhadap kritik-kritik?
Saya tidak takut kritik. Saya akan tetap terbuka, asalkan saja
cara kritik itu sesuai dengan aturan mainnya. Saya kan bukan
malaikat yang tak punya kekurangan?
Jadi Gubernur ini kadang-kadang repot dalam menghadapi masalah
kekeluargaan. Misalnya dalam pemberian fasilitas usaha dll.
Bagaimana pak Subrantas nanti?
Hidup ini jangan serakah. Pokoknya, masyarakat akan menilai
kita. Tapi sebagai manusia saya kan punya kekurangan. Jadi apa
saya nanti akan mementingkan keluarga saya atau tidak, lihat
sajalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini