Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Setelah menjalani hukuman penjara lebih dari sepuluh tahun, Hisyam bin Alizein atau yang lebih dikenal dengan nama Umar Patek mendapat pembebasan bersyarat. Umar Patek adalah narapidana teroris dalam kasus bom Bali I pada 2022. Ia tertangkap di Pakistan pada 2011 dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rika Aprianti, mengatakan pembebasan bersyarat menjadi hak narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa hukuman. Syarat itu telah dipenuhi oleh Umar Patek. “Dia juga harus berkelakuan baik dan mengikuti program pembinaan,” kata Rika, kemarin.
Selama menjadi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Surabaya, Umar Patek telah mengikuti program pembinaan deradikalisasi dengan baik. Ia juga menyatakan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan pembebasan bersyarat ini, status Umar Patek sebagai narapidana telah diganti menjadi klien Balai Pemasyarakatan Surabaya. Umar masih diwajibkan mengikuti program bimbingan sampai 29 April 2030. “Pembebasan bersyarat kepada Umar Patek juga direkomendasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror,” kata Rika.
Juru bicara BNPT, Irfan Idris, mengatakan pembebasan bersyarat Umar Patek telah sesuai dengan prosedur dan aturan perundang-undangan. “Dia telah mengikuti proses hukuman dan pembinaan dalam lapas untuk kemudian mendapatkan haknya,” kata Irfan. BNPT tidak memiliki keraguan untuk memberikan hak Umar Patek itu.
Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Irfan Idris. TEMPO/Imam Sukamto
Menurut Irfan, meski Umar Patek telah keluar dari penjara, ia belum sepenuhnya bebas. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme, Umar masih diwajibkan mengikuti program deradikalisasi. Selama menjalani program ini, ia akan diidentifikasi dalam bidang keagamaan dan kebangsaan.
Selain itu, kata Irfan, Umar Patek akan mendapat pembinaan dan pelatihan di bidang kewirausahaan. Tujuannya semata-mata agar Umar bisa membuka lembaran baru dalam kehidupan bermasyarakat. “Dia akan membenahi diri, keluarga, serta membangun bangsa dan menutup lembaran masa lalu,” katanya. “Dia berencana tinggal di Sidoarjo, bukan di Pemalang lagi.”
Selama menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Surabaya, Umar menunjukkan sikap yang istimewa. Ia sangat kooperatif dibanding narapidana terorisme lainnya. Bahkan pada upacara kemerdekaan pada 2017, Umar bersedia menjadi pengibar bendera merah putih.
Umar, kata Irfan, juga tanpa ragu berikrar setia kepada NKRI. “Dia dapat sebutan ‘tukang deradikalisasi’. Artinya, dia bukan hanya menjalankan program, tapi juga sudah ikut mengkampanyekan kepada narapidana lainnya,” kata Irfan. “Umar Patek yang sekarang bukan Umar Patek yang dulu.”
Waswas Para Penyintas
Sebagai penyintas tragedi bom Bali I, Deci Ketut Rudita merasa kecewa atas pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Umar Patek. Pria berusia 55 tahun itu menilai keputusan pemerintah terhadap pelaku bom Bali I tersebut telah menyakiti hati para korban. “Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan para penyintas,” katanya.
Menurut Deci, serangan teror yang dilancarkan Umar Patek dan kawan-kawannya mengakibatkan ratusan nyawa melayang. Tidak sedikit juga korban yang cacat. Selain itu, kata Deci, tidak ada jaminan bekas narapidana teroris tidak akan mengulangi perbuatannya. Paling tidak Deci merujuk pada serangan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, beberapa waktu lalu. “Apa jaminannya jika Umar Patek ini tidak akan melakukan hal yang sama ketika sudah berbaur dengan masyarakat?” kata dia.
Kekecewaan serupa disampaikan Ketut Suartana, 50 tahun, juga penyintas tragedi bom Bali I. Meski mengaku telah memaafkan pelaku teror, ia belum bisa menerima ketika mendengar Umar Patek mendapat keringanan hukuman. “Bagaimana bisa pemerintah memastikan Umar Patek tidak akan kembali melakukan aksi biadabnya di kemudian hari?” kata dia. “Saya bukan berbicara untuk diri saya sendiri, melainkan untuk korban yang lain.”
Umar Patek dan istri Ruqayyah saat menjalani rekonstruksi di kawasan Kampung Melayu, Jakarta, 2011. Dok Tempo/Aditia Noviansyah
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar, bisa memaklumi sikap penyintas bom Bali I yang kecewa terhadap pembebasan bersyarat Umar Patek. Sebab, serangan teror itu telah menimbulkan rasa ketakutan yang mendalam bagi korban. Selain itu, Al Chaidar tidak sepenuhnya yakin Umar Patek benar-benar telah berubah.
Menurut Al Chaidar, tidak mudah mengubah orang-orang yang berkaliber seperti Umar Patek. Mereka memiliki sikap dan pendirian yang teguh. Karena itu, ketika mereka menunjukkan sikap yang kooperatif, tentu patut dicurigai. “Saya kira ini perlu dicurigai. Jangan-jangan ini sikap dia dalam mencoba menyiasati kecenderungan dari aparat keamanan atau birokrat Indonesia,” kata Al Chaidar.
Al Chaidar mengatakan pemimpin Jamaah Islamiyah—organisasi tempat Umar Patek bernaung—memang telah memutuskan tidak akan melancarkan serangan di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Jepang. Namun tidak tertutup kemungkinan keputusan itu diabaikan ketika terjadi perubahan politik di Indonesia. “Mungkin saja dia akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya di luar dugaan banyak orang,” kata Chaidar. “Yang jelas, kita harus tetap waspada.”
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo